November 10, 2023 in Jelajah Nusantara, Uncategorized

Mengunjungi Kelenteng Sun Tien Kong

Mengunjungi Kelenteng Sun Tien Kong
Oleh Telly D.


“Dalam keberagaman kita menemukan persatuan, dan dalam kelenteng kita menemukan keindahan beragamnya dunia.” (Daswatia Astuty)

Kelenteng Sun Tien Kong adalah sebuah kuil Tionghoa yang terletak di Pulau Banda Neira. Tepatnya berlokasi di Desa Nusantara, Kecamatan Banda, Pulau Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia. Kelenteng Sun Tien Kong dalam Bahasa Mandarin, mempunyai arti Indonesia Kelenteng Rumah Kuasa Tuhan. Kelenteng ini telah berusia lebih dari 400 tahun.

Dibangun jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ke tanah Banda pada abad ke-16 oleh masyarakat Tionghoa yang tinggal di Banda Neira. Sekarang menjadi salah satu situs bersejarah yang penting di daerah tersebut dan yang menarik dalam catatannya ketika dibangun semua pekerja ketika itu didatangkan langsung dari Tiongkok.

Kelenteng Sun Tien Kong sampai sekarang masih digunakan untuk perayaan dan upacara keagamaan oleh komunitas Tionghoa setempat. Selain itu, kuil ini juga menjadi daya tarik wisata karena arsitekturnya yang indah dan kaya pesan-pesan bersejarah. Kuil ini mencerminkan sejarah panjang dan keberagaman budaya di Banda Neira, dan merupakan simbol perdamaian dan toleransi umat beragama di dalam masyarakat Banda.

Kelenteng Sun Tien Kong. Foto: Dokumen Pribadi

Kontak dan komunikasi bangsa Cina dengan penduduk di Kepulauan Maluku sudah terjadi sejak berabad-abad yang lalu melalui perdagangan pala dan cengkih dengan cara yang damai. Dalam artikel “Beberapa Jalan Dagang ke Maluku Sebelum Abad XVI” menyebutkan bahwa data dari dinasti Tang di Cina memberikan petunjuk bahwa istilah Maluku telah dikenal oleh orang-orang Cina sekurang-kurangnya antara abad ketujuh dan kesembilan (A.B.Lapian, 1965).

Ini karena adanya perdagangan cengkih antara Cina dengan Ternate dan beberapa kerajaan lainnya di sekitar Kepulauan Maluku ini. Hal ini sejalan dengan hasil Studi Arkeologi di Banda Neira tahun 1997 yang dilakukan oleh Peter Lape, diketahui bahwa kontak antara Banda Neira dengan Cina telah terjadi sejak era neolitikum. Ini juga dengan adanya perdagangan pala antara Banda Neira dan Cina.

Pada saat Fransisco Serrao dan Antonio de’Abreau (Pelaut Portugis) yang berlayar dari Malaka tiba di Banda Neira bulan Februari 1512, terkejut ketika melihat bangsa Moor (sebutan untuk orang Arab) sudah berdagang di Banda 100 tahun yang lalu sedangkan orang Cina sudah berdagang di Banda sejak 600 tahun sebelumnya atau pada permulaan abad X.

Ini juga menandakan bahwa interaksi yang terbangun antara orang Banda dengan para pedagang Cina, Arab, Melayu adalah dengan cara yang bermartabat sehingga bisa bertahan dalam waktu yang lama. Berbeda dengan bangsa Eropa seperti Portugis, Belanda, Spanyol, dan Inggris yang dalam proses perdagangan sering menimbulkan masalah dan benturan dengan penduduk lokal.

Seiring dengan berjalannya waktu, pasca runtuhnya VOC, pemerintahan diambil alih oleh Kerajaan Belanda. Interaksi sosial yang terbangun antara pedagang Cina dengan penduduk lokal Banda Neira semakin berkembang dan menjadi satu komunitas dalam suatu pemukiman yang sampai saat ini masih ada di Kota Neira.

Papan Nama Kelenteng Sun Tien Kong. Foto: Dokumen Pribadi

Komunitas Cina semakin berkembang karena terjadinya perkawinan campuran di saat itu dengan bangsa/suku lain yang bermukim maupun yang melakukan aktivitas perdagangan dan aktivitas lainnya di Banda Neira.

Di era itu juga, dalam tata kota Neira, Belanda membagi menjadi 3 area besar. Pertama, ada area diberi nama “Dutch Colonial Town”. Yaitu pusat pemerintahan dan pemukiman pejabat serta warga berkebangsaan Belanda– Kawasan ini terletak di Desa Dwiwarna–.

Kedua, ada area yang disebut “Chinesse Quarter”, yaitu kawasan Pecinan/pemukiman warga keturunan Cina — Kawasan ini terletak di Desa Nusantara tempat Kuil Sun Tien Kong–. Ketiga, area atau kawasan yang diberi nama “Arabian Quarter”, yaitu pemukiman warga keturunan Arab — Kawasan ini terletak di Desa Kampung Baru–.

Selain itu, Belanda mengangkat pemimpin di masing-masing komunitas Cina dan Arab yang dikenal dengan istilah “Kapitein der Arabieren” dan “Kapitein Cina.”

Proses difusi, asimilasi, dan akulturasi yang terjadi akibat adanya interaksi dengan bangsa Cina yang sudah berlangsung ratusan tahun sampai hari ini. Hal ini sangat memberikan andil dalam keunikan dan keberagaman budaya dan pembentukan generasi baru Banda Neira.

Banyak peninggalan fisik maupun nonfisik yang sampai hari ini masih terlihat di antaranya:
• Kawasan Pecinan (Kampung Cina) — Desa Nusantara.
• Kelenteng Tua “Sun Tien Kong” di Kampung Cina. Tepatnya berada di Desa Nusantara. Kelenteng ini telah berusia kurang lebih 400 tahun.

• Simbol naga pada bendera dan hiasan di Kora-Kora (Perahu perang) Namasawar, Pulau Ay, dan Kampung Ratu.

• Rumah Kapitein Cina di Desa Nusantara.

• Tarian Topeng dan Macan.

• Kompleks Pekuburan Cina di Desa Merdeka.

• Porselin/Keramik dari zaman Dinasti Ming, koin beraksara Cina, dan atribut/peralatan yang bernuansa Cina, dan lain-lain.

Budaya Tionghoa memiliki pengaruh yang cukup signifikan di Banda Neira, terutama di antara masyarakat Tionghoa setempat. Beberapa aspek budaya Tionghoa yang dapat terlihat di Banda Neira meliputi:

Pengaruh Tionghoa dalam kuliner dapat dilihat melalui makanan dan hidangan Tionghoa yang tersedia di daerah tersebut. Beberapa makanan Tionghoa, seperti bakmi, pangsit, lumpia, dan hidangan laut Tionghoa, bisa ditemukan di restoran dan warung makan di Banda Neira.

Perayaan-perayaan tradisional Tionghoa seperti Tahun Baru Imlek menjadi momen penting di Banda Neira. Komunitas Tionghoa merayakan perayaan ini dengan berbagai upacara dan tradisi, termasuk pawai barongsai dan kembang api.

Seni dan kerajinan Tionghoa, seperti lukisan, ukiran kayu, dan kerajinan tangan lainnya. Ini mencerminkan warisan seni dan keterampilan Tionghoa yang dijaga oleh komunitas Tionghoa setempat.

Beberapa anggota masyarakat Tionghoa masih berbicara dalam bahasa Tionghoa atau memiliki nama keluarga yang khas Tionghoa.

Kelenteng Sun Tien Kong. Foto: Dokumen Pribadi

Untuk dapat mengunjungi Kelenteng Sun Tien Kong dari bandara Banda Neira dapat mengendarai mobil atau kendaraan roda dua menuju ke Desa Nusantara (desa kawasan komunitas Cina). Di sana Kelenteng Sun Tien Kong berdiri menghadap ke laut dan juga menghadap ke Gunung Gunamus Banda Neira.

Ketika berkunjung ke Kelenteng Sun Tien Kong, saya terpesona dengan arsitektur Tionghoa klasik yang indah. Kelenteng itu memiliki bagunan utama diperuntukkan sebagai tempat peribadatan utama pemujaan dewa-dewi para pemeluk agama Konghucu.

Menurut informasi yang dapat saya peroleh, di samping bangunan utama ada bangunan penunjang yang dahulu digunakan sebagai kedai minum anggur bagi para pedagang Tionghoa. Sedangkan sumur kelenteng, dahulu digunakan sebagai sumber air utama bagi kegiatan kelenteng.

Di dalam kelenteng terdapat stupa-stupa yang menjulang tinggi dengan atap-atap bermotif naga dan ornamen-ornamen kayu yang rumit. Setiap detail arsitektur ini memancarkan keanggunan dan kekayaan budaya.

terdapat altar utama yang didekorasi dengan patung-patung dan gambar-gambar dewa-dewi Tionghoa. Persembahan seperti bunga, buah, lilin, dan dupa diletakkan dengan rapi di altar ini. Orang-orang datang ke sini untuk berdoa, memohon berkah, dan memberikan persembahan kepada dewa-dewa.

Aroma harum dari lilin dan dupa mengisi ruangan, menciptakan atmosfer yang khusyuk dan sakral. Lilin-lilin dinyalakan sebagai tanda penghormatan, dan asap dupa memberikan kesan mistis yang kuat.

Di berbagai sudut kelenteng, terdapat patung-patung dewa-dewa Tionghoa yang dipahat dengan indah. Masing-masing dewa memiliki peran dan simbolisasi yang khusus. Mereka menjadi objek pemujaan dan doa oleh para pengunjung komunitas Tionghoa.

Lentera-lentera merah yang menggantung di langit-langit kelenteng menambah sentuhan tradisional dan memberikan cahaya yang lembut. Lentera-lentera ini dihiasi dengan kaligrafi Tionghoa yang memiliki makna spiritual.

Kelenteng Sun Tien Kong. Foto: Dokumen Pribadi

Di sepanjang dinding, saya menemukan lukisan-lukisan yang menggambarkan legenda-legenda dan cerita-cerita yang relevan dengan kepercayaan Tionghoa. Hal ini memberikan pemahaman lebih lanjut tentang keyakinan dan budaya yang dijaga dan dirawat oleh komunitas Tionghoa melalui kelenteng.

Di dalam kelenteng, suasana penuh ketenangan dan nuansa khusyuk terasa kuat. Sebagian besar komunitas Tionghoa yang datang ke sini untuk mencari ketenangan, meditasi, dan memusatkan pikiran mereka.

Ketika berada di dalam kelenteng, saya merasa terhubung dengan warisan budaya Tionghoa yang dalam. Yang menjadikan saya memahami betapa pentingnya peran kelenteng ini dalam kehidupan komunitas Tionghoa di Banda Neira. Semua elemen yang ada di dalam kelenteng, dari arsitektur hingga persembahan, menciptakan pengalaman yang memikat dan mendalam.

Saya merasa beruntung dapat memiliki pengalaman yang mendalam ini. Kelenteng ini adalah bukti hidup betapa kuatnya pengaruh budaya dan sejarah dalam membentuk komunitas. Ini adalah tempat di mana peribadatan, tradisi, dan kebudayaan Tionghoa yang kaya masih dipelihara dan dijunjung tinggi dengan penuh pengabdian.

Kunjungan ini juga mengajarkan kepada saya tentang pentingnya menghormati dan menghargai keberagaman budaya di dunia. Kelenteng Sun Tien Kong adalah contoh nyata bahwa berbagai budaya dan agama dapat berdampingan dan bersatu dan saling menghormati. Menciptakan keragaman yang indah dalam kehidupan.

Saat berada di dalam kelenteng, saya juga merasakan ketenangan dan kekhusyukan yang sangat mendalam. Ini adalah pengingat penting bahwa di tengah hiruk-pikuk dan kesibukan sehari-hari, saya perlu selalu mencari momen untuk merenung, meresapi, dan mencari kedamaian dalam diri.

Kunjungan ini juga mendorong saya untuk memikirkan tentang peran saya dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya. Saya memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan menghormati warisan budaya sendiri dan mendukung komunitas yang melakukan hal yang sama.

Saya meninggalkan Kelenteng Sun Tien Kong dengan penghargaan yang lebih dalam terhadap warisan budaya. Perasaan terhubung dengan keberagaman budaya, dan tekad untuk selalu mencari kedamaian batin. Ini adalah pengalaman yang tak terlupakan dan menunjukkan betapa berharga dan berpengaruhnya warisan budaya dalam hidup kita.

Kelenteng adalah tempat untuk memupuk kerendahan hati. Mengajarkan kepada kita untuk merenungkan akan kebesaran alam semesta dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. Kerendahan hati adalah pintu masuk ke dalam dunia kebijaksanaan yang tiada bertepi.

Makassar, 4 Oktober 2023




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree