Memaknai Hidup

Memaknai Hidup
Oleh Telly D.
“Memaknai hidup dalam pergeseran waktu bukanlah pilihan dan pekerjaan mudah.”
Waktu terus melaju menggilas manusia. Tak seorangpun yang mampu melawannya, apalagi memutar mundur. Inilah kenyataan hidup kita; kelampauan, kekinian, dan keakanan. Kadang kelampauan nyambung kekinian, dan lanjut keakanan. Seringkali bukan saja berhubungan malah bertentangan. Manusia tak bisa menentukan dan memastikan, acapkali manusia yang ditentukan. Waktu sungguh mengubah segalanya. Berhadapan dengan waktu apalah daya manusia.
Hari-hari indah kita jalani. Perhatian dan cinta tumbuh. Rasanya semua akan baik-baik saja, harapan kita agaknya akan terpenuhi.
Namun, hidup tidak dalam genggaman kita. Kita yang dalam genggamannya. Waktu menggilas apapun yang dilalui. Waktu adalah perubahan. Proses perubahan itu berjalan dalam hidup yang kita hayati. Waktu dan hidup akhirnya yang tentukan.
Hidup memberi bahkan memaksakan sejumlah tuntutan. suka atau tidak suka, kita memenuhi, kadang-kadang memaksakan diri untuk memenuhi berbagai tuntutan itu. Seringkali akhirnya kita mulai alpa apa yang indah pada kelampauan. Kekinian terasa terus menerus menekan dengan tuntutan dan kebutuhan baru. Kita terus berubah seiring dengan berjalannya waktu.
Perubahan itu membawa mimpi-mimpi dan harapan-harapan baru. Ada juga orang-orang baru yang datang dan pergi. Kita semakin jauh dari kelampauan. Waktu dan hidup memang selalu menawarkan kebaharuan, apapun yang tak pernah diduga dan dipikirkan.
Kita bukan saya bertambah besar, juga bertambah matang dan dewasa. Ini bukan lagi soal bagaimana kita melewati waktu. Waktu memengaruhi serta mengubah kita. Kita mencoba memberi makna seiring dengan pergerakan waktu. Memberi makna bagi keberadaan hidup kita.
Banyak hal indah dari kelampauan yang tak mungkin dilupakan. Kita tak mungkin kembali ke keindahan di kelampauan ini. Tetapi mengapa kita enggan untuk membangun kembali pada kekinian. Meski rasa cinta dari kelampauan itu masih sangat melekat dalam ingatan.
Mengapa kita tak berani mengambil keputusan pada saat yang tepat dan menyesalinya kini. Ini bukti hidup tak selalu mudah, tak mudah untuk arungi waktu dan tetap bertahan. Waktu sungguh telah mengubah kita menjadi orang lain. Sulit untuk kita menjaga apa yang indah dan baik dari kelampauan.
Kita jadi seperti tak saling mengenal, bahkan pun sulit mengenali diri sendiri. Sudah menyelaraskan diri dengan orang lain dan dunia.
Betapa sering terjadi kita salah paham, bahkan dengan diri sendiri, dan salah bersikap, merespons yang ada di sekitar kita. Kita harapkan orang tertawa dengan kelucuan yang kita tampilkan, malah orang pada menangis. Kita sampai tak sadar bahwa kelucuan itu sebenarnya tentang diri sendiri. Tragis dan konyol. Ini seperti menunjuk orang dengan satu jari, sedangkan empat jari lain menunjuk diri sendiri. Inilah paradox manusia. Inilah fakta kehidupan.
Saat aku menangis, dunia malah tertawa. Kala aku akhirnya mati, sebaliknya dunia mulai hidup. Hidup menjadi sangat tidak mudah saat kita tak lag tepat memahami diri sendiri. Sebenarnya siapakah aku? Apakah aku sungguh memahami diriku sendiri? Mengapa bisa terjadi bahwa duniaku memiliki respons yang berkebalikan dengan yang kuharapkan, yang justru mengerikan adalah penyebabnya aku sendiri. Karena aku sendiri tak pahami diri sendiri.
Bagaimana aku bisa pahami kamu yang berasal dari kelampauanku, bila diri sendiripun aku tak pahami. Inilah hidup, waktu benr-benar mengubah kita menjungkirbalikkan apa yang kita tahu dan kenali. Atau sebenarnya dunia sekitar yang berubah cepat dan kita tak mampu menyelaraskan diri? Apakah kita harus ikuti perubahan dunia dan selalu menyesuaikan diri seperti bunglon agar dapat bertahan?
Apakah sebaiknya tetap bertahan dengan jati diri dan terlihat jadi ironi? Menjadi setumpuk keanehan yang mungkin menarik karena unik tapi malah jadi tersiksa sendiri. Sesungguhnya apa yang dituntut kehidupan dari kita? Apakah kita tak boleh menuntut?
Hidup memang menjadi tak semakin mudah. Mau menjadi seperti air mengalir atau seperti batu yang menggelinding? Apa seperti kebanyakan orang? Ikut saja orang kebanyakan, bersikap seperti orang banyak, yang penting selamat, meski menabrak kebenaran? Atau bertahan dalam kebenaran dan “tak selamat?” Siap dianggap aneh dan tak dipahami?
Hidup memang memaksa kita harus memilih. Tentu tak ada pilihan mudah untuk membuat hidup bermakna.
Makassar, 3 Juli 2024
Leave a Reply