March 26, 2024 in Uncategorized

“BUCOK”

“BUCOK”

Oleh Telly D.


Judul ini sepintas seperti kata UCOK saja dalam Bahasa Batak, padahal ini tidak ada hubungannya sama sekali. Ini akronim dari kata BUKA COKKO-COKKO (BUCOK). Sekalipun kepanjangan kata ini dalam Bahasa Bugis, istilah ini lahir dari almarhumah putri saya yang punya kebiasaan unik membuat ungkapan semaunya, sehingga hanya dikenal di kalangan keluarga.

Awal istilah ini lahir ketika mereka bersaudara baru belajar berpuasa, dan istilah ini digunakan kepada orang muslim yang dalam bulan puasa melakukan makan secara sembunyi-sembunyi (Buka Cokko-Cokko).

Pagi ini saya membuka pintu garasi rumah yang menghadap ke seberang jalan ada warung coto Makassar. Saya mengeluarkan mobil untuk mengantar suami kontrol kesehatan ke rumah sakit. Saya terhalang dengan kendaraan pengunjung warung coto itu yang memarkir motornya tepat di depan pintu garasi rumah saya, ini bukan hal yang pertama.

Ramai aktivitas jualan coto di pagi bulan Ramadan. Konon keuntungannya berlipat-lipat dari hari biasa, sehingga sayang jika ditutup apalagi ruko tempat jualan itu kontraknya tahunan. Demikianlah daya pikat pesona dunia.

Dengan sangat terpaksa saya menyeberang jalan ke warung untuk meminta kendaraan itu dipinggirkan agar mobil saya dapat keluar. Biasanya jika kondisi demikian suami saya lebih memilih menggunakan grab saja, namun kondisi suami saya yang harus menggunakan kursi roda membuat lebih nyaman memakai kendaraan dan mengemudi sendiri.

Penjual memasang isyarat “ADA” di depan warung. Foto: Dokumen Pribadi


Pada saat itulah saya mengamati warung coto, pagarnya telah dikeliling dengan plastik tebal warna putih untuk menghalangai pemandangan orang terlihat makan di pagi bulan Ramadhan. Namun tetap memasang isyarat “Ada” di depan warung sebagai tanda ada hidangan coto yang disiapkan.

Melihat kondisi ini saya tersenyum. Allah menolong saya, serta merta saja teringat istilah BUCOK, sudah lama tak ada yang mengucapkan kata itu di rumah. Sejak anak-anak dewasa, bahkan pemilik ucapan itu juga sudah menghadap pada sang Khaliknya.

Saya tersenyum bahagia teringat kenangan indah ketika mengasuh anak-anak. Senyum itu menyelamatkan wajah saya ketika harus berkomunikasi meminta kendaraan para Bucok dipindahkan. Pertolongan Allah selalu datang di saat tak terduga. Amanlah puasa saya dari cedera dan bisa berkomunikasi dengan senyumam yang tersungging.

Puasa atau “sawm” dalam bahasa Arab adalah salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Muslim. Puasa bulan Ramadan adalah kewajiban yang dijalankan oleh umat Islam di seluruh dunia, dimana menahan diri dari makan, minum, dan hubungan intim mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Puasa dalam bulan Ramadhan juga memiliki arti penting dalam meningkatkan kesabaran, ketakwaan, dan solidaritas umat Muslim di seluruh dunia. Sebab itu setiap Muslim diharapkan memahami pentingnya menjalankan kewajiban puasa dengan penuh kesadaran dan kepatuhan terhadap ajaran Islam.

Ketika saya terpaksa masuk ke warung itu untuk menanyakan siapa pemilik kendaraan, saya menemukan kesan bahwa mereka terganggu tidak ingin diketahui sementara makan di bulan Ramadhan, dengan spontan semua wajah berpaling, tertekuk tak ingin dipandang.

Semoga saja mereka tidak pura-pura puasa sambil makan, demikian doa saya secara spontan, Sebab jika demikian ini adalah bentuk pelanggaran serius terhadap ajaran agama Islam. Dalam Islam, kejujuran, kesetiaan, dan ketaatan terhadap ajaran agama sangat dihargai.

Tindakan seperti itu tidak hanya memungkinkan seseorang menipu diri sendiri, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip agama dan mencederai ketulusan dan kesucian bulan Ramadan. Hal ini juga dapat menciptakan budaya hipokrisi dan ketidakjujuran dalam masyarakat.

Apakah mereka tidak memikirkan konsekuensi dari apa yang sementara dilakukan? Apakah mereka tidak mempertimbangkan bahwa tindakan tersebut sebagai pelanggaran terhadap ketaatan kepada Allah dan bisa mengakibatkan pertanggungjawaban di hadapan Allah di akhirat?

Demikian halnya dalam Islam, menjual makanan kepada orang selama bulan Ramadan bukanlah pelanggaran, asalkan transaksi tersebut dilakukan dengan etika dan moralitas yang sesuai dengan ajaran agama. Namun, seorang pedagang muslim yang menjalankan usahanya di bulan Ramadan, hendaknya mempertimbangkan sensitivitas dan penghormatan terhadap praktik ibadah selama bulan Ramadan.

Sambil mengemudi saya terus berpikir, jika para Bucok itu memiliki perasaan malu diketahui sedang makan yang harusnya mereka berpuasa dalam bulan suci Ramadan, itu berarti mereka merasa telah melakukan pelanggaran terhadap nilai-nilai agama dan tradisi keagamaan yang dihormati oleh masyarakat sekitar.

Mereka menyadari bahwa kewajiban berpuasa adalah tanggung jawab pribadi yang tidak dapat diabaikan atau dihindari tanpa alasan yang sah.

Atau apakah orang tersebut merasa terbelah antara keinginan untuk mematuhi kewajiban berpuasa dan kebutuhan atau keinginan untuk makan di warung yang tertutup.

Atau mereka hanya khawatir tentang penilaian orang lain saja terhadap dirinya jika diketahui tidak sedang berpuasa, terutama di masyarakat yang sangat menghargai praktik keagamaan seperti bulan Ramadan.

Betapa dilematisnya situasi orang tersebut, antara keinginan untuk mematuhi nilai-nilai agama dan kebutuhan atau keinginan pribadi mereka.

Kemudian pandangan orang yang merasa malu terhadap manusia tetapi tidak malu kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui adalah sebuah paradoks moral dan spiritual juga. Dalam ajaran agama Islam, sikap malu terhadap Allah dan kesadaran akan kehadiran Yang Maha Mengetahui adalah aspek penting dari kepatuhan dan kesalehan.

Seorang Muslim yang taat akan menyadari bahwa Allah mengetahui segala hal yang tersembunyi, termasuk perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam keadaan tersembunyi atau di luar pandangan manusia. Sikap malu kepada Allah adalah bentuk kesadaran akan perbuatan manusia dan tanggung jawab moral mereka.

Seorang Muslim yang mengalami paradoks seperti ini mungkin perlu merefleksikan konsistensi dalam praktik keagamaan mereka. Kesadaran akan kehadiran Allah Yang Maha Mengetahui harus mendorong seseorang untuk bertindak dengan integritas dan kejujuran, baik dalam tindakan yang terlihat oleh manusia maupun yang tidak.

Orang yang mengalami konflik moral semacam ini perlu melakukan refleksi mendalam dan bertaubat kepada Allah. Perasaan malu kepada Tuhan harus mendorong mereka untuk memperbaiki perilaku dan bertindak sesuai dengan ajaran agama, tanpa memperhatikan pandangan atau penilaian manusia.

Akhirnya tak ada yang dapat saya lakukan melihat seorang makan sembunyi-sembunyi di warung depan rumah selama bulan Ramadhan selain mengambil sikap berpikir empati.

Kita tidak selalu tahu alasan di balik tindakan mereka. Oleh karena itu, penting untuk menahan diri dari menilai mereka. Sikap yang baik juga dengan menjaga privasi orang lain, jika memungkinkan, mendoakan yang terbaik bagi mereka. Dengan sikap yang penuh pengertian dan empati, saya berharap dapat menjalani bulan Ramadan dengan saling menghormati satu sama lain.

Sekalipun saya tak habis pikir mengapa warung coto itu hanya di pagi hari saja di saat waktu menahan puasa pengunjungnya ramai sehingga parkiran kendaraan memenuhi sepanjang ruas jalan, sedangkan di malam hari dimana sudah waktu makan justru sepi pengunjung. “Ya Allah lindungi aku dari pesona dunia yang melenakan.”

Makassar, 24 Maret 2024




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree