Rumah Pengasingan Bung Hatta Di Banda Neira
Rumah Pengasingan Bung Hatta
Di Banda Neira
Oleh Telly D.
“Di dalam pengasingan, Bung Hatta menunjukkan bahwa ketahanan dan kebijaksanaan adalah mata uang sejati dari perjuangan, sementara kesederhanaan dan semangat membaca adalah kunci meraih kebebasan sejati.” (Daswatia Astuty)
Berada di Pulau Banda Neira dan setelah mengunjungi rumah pengasingan Bung Sjahrir, saya menyempurnakannya dengan meneruskan pejalanan ke rumah pengasingan Bung Hatta.
Setiap saya menyebut “Bung Hatta”, yang muncul dalam pikiran saya adalah sosok seorang tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia yang memegang peran penting dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Bung Hatta adalah salah satu dari dua proklamator kemerdekaan Indonesia, bersama dengan Soekarno.
Bung Hatta dikenal sebagai seorang intelektual yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang ekonomi dan kontribusinya dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Ia adalah seorang pemikir, negarawan, dan salah satu pendiri Indonesia yang meninggalkan warisan besar dalam sejarah negara ini.
Mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Hatta bagi saya adalah cara menghormati dan menghargai pengorbanan serta dedikasi Bung Hatta yang telah berjuang untuk meraih kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang.
Rumah Pengasingan Bung Hatta di Banda Neira. Foto: Dokumen Pribadi
Rumah Pengasingan Mohammad Hatta adalah rumah tempat Bung Hatta menjalani hukuman pengasingan sebagai tahanan politik selama 6 tahun (11 Februari 1936 – 1 Februari 1942) di Banda Neira. Sebelumnya, Bung Hatta menjalani pembuangan politik di Boven Digul (28 Januari 1935 – Februari 1936; diberangkatkan dari Tanjung Priok Jakarta pada 16 November 1934).
Rumah ini terletak di Jalan Hatta, Kelurahan Dwiwarna, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Bung Hatta bersama dengan tokoh nasional lain bernama Sutan Sjahrir juga diasingkan dekat rumah pengasingan Bung Hatta yang sekarang dikenal sebagai Rumah Pengasingan Bung Sjahrir.
Rumah ini cukup besar, ada informasi yang menjelaskan bahwa bangunan ini didirikan di atas lahan seluas 660 meter persegi dan memiliki luas bangunan 441 meter persegi. Awalnya rumah ini milik seorang tuan tanah di Banda Neira yang kosong kemudian disewa melalui Perkenier De Vries Banda Klan Van Den Broeke.
Rumah ini pernah hancur dibom oleh sekutu pada tahun 1944, namun dibangun kembali oleh Pemerintah Indonesia.
Bangunan ini terbagi dalam tiga bagian, yaitu rumah utama, paviliun samping (paviliun timur), dan paviliun belakang (paviliun selatan).
Pada rumah utama terdiri atas lima ruangan dan dua teras di depan dan di belakang. Pada paviliun samping terdiri atas lima ruangan. Bangunan ini dulu digunakan sebagai gudang, dapur, dan kamar mandi oleh Bung Hatta.
Pada paviliun belakang terdapat enam ruangan yang lima di antaranya dulu digunakan oleh Bung Hatta untuk mengajar anak-anak Banda Neira termasuk juga Des Alwi dan saudaranya (anak angkat Bung Hatta dan Bung Sjahrir selama di pengasingan). Pada serambi bangunan belakang itu terdapat replika dari papan tulis dan bangku yang digunakan Bung Hatta dan Bung Sjahrir dulu untuk mengajar anak-anak Banda Neira.
Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan bangunan Rumah Pengasingan Bung Hatta sebagai Cagar Budaya. Pengelolaanya menjadi tanggung jawab Museum Provinsi Maluku. Dibuka sebagai objek wisata sejarah utama di Banda Neira. (Cagar Budaya, Kemdikbud 2008).
Rumah Pengasingan Bung Hatta .Foto: Dokumen Pribadi
Jika ingin berkunjung ke situs rumah pengasingan Bung Hatta ini, dari bandara Banda Naira dapat menggunakan mobil atau kendaraan bermotor sebab rutenya mudah ditempuh. Akses jalan beraspal, lebar, dan dilewati kendaraan umum.
Tidak ada jam buka tutup yang pasti. Rumah ini dapat dikunjungi dari pagi hingga sore hari. Dapat menghubungi penjaga bangunan (Oma Emi) yang tinggal dekat dengan Rumah Pengasingan Bung Hatta untuk dapat masuk ke Rumah Pengasingan Bung Hatta.
Bung Hatta dan Sutan Sjahrir tiba di Banda sebagai tahanan politik pada tanggal 11 Februari 1936. Keduanya dipindahkan dari Boven Digoel ke Banda Neira demi keamanan dan kesehatan. Ketika itu, di Boven Digoel malaria mewabah dengan ganas. Kedua tokoh tersebut juga sempat menderita malaria di sana.
Sebelumnya mereka sempat tinggal untuk sementara waktu di rumah pengasingan Mr. Iwa Koesoemasoemantri yang telah lebih dulu diasingkan bersama Dr. Tjiptomangunkusumo.
Seminggu kemudian mereka memutuskan untuk pindah ke rumah kosong dari seorang tuan tanah (perkenier) dengan harga sewa seharga f.12,50 (setara Rp 70.000) sebulan.
Menurut penuturan putri kedua Bung Hatta, Gemala Hatta bahwa rumah tersebut diberi harga sewa murah karena sudah lama kosong dan berhantu. Namun, ayahnya tidak ambil pusing dan tetap menyewa rumah tersebut. Setelah beberapa bulan, akhirnya Bung Sjahrir memutuskan untuk pisah dan tinggal di rumah yang tidak jauh dari rumah pengasingan Bung Hatta yang sekarang dikenal sebagai Rumah Pengasingan Bung Sjahrir.
Ketika saya tiba di sana, saya menemukan rumah pengasingan Bung Hatta masih dipelihara dan ditata dengan baik. Bangunan seperti gaya bangunan lain bergaya kolonial. Situasi di dalamnya masih tetap mempertahankan penataan seperti ketika Bung Hatta mendiaminya.
Pada bangunan utama ada ruang tamu tempat Bung Hatta menerima setiap warga yang datang. Ada kursi dan meja tamu ditata di situ. Di sisi kanan ruang utama kamar kerja Bung Hatta, di situ terdapat sebuah meja kerja dengan mesin tik tua yang kerap dipakai Bung Hatta menuangkan gagasannya lengkap dengan kacamata yang menjadi ciri khas beliau.
Pintu Rumah Pengasingan Bung Hatta .Foto: Dokumen Pribadi
Pada ruang tidur masih terdapat tempat tidur yang beliau tiduri selama di pengasingan. Tempat tidur (ranjang besi) lengkap dengan kelambu yang dipasang. Foto-foto dipasang di dinding yang memperlihatkan aktivitas beliau selama dalam pengasingan. Bahkan Baju-baju beliau juga masih dapat dilihat di kamar tidur rumah pengasingan Bung Hatta ini.
Di teras belakang yang biasa dipakai jadi kelas belajar juga dipasang papan tulis hitam dan enam bangku dibuat berjajar dua. Papan tulis tersebut berisi goretan kapur, yang terbaca “Sedjarah perdjoeangan Indonesia setelah Soempah Pemoeda di Batavia tahoen 1928,” menjejakkan bukti Sejarah bahwa yang diajarkan Bung Hatta merupakan nilai-nilai kebangsaan. Bung Hatta tak pernah memungut bayaran atas kehadiran anak-anak.
Barang-barang pribadinya seperti kursi dan meja tamu, meja kerja, peralatan makan dan minum, naskah-naskah dan surat-surat beliau, foto-foto termasuk buku-buku beliau, juga masih tertata dan dipelihara dengan baik.
Pemerintah Belanda membolehkan Hatta menulis untuk memperoleh uang. Ketika itu, Hatta meneken kontrak dengan koran Pemandangan di Batavia. Honor menulis ia pakai untuk membeli dan menutupi keperluan sehari-hari seperti sabun, minyak tanah, atau kertas.
Di pengasingan ini, Hatta juga memiliki banyak waktu untuk membaca berpuluh-puluh buku yang dibawa. Total ada 16 peti yang ia bawa dari Jakarta ke Digoel kemudian ke Banda. Hasil bacaannya ia kemas menjadi pengetahuan baru yang ia tulis menjadi artikel-artikel yang menarasikan gelora kemerdekaan.
Sesungguhnya, kedatangan Bung Hatta diasingkan ke Banda Neira adalah berkah bagi masyarakat Banda ketika itu. Bung Hatta dan Bung Sjahrir membuka kelas belajar untuk anak-anak Banda Neira yang selama ini sekolah hanya dinikmati oleh anak-anak bangsa kolonial dan orang-orang kaya yang berduit. Di tempat ini juga jadi saksi bagaimana tokoh pejuang ini menanamkan rasa nasionalisme dan semangat untuk merdeka di dada anak-anak Banda Neira.
Almarhum Des Alwi, salah satu murid Bung Hatta dalam catatannya pernah mengemukakan bahwa di sekolah ini terbagi menjadi dua kelas. Sekolah yang biasa diadakan sore ini dibagi berdasarkan usia. Bagi anak yang lebih muda usia, diajar oleh Bung Sjahrir. Sementara kelas di atasnya diajar Bung Hatta. Dua guru ini mengajarkan bahasa Belanda, aljabar, sejarah nusantara dan dunia, juga pengetahuan umum lainnya.
Masa pengasingan Bung Hatta dan Bung Sjahrir berakhir pada awal tahun 1942 ketika sebuah pesawat amfibi Catalina datang untuk menjemput mereka berdua. Ketika proses pengangkutan ternyata pesawat kelebihan beban, akhirnya terpaksa Bung Hatta merelakan dua peti buku ditinggal dan dititipkan kepada Des Alwi di Banda Neira.
Pada tahun 1972, setelah tidak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, Bung Hatta sempat kembali mengunjungi rumah ini. Ia disambut bagai anak asli dari pulau tersebut. Banyak pula warga yang menangis ketika Hatta pulang kembali ke Jakarta sama seperti ketika waktu Februari 1942 lalu ketika Bung Hatta dan Bung Sjahrir mengakhiri masa pengasingan di sana.
Mengunjungi rumah pengasingan Bung Hatta di Banda Neira adalah pengalaman yang mendalam yang memungkinkan saya menemukan banyak makna yang juga sangat mendalam.
Bung Hatta dan rekan-rekannya hidup dalam kondisi yang sangat terbatas, jauh dari keluarga dan teman-teman mereka, namun mereka tidak pernah menyerah pada rintangan dan ketidakadilan. Mereka mempertahankan tekad mereka untuk meraih kemerdekaan Indonesia, bahkan ketika dunia terasa keras dan tak bersahabat.
Bung Hatta mengalami pembatasan kebebasan dan kehidupan yang keras. Banda Neira adalah penjara terbuka, namun ia tetap memegang teguh hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.
Rumah Pengasingan Bung Hatta .Foto: Dokumen Pribadi
Dia tidak hanya mendambakan kemerdekaan, tetapi mereka juga berjuang mati-matian untuk meraihnya. Mereka terus berdiskusi, merancang strategi, dan bekerja sama dalam menghadapi penjajahan.
Meskipun diasingkan, Bung Hatta dan rekan-rekannya terus bekerja bersama, bertukar pemikiran, dan mendukung satu sama lain. Mereka memahami bahwa kebersamaan adalah kunci dalam mencapai tujuan besar.
Solidaritas adalah kekuatan, dan rumah pengasingan adalah bukti nyata akan apa yang dapat dicapai ketika orang-orang bersatu.
Mereka menggunakan waktu untuk mengembangkan pemahaman mereka tentang isu-isu politik dan sosial. Mereka tahu bahwa pendidikan dan pengetahuan adalah senjata yang kuat dalam perjuangan.
Kunjungan ke rumah pengasingan ini adalah pengingat bahwa belajar dan berpikir adalah hal yang penting dalam perjuangan hidup.
Meskipun terisolasi, dia mencoba untuk memengaruhi perubahan melalui diplomasi dan kerja sama internasional. Diplomasi adalah cara untuk mencapai tujuan politik tanpa kekerasan. Pengasingan Bung Hatta lengkap dengan aktivitas membaca, menulis, dan surat-menyurat yang dilakukannya secara intens dan konsisten adalah contoh nyata bagaimana diplomasi dan kekuatan tulisan dapat memengaruhi perubahan positif.
Bung Hatta dan rekan-rekannya mengorbankan segalanya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka tahu bahwa kemerdekaan adalah hak dasar yang tidak boleh disalahgunakan atau diabaikan. Mereka memahami bahwa kemerdekaan adalah tanggung jawab menjaga dan melindungi hak-hak asasi manusia.
Kunjungan ke rumah pengasingan bagi saya adalah kesempatan untuk memahami bahwa sejarah adalah guru terbaik yang dapat kita miliki. Itu adalah sumber inspirasi dan motivasi yang dapat membimbing sebagai anak bangsa dalam perjalanan ke masa depan yang lebih cerah.
Semangat perjuangan Bung Hatta dan para pejuang kemerdekaan Indonesia adalah warisan yang harus kita jaga dan sampaikan kepada generasi selanjutnya.
Rumah pengasingan Bung Hatta adalah pengingat bahwa kita semua memiliki peran dalam menjaga kebebasan dan kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan bukanlah hak yang diberikan, tetapi sesuatu yang diperjuangkan dan karena itu harus terus dirawat dan dijaga.
Merdeka!!!
Salam Literasi
Makassar, 4 Oktober 2023
November 5, 2023 at 3:52 am
Ngainun Naim
Catatan inspiratif