Ada Cinta di Alumnus Pertama
Ada Cinta di Alumnus Pertama
Oleh Telly D.
Hari ini Kamis 15 Februari 2018. Saya punya agenda rapat yang padat. Baru saja saya menyelesaikan rapat yang ketiga, dari lima rapat yang diagendakan. Saya berniat beristirahat sejenak sebelum melanjutkan rapat lagi. Saya belum menarik napas lega ketika seorang staf penerima tamu mengetuk pintu ruang kerja saya.
Alumnus Pertama Diklat Guru di P4TK Matematika. Foto: Dokumen Pribadi
Staf tersebut hanya berdiri tepat di depan meja kerja saya. Menunggu reaksi. Sesuatu yang penting tentunya. Ada kesan terburu-buru yang tertangkap. Saya mengangkat wajah sebagai respons untuk melayaninya.
“Ada apa?” Saya membuka pembicaraan.
“Maaf, Bu! Mengganggu, ada tamu …,” jawabnya dengan penuh kesantunan.
Saya selalu mengagumi kesantunan staf di P4TK Matematika Yogyakarta jika berkomunikasi. Diam-diam saya suka menikmati dan belajar banyak kepada mereka.
“Mohon berkenan Ibu Kapus untuk menerimanya,” sambungnya kembali. Mengenggam semua jemari tangan kanannya sehingga jempolnya dikeluarkan untuk menunjuk ke arah mana yang dia bermohon saya ikuti. Cara mengarahkan versi Yogya.
Dari cara staf mengkomunikasikan, saya menangkap bahwa tamu ini mendapat layanan istimewa.
“Silakan panggil saja masuk ke ruangan ini,” ucap saya.
Dalam kondisi lelah begini, sebenarnya ada sebersit rasa enggan meninggalkan kursi kerja. Saya berusaha berkompromi sedikit dengan keinginannya.
“Maaf, Bu Kapus. Yang bersangkutan hanya mau menunggu di luar. Mohon Ibu berkenan,” ucap staf dengan nada separuh meminta. Nada suaranya lebih dilembutkan lagi.
Alumnus Pertama Diklat Guru di P4TK Matematika. Foto: Dokumen Pribadi
Jika ucapan sudah melembut begini, apa lagi yang dapat saya lakukan selain berkompromi dengan kehendaknya. Apa saya mau menjadi makhluk terkasar di muka bumi ini? Makhluk yang tak tahu menghargai kelembutan? Kelembutan tenyata punya daya paksa yang tinggi. Ini ilmu baru yang juga saya pelajari dan peroleh di Yogya.
Saya bertanya-tanya pada diri sendiri, “Kok seperti ini? Siapa tamu ini? Mengapa harus menunggu di lobi kantor? Bukankah lebih bagus jika saya terima di ruang kerja Kapus?” Sederet pertanyaan menggelayut di benak sambil saya kemudian berdiri hendak meninggalkan kursi.
Saya berjalan ke lobi penerimaan tamu. Mengikuti langkah dari staf yang memberi informasi tadi. Sambil terus berusaha menebak siapa sebenarnya tamu ini.
Biasanya tamu yang datang berkehendak untuk diterima di ruang tamu pimpinan. Namun, tamu yang satu ini malah meminta saya untuk datang menemuinya di kursi tamu di lobi.
Penasaran saya meradang untuk segera mengetahuinya. Saya mulai menebak-nebak. Tebakan pertama, mungkin tamunya dari ikatan masyarakat Sulsel atau Sulbar yang memang akhir-akhir ini suka bertukar kabar. Selanjutnya mereka biasanya mengajak untuk aktif memotivasi masyarakat Sulsel yang ada di Yogya untuk konsisten menuntut ilmu. Kukuh belajar sepanjang hayat. Namun, mengapa tidak mau masuk ke ruang kerja?
Tebakan kedua, ah… paling juga teman lama yang mau silaturahmi sehingga pembicaraannnya bukan pembicaraan formal.
Atau bisa saja komunitas guru matematika yang biasa datang mendiskusikan beberapa hal penting untuk difasilitasi menemukan solusinya.
Tebakan terakhir mungkin wartawan atau LSM yang datang sehingga tidak mau diterima di ruang pimpinan karena ditakutkan ada CCTV.
Tiba di lobi, “Di mana tamu itu?” Saya mencarinya dengan menyapukan pandangan ke setiap jengkal area ruangan.
“Percaya diri benar menentukan sendiri di mana mau diterima,” bisikku pada diri sendiri.
Di kursi tamu itu, hanya ada sepasang anak muda, yang berdiri tepat di depan seorang laki-laki tua yang duduk di kursi dengan memegang tongkat di tangan kanannya.
Anak muda itu lagi melayani orang tua tersebut dengan penuh perhatian. Terlihat dari cara berbicaranya yang mendekatkan wajahnya dengan wajah orang tua itu. Ada bisik-bisik mesra yang dia lakukan. Kemudian tangannya sekali-sekali mengusap tangan orang tua yang keriput itu sebagai isyarat memberikan ketenangan.
“Siapa tamu itu?” Saya sama sekali tidak mengenalnya. Saya paksa bagaimanapun memori tentang tamu ini tak ada tersimpan sedikit pun di otak saya.
Melihat kedatangan saya, sepasang anak muda itu berdiri menyambut. Dengan sopan mengulurkan tangannya untuk saya jabat. Berusaha mengatasi rasa gugupnya dengan tersenyum-senyum dan mengusap-usap tangannya berulang-ulang.
“Beliau ini Kepala P4TK Matematika yang Bapak dan Ibu ingin temui!” ucap staf memperkenalkan saya kepada para tamu dengan formal sekali.
“Iya, beliau ini Ibu “Kapus” P4TK Matematika ini,” ulangnya lagi memberi penekanan ketika menyebut Kapus.
Apa yang terjadi biasanya dengan kesederhanaan pelayanan yang kami miliki, staf tidak suka melakukan hal yang seperti ini. Suasananya seperti sengaja dibikin formal.
“Saya Ahmad, Bu. Ini istri saya. Kami baru saja menikah.” Ucapnya tanpa ditanya.
Saya terdiam memberikan kesempatan kepada dia untuk menjelaskan dirinya dengan lebih detail.
“Saya orang Kalimantan, Bu. Sengaja datang ke sini mengantar ayah mertua kami,” anak muda itu menunjuk laki-laki tua yang hanya duduk di kursi sambil memegang tongkatnya.
Ternyata orang tua itu mertuanya. Lelaki itu kemudian jadi pusat perhatian kami semua.
“Isteri saya adalah cucu beliau. Kami sengaja membawanya ke sini karena ingin membuat beliau berbahagia.”
Woes … saya tersengat dengan diksi “bahagia” yang dia ungkapkan.
“Iya, Bu. Kami ingin memulai rumah tangga kami dengan berbagi kebahagiaan. Orang yang pertama kali harus merasakannya adalah kakek kami,” dengan bangga istrinya ikut menguatkan informasi suaminya.
“Kami mohon Ibu Kapus berkenan untuk menyapanya. Jika Ibu menyapanya, tentu memberikan kebahagiaan yang lebih sempurna,” kata anak muda itu perlahan.
Saya tergoncang, kekerasan hati saya meleleh menggenangi semua rongga dada. Sepanjang hari saya hanya bekerja keras berpindah dari satu agenda rapat ke agenda rapat yang lain. Kadang lupa arti memberi rasa bahagia kepada orang-orang yang saya cintai. Ucapan anak muda ini benar-benar mengundang saya bercermin dengan keburukan wajah yang saya miliki.
Diam-diam saya berusaha mengingat kapan terakhir saya kumpul keluarga. Saya berusaha mengingat kapan terakhir saya bertemu dengan ayah. Rasa rindu perlahan mengganggu perasaan saya. Mengalir begitu saja rasa rindu yang teramat dalam. Rindu ingin membahagiakan orang-orang yang saya cintai seperti apa yang mereka persaksikan.
Ada rasa iri pada kesempatan yang dimiliki anak muda itu menyelinap begitu saja. Mudahnya Allah membisikkan ilham ke hati manusia.
Saya mulai serius mengamatinya. Di depan saya, sepasang anak muda yang memulai hidup dengan mengawali membahagiakan orang tua seperti ini …. Betapa bahagianya orang tua ini. Betapa pandai mendidik cucunya sehingga mampu memuliakannya. Saya selalu terkesan dengan anak-anak yang penuh kasih sayang kepada orang tua. Mengapa? Karena saya sangat percaya bahwa kasih sayang seorang anak kepada orang tua adalah janji baik untuk hidup dan kehidupannya kini dan kelak.
Orang tua yang dimuliakan itu, seorang laki-laki berusia 85 tahun. Masih terlihat sisa-sisa ketampanan masa belianya. Raut wajahnya yang oval, hidung mancung, pipinya sudah tirus termakan usia, matanya berbinar tajam, mulutnya kecil tipis. Postur tubuhnya yang tinggi di atas 1,75 m. Semua itu berceritera banyak bahwa ketika muda orang tua ini pasti tampan dan maskulin.
Kesehatannya masih bagus untuk ukuran seusianya sekalipun orang tua itu memegang tongkat di tangan kanannya. Tentu hanya berjaga untuk membantu dia berjalan. Kelihatan bahwa dia memerlukan bantuan jika akan bergerak. Namun, kesan mandiri memancar dan tertangkap dengan mudah.
Dengan sangat percaya diri dan suara bergetar karena usia, orang tua itu memperkenalkan dirinya dengan sangat terhormat. Wibawa seorang pendidik masih terasa kental sekali.
“Saya alumnus pertama diklat guru yang dilakukan di lembaga ini. Dulu namanya Penataran Guru Instruktur Matematika. Ketika itu yang jadi kepalanya Pak Hirdjan. Saya masih terus bolak-balik masuk ke sini hingga kepemimpinan Pak Soemirat. Bahkan Pak Soeparno juga masih saya nikmati.” Nama-nama yang disebut itu adalah nama-nama pemimpin lembaga ini terdahulu, yang merintis perkembangan awal lembaga ini.
“Ibu ini pimpinan ke berapa?” tanyanya sambil menatapku.
“Seorang perempuan, lembaga ini sudah punya pemimpin wanita?”
Kelihatan sekali bahwa ucapan ini tulus. Saya pun sabar mendengarkan dengan baik tuturan beliau yang runtut.
“Tentu Ibu berprestasi karena memimpin lembaga besar dan harum seperti ini tentu hasil pilihan yang terbaik dari apa yang ada,” ucapnya memuji.
Kata-kata seorang guru yang 25 tahun sebelumnya masih mengabdi sebelum memasuki masa purna bakti. Kata-kata yang mengaurakan apresiasi tak bertendensi.
“Maafkan saya, tak bisa menahan diri. Saya tadi sudah berkeliling melihat perkembangan yang terjadi. Banyak sekali perubahan. Beberapa gedung lama masih berdiri dan dipelihara dengan baik, namun sudah banyak gedung baru yang dulu belum ada.” Ucapnya lagi menjelaskan bahwa dia dan rombongan kecilnya sudah berkeliling bernostalgia.
“Lembaga ini mendidik saya dengan baik dan mematrikan harga diri dan kehormatan kepada saya selama jadi guru.” Lanjutnya mengenang masa lalunya yang penuh arti.
‘’Betapa berartinya lembaga ini buat saya. Dulu, jika saya keluar dari diklat di sini, maka saya punya ilmu yang banyak.”
Kedua anak muda yang mengantarkannya tetap santun mendampingi. Sekelebat saya lebih percaya keyogyakartaannya seandainya saya tidak pernah mengenal wajah Kalimantannya.
“Saya jadi sumber informasi bagi teman-teman guru yang tidak dapat kesempatan diklat. Untuk masuk jadi peserta diklat di sini sangat susah,” lanjut beliau, “melalui seleksi ketat.”
Saya dan staf tetap menjaga stamina untuk mendengarkan dengan baik. Banyak hal yang jadi suguhan menu hikmah bergizi tersaji dengan tiba-tiba dan tak disangka-sangka.
“Hanya orang-orang istimewa, diseleksi dengan ketat sehingga jika keluar dari lembaga ini jadi kebanggaan bagi teman-teman guru dan siswa di sekolah dan daerah. Sangat bergengsi. Tepatnya, lebih memartabatkan guru yang mengemban profesi agung!”
Kami, lebih tepatnya, saya merdekakan beliau melanjutkan kisah nostalgianya.
“Sayalah guru yang menerima manfaat dari lembaga ini, Saya jadi guru yang disegani karena memiliki ilmu yang mumpuni hasil belajar di lembaga ini.”
Kisahnya tak hanya runtut dan efisien, meskipun seperti memanjang, narasinya tetap terjaga poin-poin penting saja yang diungkap. Karakter guru matematikanya sangat terasa.
“Itu ikatan emosional saya sehingga ketika anak saya bertanya apa yang dapat membuat saya bahagia? Saya mengatakan saya ingin sekali melihat lembaga yang memberi saya sangat berarti sebagai guru.”
Demikianlah. Penjelasannya sambung-meyambung. Tak ada bahasa lagi yang mampu saya ucapkan menerima perkataan ini selain membuka kedua tangan saya lebar-lebar dan memeluk badannya yang sudah ringkih. Merapuh karena usia.
Haru sekali. Banyak teman-teman yang kebetulan melintas di lobi hendak melaksanakan salat zuhur ke musala jadi ikut menyalami dan bersimpati kepadanya. Beberapa malah memperlihatkan simpati dengan mau berhenti sejenak dan mendengarkan rangkaian kisah masa lalunya yang bermakna.
Luar biasa pelajaran yang saya peroleh hari ini. Kami diajari kasih sayang. Arti memberi perhatian dan menghargai prestasi para pendahulu saya. Kami memperoleh tuntunan berharga melalui tuturan alumnus Angkatan pertama lembaga ini. Betapa baiknya kinerja yang harus kami jaga dan rawat terus-menerus. Bangga sekali.
Saya benar-benar terharu sekali. Saya kemudian mendekati bapak itu kembali. Memeluknya dan mengusap-usap punggungnya. Naluri saya mengatakan bahwa saya tidak perlu bicara. Saya cuma harus sabar mendengarkan apa saja yang dia tuturkan. Saya yakin ini sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap orang seusia beliau.
“Alhamdulillah, Pak. Saya merasa sangat bangga dan bahagia bisa bertemu dengan Bapak. Pak Hirdjan, Pak Soemirat, dan Pak Soeparno sudah meninggal mendahului kita sehingga izinkan saya mewakili para beliau menerima Bapak.”
Saya sangat terpesona dengan hal ini sampai saya mengajak bapak itu masuk ke ruangan saya. Menuntaskan mendengar ceritanya dan makan siang bersama. Betapa bahagianya mendengarkan kebanggaan orang-orang yang pernah menuntut ilmu di lembaga ini. Mudah-mudahan saja kami yang ada di sini masih bisa terus menjaga kualitasnya sehingga tetap menjadi lembaga yang membanggakan.
Pertemuan yang menyemangati saya untuk bekerja lebih keras lagi dan mengupayakan memberikan sentuhan kasih sayang dari waktu-waktu yang tersedia.
Terima kasih, Ya Allah. Begitu banyak yang dapat kami pelajari jika kami mau memahaminya. Lindungilah kami semua dan senantiasa jagalah iman kami sehingga tetap berada di tengah-tengah kaum yang beruntung dan Engkau beri nikmat.
Sore hari ini saya mengejar pesawat malam untuk kembali berkumpul dengan keluarga di Makassar. Alumnus pertama itu telah mengajari saya pentingnya berkumpul dengan keluarga dan menggunakan waktu untuk saling membahagiakan selagi masih diberi waktu. Kesempatan saya gelar sebagai titian memupuk rasa syukur seraya bermohon keridaan-Nya.
Yogyakarta, 15 Februari 2018
Ditulis di Rumah Dinas P4TK Matematika Yogyakarta
Leave a Reply