Anomali Modernitas
Anomali Modernitas
Oleh Telly D.
“Tidak ada kebebasan yang sesungguhnya tanpa tanggung jawab yang sesungguhnya.”
Menyebut modernitas mengingatkan kita pada era penuh perubahan pesat dalam teknologi, urbanisasi, dan globalisasi. Internet, smartphone, dan kecerdasan buatan telah merevolusi interaksi dan pekerjaan kita, sementara kota-kota besar tumbuh dengan dinamis. Kemajuan ilmu pengetahuan membawa penemuan-penemuan penting di berbagai bidang, seperti kedokteran dan energi. Perubahan sosial menciptakan nilai-nilai lebih egaliter dan menghargai keberagaman budaya. Ekonomi modern ditandai oleh industri maju dan sistem keuangan global. Budaya populer seperti film dan musik menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, sementara kesadaran lingkungan mendorong solusi berkelanjutan untuk isu global. Modernitas mencerminkan transformasi luas yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi dan interaksi global.
Salah satu fondasi modernitas yang kuat adalah individualitas, di mana manusia diakui sebagai makhluk bebas yang bermartabat. Kebebasan ini memberikan hak kepada setiap individu untuk menentukan pilihan hidupnya, memilih lingkungannya, dan menggunakan tubuhnya sesuai keinginannya.
Untuk menegaskan individualitas, manusia harus berani tampil berbeda dari orang lain. Semakin berbeda, semakin baik. Konsekuensinya, modernitas diramaikan dengan persaingan atau upaya untuk menunjukkan pencapaian individu di segala bidang. Salah satu contoh paling mencolok adalah dunia mode (fashion), di mana setiap orang ingin menonjolkan dirinya melalui pilihan model, warna, corak, dan potongan pakaian yang berbeda.
Contohnya, desainer seperti Alexander Mc.Queen dan Vivienne Westwood dikenal karena gaya mereka yang unik dan berani, yang menantang norma-norma mode konvensional dan menegaskan individualitas.
Individualitas juga muncul dalam seni, di mana seniman seperti Jackson Pollock dan Banksy menciptakan karya yang sangat berbeda dari arus utama, menekankan ekspresi pribadi dan kebebasan kreatif.
Di bidang ilmu arsitektur, Frank Gehry dengan desain bangunan seperti Guggenheim Museum di Bilbao menunjukkan bagaimana arsitektur bisa menjadi pernyataan individualitas yang berani.
Dalam kuliner, koki seperti Ferran Adrià dan René Redzepi terus bereksperimen dengan bahan-bahan dan teknik baru, menciptakan hidangan yang tidak hanya memanjakan lidah tetapi juga mengekspresikan kreativitas dan keunikan mereka.
Kebebasan berekspresi juga meluas ke ranah agama. Tidak heran jika muncul berbagai mazhap dalam satu agama, seperti yang terlihat dalam Islam dengan hadirnya berbagai mazhab seperti Sunni, Syiah, hingga kelompok-kelompok kecil seperti Ahmadiyah dan Sufi. Setiap kelompok ini merasa memiliki kebebasan untuk menafsirkan kitab suci dengan caranya sendiri, mencerminkan keyakinan individual dan kebutuhan akan identitas spiritual yang unik.
Contoh lain dalam perspektif Islam adalah munculnya berbagai gerakan pembaharuan dan pemikiran Islam kontemporer. Pemikir seperti Muhammad Abduh dan Fazlur Rahman berusaha untuk menafsirkan ajaran Islam sesuai dengan konteks modern, menekankan pentingnya ijtihad (penafsiran independen) dan pembaharuan pemikiran Islam.
Di dunia seni Islam, kita melihat seniman seperti Shirin Neshat yang menggunakan seni untuk mengekspresikan pandangan pribadi tentang identitas dan budaya Muslim.
Modernitas memang merupakan antitesis atau lawan dari tradisionalisme. Sementara modernitas menekankan individualitas dan keberanian untuk berbeda, tradisionalisme justru menekankan pentingnya kebersamaan atau komunalitas.
Dalam masyarakat tradisional, setiap individu diharapkan untuk secara ketat mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok-kelompok dan menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok tersebut. Ketaatan pada aturan kelompok dan kebiasaan bersama menjadi nilai utama. Tidak ada ruang bagi individu untuk tampil berbeda; setiap orang dengan setia menggunakan atribut dan simbol yang menunjukkan bahwa mereka adalah anggota kelompok.
Hukuman paling mengerikan bagi siapa saja yang melanggar norma ini adalah diusir dari kelompok, sebuah hukuman yang sering kali dianggap lebih buruk daripada kematian karena berarti kehilangan identitas dan jaringan dukungan sosial.
Dalam komunalitas, meskipun mungkin ada rasa bosan karena kurangnya variasi, semua orang merasa aman, nyaman, dan tenteram. Kesadaran bahwa mereka tidak pernah sendirian, baik dalam susah maupun senang, duka maupun suka, memberikan rasa solidaritas dan keamanan yang kuat.
Setiap individu tahu bahwa mereka memiliki tempat dalam masyarakat dan bahwa mereka dapat mengandalkan dukungan kolektif dalam segala situasi. Inilah yang menjadi kekuatan dari tradisionalisme, di mana rasa kebersamaan dan kesatuan menjadi penopang utama kehidupan sosial.
Namun, modernitas seringkali menganggap kebersamaan sebagai sebuah gangguan serius. Jean-Paul Sartre, pemenang Nobel Sastra dari Prancis, bahkan sampai mengatakan, “Neraka adalah orang lain.” Ini menunjukkan betapa sulitnya meyakinkan manusia modern bahwa “ada” selalu bermakna “ada bersama.” Mereka sudah terlanjur percaya dan menghayati bahwa menjadi manusia artinya menjadi individu yang berbeda dan terpisah dari yang lain.
Bagi manusia modern, kebebasan dan kemandirian menjadi nilai utama, sehingga interaksi dengan orang lain seringkali dilihat sebagai ancaman terhadap otonomi pribadi mereka. Ini adalah antitesis dari nilai-nilai tradisional yang menekankan pentingnya kebersamaan, kesatuan, dan komunalitas.
Modernitas, dengan fokus pada individualitas, mendorong orang untuk mencari identitas dan makna melalui perbedaan, bukan keseragaman, yang pada akhirnya menciptakan jarak antara individu-individu dalam masyarakat.
Tidak usah heran, apalagi marah dan terganggu, bila ada wanita memilih “menyedekahkan” auratnya. Sebagai individu, mereka bebas melakukan itu. Jika merasa terganggu, silakan alihkan pandangan pada Anggun C. Sasmi dalam lagunya menyatakan, “Jangan salahkan pakaian yang kami kenakan, tapi periksa isi otakmu.” Tubuhku adalah milikku, aku bebas menggunakannya dan memperlakukannya sesuka hati. Inilah salah satu esensi modernitas, di mana kebebasan individu menjadi nilai utama.
Dalam realitas modernitas, hak atas tubuh dan kehidupan seseorang juga mencakup hak atas kematian. Tingginya angka bunuh diri dalam masyarakat modern mencerminkan keyakinan bahwa setiap individu memiliki hak penuh atas hidup dan matinya. Fenomena ini menunjukkan bagaimana modernitas memandang individu sebagai entitas yang otonom dan bebas, dengan kebebasan untuk membuat keputusan ekstrem sekalipun.
Modernitas memberi ruang sangat luas bagi individu untuk menggunakan dan mengungkapkan kebebasannya, sungguh tanpa batas. Pesona kebebasan memang luar biasa, namun di balik itu terdapat racun yang tersembunyi dalam kebebasan individu tersebut. Kebebasan yang tak terbatas ini, meskipun menawarkan pesona yang memikat, sering kali membawa dampak negatif yang tidak terduga. Dalam mengejar kebebasan absolut, individu mungkin mengabaikan nilai-nilai kebersamaan, tanggung jawab sosial, dan kesejahteraan kolektif, yang dapat menyebabkan isolasi, kesepian, dan rasa hampa. Akhirnya, kebebasan yang seharusnya menjadi sumber kebahagiaan dan kepuasan bisa berubah menjadi sumber ketidakstabilan dan ketidakpuasan.
Manusia modern sering dilanda oleh sepi yang menyakitkan, kesendirian yang menghancurkan, dan keheningan yang merobek hati nurani. Namun, keheningan yang mereka alami tidaklah sama dengan pengalaman mendalam dan berarti yang dirasakan oleh tokoh-tokoh spiritual seperti Sidharta Gautama atau Nabi Muhammad saat mereka mengalami kesunyian yang mendalam, seperti di Gua Hira.
Bagi mereka, kesunyian itu menjadi waktu untuk introspeksi mendalam, meditasi, dan pencarian makna spiritual yang mendalam. Sedangkan bagi manusia modern, kesunyian sering kali menjadi sumber penderitaan psikologis karena terisolasi dari komunitas, kurangnya hubungan yang bermakna, dan kurangnya ruang untuk refleksi mendalam dalam kehidupan yang sibuk dan terhubung secara digital.
Dalam perbedaan ini, pengalaman kesunyian menjadi sebuah cerminan tentang bagaimana perbedaan konteks dan pengalaman dapat mengubah makna dan pengaruh dari fenomena psikologis ini.
Kesunyian dan kesepian bagi manusia modern seringkali berwujud dalam bentuk insomnia yang menghantui jiwa dan raga. Dalam kondisi ini, industri hiburan malam, narkoba, dan seks bebas sering menjadi pelarian yang nyaris tak terelakkan. Ketika sunyi menekan dan kesepian merajalela, manusia modern sering merasa terpukul hingga ke dasar jiwa. Mereka bertanya-tanya, ke mana mereka bisa pergi? Apa yang bisa mereka lakukan?
Pengalaman ini bisa lebih mengerikan daripada yang dialami Nabi Yunus di dalam perut ikan. Kesunyian yang menghancurkan harapan menjadi penyakit akut yang melanda tidak hanya ribuan, tapi miliaran orang di era modern.
Sebagai perbandingan, di Indonesia sendiri, pengguna narkoba telah melampaui angka lima juta orang, sebagian besar di antaranya adalah anak muda dan remaja yang seharusnya berada dalam masa produktif. Bahkan tokoh seperti Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, pun tak luput dari dampak negatif pengguna.
Kesepian dan keterpecahan pribadi mampu mengoyak manusia modern hingga ke dalam-dalamnya. Bahkan keluarga yang seharusnya menjadi tempat yang hangat, penuh cinta, sering kali berubah menjadi medan pertempuran yang mengerikan. Ketika cinta, kehangatan, empati, dan keinginan untuk berbagi menghilang, ruang keluarga bisa menjadi tempat yang dingin dan tidak nyaman.
Dalam kondisi seperti ini, tantangan bagi individu modern adalah menemukan cara untuk mengatasi kesunyian tanpa mengorbankan kesehatan fisik dan mental mereka. Mereka perlu mencari cara untuk mendapatkan dukungan sosial yang kuat, mengembangkan hubungan yang bermakna, dan menemukan arti hidup yang mendalam di tengah kesibukan dan tekanan kehidupan modern. Ini adalah panggilan untuk merenungkan kembali nilai-nilai kemanusiaan dan memperkuat jaringan sosial yang mendukung kesejahteraan bersama dalam masyarakat yang semakin terkoneksi secara digital namun kadang juga semakin terisolasi secara pribadi.
Industrialisasi, sebagai bagian integral dari modernitas, telah mengubah paradigma manusia menjadi mesin untuk memenuhi target-target pekerjaan yang tidak ada habisnya. Manusia cenderung menjadi robot yang kehilangan ruang untuk hidup dan berkembang secara emosional dan spiritual. Cinta, yang semestinya suci dan spiritual, sering kali berubah menjadi kenikmatan kelamin yang kehilangan makna dan kedalaman spiritualnya.
Perubahan ini mencerminkan dilema mendalam dalam perjalanan modernitas; bagaimana manusia menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan kebutuhan akan kedamaian batin serta kehidupan yang bermakna. Masyarakat modern sering kali terperangkap dalam siklus mencari kepuasan materi dan pencapaian eksternal, yang seringkali meninggalkan kebutuhan yang lebih dalam akan koneksi emosional, cinta yang sejati, dan hubungan yang memberi makna dalam keluarga dan komunitas.
Makassar, 4 Juli 2024
July 7, 2024 at 1:57 am
Mukminin
Mantab. Manusia modern adalah manusia yang mengerti hakikat hidup adalah pentingnya terjalin hubungan sosial yang baik, saling menghargai, saling membutuhkan dan saling adah asih asuh.
July 7, 2024 at 12:24 am
Astuti
“Dalam kondisi seperti ini, tantangan bagi individu modern adalah menemukan cara untuk mengatasi kesunyian tanpa mengorbankan kesehatan fisik dan mental mereka. Mereka perlu mencari cara untuk mendapatkan dukungan sosial yang kuat, mengembangkan hubungan yang bermakna, dan menemukan arti hidup yang mendalam di tengah kesibukan dan tekanan kehidupan modern. Ini adalah panggilan untuk merenungkan kembali nilai-nilai kemanusiaan dan memperkuat jaringan sosial yang mendukung kesejahteraan bersama dalam masyarakat yang semakin terkoneksi secara digital namun kadang juga semakin terisolasi secara pribadi.”So be yourself. Jangan lupa bahagia.