“Satu-Satunya,” Bukan “Salah Satunya”
“Satu-Satunya,” Bukan “Salah Satunya”
Oleh Telly D.
“Kesetiaan dalam hal kecil adalah landasan bagi integritas dalam hal besar.”
Akhir-akhir ini, berita perselingkuhan marak muncul di berbagai media. Bukan hanya di kalangan artis, tetapi juga di kalangan pejabat publik dan wakil rakyat. Skandal-skandal ini sering kali melibatkan anak-anak remaja yang masih berbau kunyit, membuat banyak orang terheran-heran dan mempertanyakan moralitas serta integritas para pelaku.
Fenomena ini menggambarkan bagaimana seseorang yang seharusnya menjadi teladan dalam kesetiaan dan integritas justru terjerat dalam perilaku yang merusak kepercayaan publik.
Ketika seseorang berjanji kepada pasangannya bahwa dia adalah “satu-satunya,” janji ini membawa makna komitmen yang utuh. Ini berarti tidak ada orang lain yang dapat mengisi tempat dalam hati dan kehidupannya. Namun, jika berita perselingkuhan yang melibatkan tokoh publik itu terkuak, ini menunjukkan bahwa janji ini dilanggar, mengubah pasangan yang seharusnya “satu-satunya” menjadi “salah satunya.” Perubahan ini tidak hanya merusak kepercayaan, tetapi juga mencerminkan masalah moral yang lebih dalam.
Situasi ini tentu menciptakan ketidaknyamanan dan kekecewaan bagi pasangannya, dan sekaligus merusak reputasi dan integritas pejabat tersebut. Pasangan yang seharusnya merasa aman dan dicintai secara utuh kini harus menghadapi kenyataan pahit bahwa dia hanya “salah satunya.”
Penelitian menunjukkan bahwa ketidaksetiaan sering kali menjadi penyebab utama keretakan hubungan dan perceraian. Sebuah studi yang diterbitkan dalam “Journal of Marriage and Family” menyatakan bahwa pasangan yang mempertahankan kesetiaan memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi dan lebih sedikit konflik dalam hubungan. Ketika janji dalam hubungan dilanggar, dampaknya sangat merusak, baik secara emosional maupun sosial.
Kesetiaan merupakan fondasi penting dalam hubungan pribadi dan profesional, terutama bagi pejabat publik. Seorang pejabat publik diharapkan memegang teguh nilai-nilai etika dan integritas, tidak hanya dalam tugas resmi tetapi juga dalam kehidupan pribadi. Integritas pribadi yang tercermin dalam kesetiaan terhadap pasangan merupakan cerminan dari komitmen mereka terhadap tugas publik yang diemban. Jika kesetiaan kepada keluarga, khususnya istri tidak bisa dijaga, maka kesetiaan dalam menjalankan tugas sebagai pejabat publik patut dipertanyakan.
Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara etika pribadi dan profesional. Pejabat publik yang tidak setia dalam kehidupan pribadi sering kali menunjukkan perilaku serupa dalam konteks profesional. Etika dalam hubungan pribadi dan publik tidak boleh dipisahkan, karena keduanya saling memperkuat dan membentuk satu sama lain. Pejabat publik harus menghindari segala bentuk perilaku yang bisa menimbulkan konflik kepentingan, baik itu untuk keuntungan pribadi, keluarga, atau teman-teman mereka (ClearIAS).
Markkula Center for Applied Ethics menyatakan bahwa pejabat publik memiliki kewajiban mutlak untuk menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi. Ketika seorang pejabat publik terlibat dalam skandal perselingkuhan, ini bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga mencerminkan ketidakmampuannya untuk menjalankan tugas dengan integritas yang diharapkan. Skandal seperti ini merusak kepercayaan publik dan membuat masyarakat meragukan kemampuan pejabat tersebut dalam mengambil keputusan yang adil dan jujur (SCU).
Dalam konteks ini, cinta sejati yang diakui sebagai “satu-satunya” menjadi sangat penting. Ketika janji “hanya satu-satunya wanita yang saya cintai” berubah menjadi “salah satunya,” ini mencerminkan pelanggaran terhadap komitmen yang lebih luas. Kesetiaan bukan hanya soal hubungan pribadi, tetapi juga merupakan cerminan dari nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam kehidupan profesional. Pejabat publik yang setia dalam kehidupan pribadi cenderung memiliki komitmen yang kuat terhadap tugas dan tanggung jawab, serta dapat dipercaya untuk menempatkan kepentingan publik di atas segalanya.
Oleh karena itu, masyarakat harus berhati-hati dalam memilih pemimpin. Mereka yang tidak mampu menjaga kesetiaan dalam kehidupan pribadi mereka mungkin juga tidak bisa diandalkan dalam menjalankan tugas publik dengan integritas dan kejujuran. Seperti yang dikatakan oleh Robert Natelson dalam penelitiannya tentang fiduciary government, pejabat publik harus bertindak sebagai penjaga keadilan dan kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi mereka (SCU).
Kesetiaan adalah landasan utama dari kepercayaan, baik dalam hubungan pribadi maupun dalam konteks profesional. Pejabat publik yang setia dan berintegritas dalam kehidupan pribadi akan lebih mampu menjaga amanah publik dengan baik.
Sebaliknya, mereka yang gagal dalam kesetiaan pribadi mungkin tidak layak dipercaya untuk memegang tanggung jawab publik. Dalam era di mana kepercayaan terhadap pejabat publik semakin rapuh, penting bagi kita untuk menuntut standar moral yang tinggi dari mereka yang memegang kekuasaan.
Makassar, 18 Juni 2024
Leave a Reply