Semangkuk Bubur Ayam

Semangkuk Bubur Ayam
Oleh: Telly D.*)
Selama aku mengunjungi Yogyakarta di bula ini, aku suka berjalan menyusuri trotoar yang samar mengingatkanku pada tahun-tahun ketika aku masih tinggal di kota ini saat aku masih berkarier di Yogyakarta selama lebih dari empat tahun. Jalanan ini kini sangat padat dengan sepeda motor dan kedai kopi kekinian, itu dahulu adalah bagian dari rutinitasku. Ketika itu anakku Anthy baru menyelesaikan pendidikannya di Amerika, datang menggabung, Firul sementara kuliah di ITS Surabaya dan Ifat menyelesaikan kuliahnya di Makassar. Ada waktu kami berkumpul keluarga di Yogya, hidup dalam satu atap, berbagi meja makan, berbagi canda, juga diam-diam berbagi beban.
Kini aku kembali sendiri. Tapi tidak sepenuhnya sendiri, sebab setiap langkah membawa serta potongan kenangan. Dan salah satu tempat yang tak pernah kulewati begitu saja adalah gerobak bubur ayam di sudut jalan itu, gerobak kecil yang sederhana, tanpa nama besar, tapi menyimpan rasa dan nostalgia yang besar.
Penjualnya masih sama: ramah dan telaten, menyajikan bubur dengan tangan yang cekatan sudah terlatih dengan waktu. Buburnya putih kental mengepul, disiram kuah kekuningan yang harum, cita rasa soto yang menyatu sempurna dengan gurih ayam suwir, daun bawang, dan seledri. Di atasnya bertabur keripik udang dan keripik meninjau yang renyah, menambah dimensi rasa yang seimbang antara lembut dan garing, gurih dan pedas. Tak lupa sambal dan kecap yang bisa ditambahkan sesuka hati, seolah kita diajak mencipta rasa sendiri.
Suapan pertama membawa keheningan: sunyi dan membangkitkan rasa. Dalam setiap suapan, aku merasakan kehangatan masa lalu ketika kami sekeluarga duduk di sini, di bangku kayu seadanya, menikmati pagi sambil berbagi cerita kecil. Putriku yang sulung, dengan semangat khasnya, selalu memesan dua porsi. “Satu untuk sekarang, satu lagi untuk nanti,” katanya dulu, sambil tertawa. Kini ia sudah berpulang ke sisi Tuhan, namun tawanya masih terdengar samar setiap kali aku menatap mangkuk bubur yang mengepul.

Memesan Semangkuk Bubur Ayam. Foto: Dokumen Pribadi
Anak-anak yang lain kini telah dewasa, hidup mandiri dengan jalannya masing-masing. Suamiku, karena kondisi kesehatan, tak bisa lagi menemaniku menyusuri pagi. Tapi dalam setiap mangkuk bubur ini, aku merasakan kehadiran mereka. Ada tawa, ada pelukan yang tak terucap, ada kerinduan yang mencair pelan bersama uap bubur yang mengepul pelan-pelan.

Pesanan Semangkuk Bubur Ayam. Foto: Dokumen Pribadi
Bubur ayam di Indoesia memang bukan sekadar makanan. Ia adalah warisan dari congee Tionghoa yang telah berakulturasi dengan rempah-rempah Nusantara, menjadi sajian hangat yang tidak hanya mengisi perut, tetapi juga menenangkan batin. Di Yogyakarta, dengan semua kesederhanaannya, bubur ayam menjadi medium untuk mengenang dan merasakan seperti puisi yang dilumat perlahan.
Aku tak hanya datang karena rasa. Aku datang karena ingatan. Gerobak itu bukan sekadar tempat makan, tapi semacam panggung kecil kenangan, di mana aku bisa bernostalgia masa-masa indah bersama keluarga. Dulu kami duduk berdekatan, saling menyuap, saling bercanda. Kini aku duduk sendiri, tapi hatiku penuh.
Aku melihat pasangan muda makan di sebelah, seperti aku dan suami dahulu. Mahasiswa yang bercanda seperti anak-anakku waktu kuliah. Dan hatiku tidak iri hanya bersyukur, bahwa aku pernah merasakannya. Bahwa aku pernah hidup sepenuhnya, hadir sepenuhnya, mencintai sepenuhnya.
Setiap sendok bubur menjadi semacam doa diam: untuk yang telah pergi, untuk yang masih di sini, dan untuk diriku sendiri yang masih diberi waktu untuk mengenang dan menikmati. Bahwa bahagia tak harus dalam bentuk besar. Kadang cukup dalam semangkuk bubur ayam, di pagi yang biasa, bersama kenangan yang luar biasa.
Dan karena itulah, aku akan selalu kembali. Bukan hanya untuk rasa gurih dan hangat buburnya, tapi untuk menegaskan pada diriku: bahwa cinta dan kebersamaan yang pernah tumbuh di Yogyakarta ini, tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berubah bentuk kadang menjadi udara pagi, kadang menjadi aroma kuah, dan sering kali… menjadi sejumput bahagia dalam suapan yang sederhana.
Yogyakarta, Juni 2025
*) Telly D adalah Nama Pena dari Dr. Daswatia Astuty, M.Pd. Kepala PPPPTK Matematika Yogyakarta tahun 2016-2020. Pemerhati Pendidikan, Pekerja sosial Kemanusiaan, Pegiat Literasi, Penasihat Komunitas RVL, penulis dengan 50 judul buku dan nenek dengan seorang cucu.
Leave a Reply