TULISAN ADALAH SIDIK JARI PENULIS
TULISAN ADALAH SIDIK JARI PENULIS
Oleh: Telly D.
Masih pagi ketika saya membuka laptop dan membaca pesan WhatShap dari Much Khoiri yang menyatakan “Ini tulisan Mbakyu?” Tepat, itu tulisan saya, sebuah prakata buku bersama, namun saya tidak menulis nama saya sebagai penulisnya. Much Khoiri selalu bisa menemukan siapa penulis di balik sebuah tulisan sekalipun hanya dengan membaca tulisan. Ketepatan ini kerap membuat saya terheran-heran dan bertanya-tanya, bagaimana mungkin seseorang mampu mengidentifikasi penulis hanya dari untaian kata-kata?
Much Khoiri seorang penulis Prolifik, dosen Crative Writing dan kajian Sastra/Budaya di Unesa Surabaya, Editor, youtuber, bloger, sponsor literasi dan founder Rumah Virus Literasi (RVL) di mana saya berlindung belajar menulis.
Bagi saya, setiap tulisan seharusnya bisa menyembunyikan identitas penulisnya, terlebih jika tanpa nama. Namun, apa yang membuat tulisan begitu erat kaitannya dengan identitas penulis? Pertanyaan inilah yang terus membayangi saya. Jika saya bertanya “mengapa dapat dengan mudah mengenali tulisan seseorang?” Much Khoiri menjawab “setiap tulisan adalah cerminan dari penulisnya.”
Ketertarikan saya semakin mendalam ketika mengikuti bagaimana akun Kaskus Fufufafa, yang viral di dunia maya, berhasil diungkap kepemilikannya antara lain juga melalui analisis tulisan. Meskipun akun ini mencoba menyembunyikan identitas penulisnya di balik kata-kata kontroversial, para ahli bahasa dan pengamat media sosial dengan cepat mampu membongkar siapa di balik layar. Mereka menggali gaya penulisan, pilihan diksi, dan pola kalimat yang digunakan dalam setiap postingan, kemudian mencocokkan dengan tulisan yang sama dengan akun yang berbeda dan dari situ, identitas pemilik akun mulai terkuak. Fenomena ini semakin menggugah rasa ingin tahu saya tentang bagaimana sebuah tulisan bisa menjadi gerbang, untuk mengenali penulisnya, meskipun ia berusaha menyembunyikan diri di balik anonimitas.
Kita mengenal Sidik jari sebagai penanda identitas yang tak bisa disangkal. Setiap manusia dilahirkan dengan pola sidik jari yang unik, yang membedakan satu individu dari yang lain, meskipun mereka terlihat serupa. Dalam kehidupan sehari-hari, sidik jari digunakan untuk mengakses perangkat, mengidentifikasi seseorang dalam kasus kriminal, atau bahkan mengesahkan dokumen penting.
Sama halnya dengan sidik jari, tulisan seseorang juga mengandung jejak yang khas, unik dan tidak sama. Setiap penulis memiliki gaya, diksi, dan struktur bahasa yang begitu personal, hingga sulit untuk disamarkan. Seperti sidik jari yang secara otomatis mengungkapkan siapa pemiliknya, begitu pula tulisan yang dapat mengungkap identitas penulis di balik kata-kata.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tulisan seseorang mencerminkan lebih dari sekadar kata-kata. Gaya penulisan adalah cara seseorang mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran dan perasaannya dengan cara yang unik. Setiap penulis memiliki kebiasaan dalam memilih diksi, membentuk kalimat, dan mengatur alur cerita. Ini adalah “ciri khas” ekspresi naratif yang tak bisa dipisahkan dari karakter asli penulis.
Misalnya, seseorang yang memiliki cara berpikir logis dan analitis akan menulis dengan struktur kalimat yang jelas dan runtut. Sebaliknya, penulis yang emosional mengekspresikan perasaannya melalui metafora yang kuat dan kalimat yang berliku. Pemilihan kata-kata, panjang kalimat, bahkan ritme dalam menulis semuanya mencerminkan kepribadian dan perspektif si penulis. Di sinilah, tanpa disadari, identitas asli sang penulis mulai terbentuk dan melekat dalam setiap karyanya.
Ini adalah bukti bahwa tulisan adalah identitas yang tidak bisa dipalsukan sepenuhnya. Setiap penulis memiliki cara khas dalam menyusun pikiran dan emosi mereka ke dalam kata-kata. Bahkan ketika seseorang berusaha meniru gaya orang lain atau menyamarkan identitasnya, akan selalu ada unsur tak terduga dari gaya aslinya yang terselip dalam tulisan.
Sehingga secara detail dapat dijelaskan bahwa, tulisan membawa jejak yang sangat personal dari seorang penulis. Setiap penulis memiliki gaya bahasa, pola berpikir, dan pemilihan diksi yang terbentuk dari pengalaman hidup, pendidikan, budaya, hingga emosi mereka.
Meskipun mencoba menyamarkan identitas dengan nama samaran atau anonim, tulisan tetap menyimpan “ciri khas” yang dapat diidentifikasi. Inilah yang membuat seseorang seperti Much Khoiri, mampu mengenali siapa penulis di balik sebuah karya hanya dengan membaca tulisannya.
Salah satu contoh yang lain adalah kasus akun Denny Siregar, seorang penulis dan influencer media sosial yang seringkali menjadi sorotan karena komentar-komentarnya yang kontroversial. Gaya menulis Denny, yang cenderung lugas, tegas, dan sering kali sarkastik, menjadi ciri khas yang mudah dikenali, bahkan ketika ia menggunakan media sosial berbeda atau menulis di bawah akun anonim. Identitasnya sering kali terungkap melalui cara dia merangkai kalimat, penggunaan kata, serta tema-tema yang dibahas.
Kasus lain yang relevan adalah akun anonim Lambe Turah, yang terkenal dengan gosip-gosip seputar selebriti dan pejabat. Meskipun akun ini lama beroperasi secara anonim, banyak yang mencoba mengaitkan gaya bahasa dan cara penyajian informasi di akun tersebut dengan beberapa individu di balik layar. Meski sulit mengungkap identitas pasti, namun gaya penyampaian yang konsisten menjadi petunjuk tentang siapa yang terlibat dalam pengelolaan akun tersebut.
Selain itu, fenomena “Buzzer Politik” yang terjadi di Indonesia, terutama di masa pemilu atau kampanye politik. Para pengamat sering kali bisa mengidentifikasi siapa yang berada di balik akun-akun anonim yang menyebarkan propaganda politik melalui pola dan gaya bahasa yang digunakan. Misalnya, akun-akun buzzer yang mendukung calon tertentu cenderung menggunakan narasi yang mirip, bahkan ketika dioperasikan oleh banyak orang. Dengan analisis gaya menulis dan narasi, bisa dilacak keterkaitan antara beberapa akun dan operatornya.
Contoh lainnya yang tak kalah menariknya adalah penulis terkenal J.K. Rowling, yang pada tahun 2013 menerbitkan novel The Cuckoo’s Calling di bawah nama samaran Robert Galbraith. Tujuannya adalah untuk mendapatkan penilaian objektif dari publik tanpa bayang-bayang reputasinya sebagai penulis serial Harry Potter.
Namun, tak lama setelah novel tersebut dirilis, beberapa ahli linguistik forensik mulai menemukan pola-pola khas dalam gaya penulisan, termasuk ritme kalimat dan kosakata yang menyerupai tulisan Rowling. Analisis ini memperlihatkan bagaimana identitas penulis tidak bisa sepenuhnya disembunyikan hanya dengan mengubah nama.
Bagaimana Identifikasi penulis bisa dilakukan?
Melalui pemilihan diksi dan frasa,.Setiap penulis memiliki preferensi kata-kata yang digunakan berulang kali dalam karya-karya mereka. Misalnya, beberapa penulis lebih suka menggunakan sinonim tertentu yang jarang digunakan oleh penulis lain, atau memiliki gaya yang mencerminkan karakteristik budaya atau kepribadian mereka.
Menganalisis srutktur kalimat dan gaya sintaksis. Bagaimana penulis menyusun kalimat, panjang dan berliku atau pendek dan tajam juga menjadi ciri yang sangat khas. Beberapa penulis cenderung menggunakan kalimat kompleks dengan banyak klausa, sementara yang lain lebih suka kalimat sederhana dan langsung.
Bahkan hal-hal kecil seperti kebiasaan menggunakan tanda baca dapat menjadi petunjuk. Ada penulis yang sering menggunakan tanda seru untuk menekankan emosi, atau koma berlebihan untuk mengatur ritme tulisan, atau kesalahan dalam memberi tanda baca yang menjadi kebiasaan.
Setiap penulis memiliki kecenderungan untuk mengangkat tema-tema tertentu yang berulang, baik secara sadar maupun tidak. Tema yang sering muncul dalam tulisan seperti rasa kehilangan, kebebasan, atau kritik sosial menjadi petunjuk tambahan untuk mengenali identitas penulis.
Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam dunia penulisan, meski seseorang bersembunyi di balik anonim atau nama palsu, tulisan mereka tetap bisa dianalisis. Gaya menulis adalah hasil dari proses berpikir dan kebiasaan yang mendalam dan bertahun-tahun, sulit sekali untuk sepenuhnya mengubah atau memalsukannya. Inilah yang membuat identitas penulis tetap terlihat di antara baris-baris tulisan, seperti sidik jari yang tak bisa disangkal.
Menyadur atau menjiplak tulisan orang lain pun membawa risiko yang tak kalah besar. Meniru gaya atau isi tulisan penulis lain, selain melanggar hak cipta, akan meninggalkan jejak yang bisa terbaca. Pembaca yang akrab dengan karya asli bisa mengenali kesamaan dalam cara berpikir atau mengungkapkan ide. Lebih jauh, dalam komunitas penulis, kemampuan untuk menghasilkan karya orisinal dianggap sebagai tanda profesionalisme.
Dengan begitu, tulisan bukan hanya medium untuk menyampaikan ide atau cerita. Tulisan adalah sidik jari unik yang mengandung esensi penulisnya, jejak identitas yang tak bisa dipalsukan atau ditutupi. Dari gaya bahasa hingga struktur kalimat, setiap aspek tulisan mengungkap karakter unik penulis, yang selalu terikat erat dengan pemikiran, pengalaman, dan kepribadian penulis
Dengan demikian, Much Khoiri benar ketika mengatakan bahwa “tulisan adalah cerminan dari penulisnya.” Apa yang kita tulis, bagaimana kita menulis, dan mengapa kita memilih cara tertentu untuk menulis, semua itu adalah bagian dari identitas yang tak bisa dihapus. Menulis adalah sebuah identitas abadi yang selalu akan mengungkapkan kebenaran di balik nama.
Makassar, 28 September 2024
September 29, 2024 at 9:38 pm
Abdullah Makhrus
Benar sekali, diksi, gaya tulisan, melekat pada siapa penulisnya. Tulisan kita ternyata dengan mudah dikenali oleh Abah Khoiri. Saya menduga Abah Khoiri juga punya keahlian sebagai detektif tulisan. Hehe… Keren dan mantab bunda.