August 28, 2023 in Jelajah Nusantara, Uncategorized

Belajar Sejarah di Benteng Kesultanan Buton/Wolio

Belajar Sejarah di Benteng Kesultanan Buton/Wolio

Oleh Telly D


Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau sangat berguna sebagai kaca benggala daripada masa yang akan datang.” ( Ir. Soekarno)

Orang suka mengatakan masa lampau sudah berlalu, jangan pernah menengok ke belakang, teruslah menatap ke depan, sebab, kita tidak akan pernah bisa kembali ke masa lampau.


Tembok Pagar Batu Benteng Wolio. Foto: Dokumen Pribadi


Benar, kita tidak bisa kembali ke masa lampau, dan ikut menyaksikan secara langsung apa yang terjadi. Namun, kita tetap dapat mengetahuinya dengan pergi ke tempat-tempat bersejarah untuk menyaksikan potongan-potongan cerita yang ada atau melihat benda-benda peninggalan yang digunakan pada zaman itu.


Hari ini saya belajar sejarah, dengan mengunjungi benteng kesultanan Buton/Wolio. Benteng yang dibangun sendiri oleh kaum pribumi bukan oleh kaum kolonial.

Bagian Luar Tembok Pagar Batu Benteng Wolio. Foto: Dokumen Pribadi


Dibangun bukan hanya untuk kebutuhan pertahanan militer atau untuk peperangan. Namun, Benteng Wolio, dibangun juga untuk melindungi pusat pemerintahan kesultanan Buton ketika itu.

Benteng ini terletak di desa wisata Limbo Wolio. Di atas bukit Wolio dengan ketinggian 100 mdpl. Karena letaknya di puncak bukit Wolio, benteng ini di kenal dengan nama Benteng Wolio. Bentengnya seluas 23, 375 hektar bagian dari perkampungan yang di dalamnya dihuni penduduk dengan jumlah 2.223 jiwa.

Akses menuju Desa Wisata Limbo Wolio sangatlah mudah, dekat dari pusat Kota Baubau., ± 4 km, sedangkan dari pelabuhan Murhum berjarak ± 4 km, dan dari Bandara Betoambari berjarak hanya ± 3 km, yang dapat diakses dengan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat.

Ketika saya tiba dan berjalan memasuki benteng ini, rasanya kaki saya melangkah setapak demi setapak memasuki pusat pemerintahan Kesultanan Buton yang berdiri pada abad ke-16 yang berjaya di abad 17 dan 18.

Letaknya sangat strategis. Lokasinya berada di puncak bukit yang cukup tinggi dengan lereng cukup terjal, sehingga tepat sebagai tempat pertahanan dan pemerintahan terbaik pada zamannya.

Benteng Wolio memiliki aritektur unik, luas dan sangat kokoh. Unik dan kokoh karena arsitektur bangunan Benteng Keraton Buton terbuat dari batu kapur atau gamping. Konon, pembuatan benteng dilakukan dengan memecahkan batu-batu karang sehingga berukuran kecil. Batubatu yang telah dipecah disusun secara sederhana, tanpa proses penghalusan sehingga bagian permukaannya tetap terlihat kasar. Disusun dengan menggunakan putih telur sebagai perekat.

Adanya perbedaan tinggi rendah pada dinding benteng bagian luar disebabkan bentangan lahan yang tidak rata. Dinding benteng yang berada di dekat lembah dibuat lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang tanahnya rata. Oleh karena itu, jika berdiri dalam benteng terlihat permukaan benteng memberi kesan rata.

Beberapa Meriam di Benteng Wolio. Foto: Dokumen Pribadi


Benteng ini panjangnya 2.740 meter dengan tebal 1-2 meter dengan tinggi antara 2-8 meter. Bangunan benteng tidak mengikuti bentangan luas lahan yang ada, bentuknya sengaja dibuat menyerupai huruf “Dal” dalam aksara Arab.

Benteng Keraton Buton di perkirakan dibangun pada abad ke-16 oleh Sultan Buton III bernama La Sangaji. Sultan yang bergelar Sultan Kaimuddin, yang memerintah pada periode 1591-1596.

Awalnya, benteng tersebut hanya berupa tumpukan batu yang disusun mengelilingi kompleks istana. Tujuannya, sebagai pagar pembatas antara kompleks istana dengan perkampungan masyarakat, sekaligus sebagai benteng pertahanan.

Dalam kepemimpinan Sultan La Elangi yang bergelar Sultan Dayanu Ikhsanuddin, karena kebutuhan benteng tersebut dijadikan bangunan banteng pertahanan permanen.

Tidak ada benteng yang seluas ini, karena luasnya beberapa situs sejarah terdapat di dalam kawasannya. Masjid Agung Keraton Buton, Kasulana Tombi atau tiang bendera Kesultanan Buton, Batu Popaua yang merupakan tempat pelantikan sultan, Batu Wolio, makam para raja dan sultan, Baruga atau balai pertemuan, gudang peluru, Goa Arung Palakka, dan Jangkar Kapal VOC, bahkan ada kampung di dalamnya.

Tercatat ada 16 kampung (baluara) di dalam benteng keraton pada masa Kesultanan Buton. 16 Nama Baluara, yaitu Baluarana Gama, Baluarana Litao, Baluarana Barangkatopa, Baluarana Wandailolo, Baluarana Baluwu, Baluarana Dete, Baluarana Kalau, Baluarana Godona Oba, Baluarana Wajo/Bariya, Baluarana Tanailandu, Baluarana Melai/Baau, Baluarana Godona Batu, Baluarana Lantongau, Baluarana Gundu-gundu, Baluarana Siompu, dan Baluarana Rakia.

Benteng Wolio memiliki empat buah pos pengintai, 12 pintu gerbang, 16 benteng kecil, parit dan berbagai senjata. Sehingga tdak mengherankan jika benteng ini mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guiness Book Record yang dikeluarkan bulan September 2006 sebagai benteng terluas di dunia.

Menuju Gua Arung Palakka di Benteng Wolio. Foto: Dokumen Pribadi


Secara umum objek wisata di Benteng Wolio ini ada 3 bagian.
Pertama, Badili atau meriam. Objek wisata ini merupakan meriam yang terbuat dari besi tua yang berukuran 2 sampai 3 depa. Meriam ini bekas persenjataan Kesultanan Buton peninggalan Portugis dan Belanda yang dapat ditemui hampir pada seluruh benteng di Kota Baubau.

Kedua, Lawa yang artinya dalam bahasa Wolio adalah pintu gerbang. Lawa berfungsi sebagai penghubung keraton dengan kampung-kampung yang berada di sekeliling benteng keraton. Terdapat 12 lawa pada benteng keraton. Angka 12 menurut keyakinan masyarakat mewakili jumlah lubang pada tubuh manusia, sehingga benteng keraton diibaratkan sebagai tubuh manusia.

Ke-12 lawa memiliki masing-masing nama sesuai dengan gelar orang yang mengawasinya. Setiap lawa memiliki bentuk yang berbeda-beda tapi secara umum dapat dibedakan baik bentuk, lebar, maupun konstruksinya. Ada yang terbuat dari batu dan juga dipadukan dengan kayu, semacam gazebo di atasnya yang berfungsi sebagai menara pengamat.

Ke-12 lawa di antaranya bernama: Lawana Rakia, Lawana Lanto, Lawana Labunta, Lawana Kampebuni, Lawana Waborobo, Lawana Dete, Lawana Kalau, Lawana Wajo atau Bariya, Lawana Burukene atau Tanailandu, Lawana Melai/Baau, Lawana Lantongau, dan Lawana Gundu-gundu.

Ketiga, Baluara. Kata baluara berasal dari bahasa portugis yaitu baluer yang berarti bastion. Baluara dibangun sebelum benteng keraton didirikan pada tahun 1613 pada masa pemerintahan La Elangi/Dayanu Ikhsanuddin (Sultan Buton ke-4) bersamaan dengan pembangunan ‘godo’ (gudang). Dari 16 baluara, dua diantaranya memiliki godo yang terletak di atas baluara tersebut.

Masing-masing berfungsi sebagai tempat penyimpanan peluru dan mesiu. Setiap baluara memiliki bentuk yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi lahan dan tempatnya. Nama-nama baluara dinamai sesuai dengan nama kampung tempat baluara tersebut berada.

Masjid Agung Kesultanan Buton Benteng Wolio. Foto: Dokumen Pribadi


Berada dalam kawasan Benteng, saya merasakan kentalnya nuansa islami di dalam benteng dengan adanya beberapa hal:
Ada masjid dalam Keraton Buton. Masjid berlantaikan marmer yang berukuran kurang lebih 40 m2, dibangun pada tahun 1712 dan menjadi masjid tertua di Sulawesi Tenggara. Dibangun pada masa kesultanan Sultan Sakiuddin Durul Alam, juga menjadi lambang kejayaan Islam pada masa itu.

Bentuk bangunan Benteng berbentuk huruf ‘dal’ dari aksara Arab dan ada lawa atau pintu gerbang yang menghubungkan keraton dengan kampung di sekitar keraton yang diberi nama.

Tiang Bendera di Benteng Wolio. Foto: Dokumen Pribadi


Penamaan pintu tersebut dimaksudkan untuk menandai orang yang menjaga pintu tersebut atau pintu bagi keluar masuknya warga yang ingin menghadap Sultan, misalnya Lawana Wajo, untuk pintu keluar masuk warga Bajo.
Persis dengan makna nama sudut atau rukun Ka’bah di Mekkah yakni Rukun Iraqi, Rukun Syami, Rukun Yamani, yang jika ditarik garis lurus mengarah pada 3 negara Islam yaitu, Irak, Syam, dan Yaman.

Jangkar Kapal VOC di Benteng Wolio. Foto: Dokumen Pribadi


Ketika saya berdiri dipuncak, benteng ini tempat yang sangat strategis untuk memandang laut yang membentang luas di bawah. Luar biasa indah panorama itu. Saya memerlukan duduk dan menatap laut di kejauhan sana.

Ini Kesultanan Buton yang namanya, telah ditulis oleh Mpu Prapanca dalam Naskah Kakawin Nagarakretagama (1365) sebagai salah satu negeri yang telah berhubungan dengan Kerajaan Majapahit dan berada di bawah pengaruhnya).

Tempat Pelantikan Sultan. Foto: Dokumen Pribadi


Kesultanan ini memiliki pemerintahan yang telah mengenal pemisahan kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif atau kehakiman (pengawas pelaksanaan undang-undang). Jauh sebelum Trias Politika Montesquieu (18 Januari 1689 – 10 Februari 1755).

Saya berada tepat di wilayah bekas kesultanan yang secara geografis terletak antara 5, 21˚ – 5, 30 LS dan 122, 30˚ – 122, 45˚ BT.

Makam Sultan Murhum di Benteng Wolio. Foto: Dokumen Pribadi


Terlihat kondisi lingkungan Pulau Buton berbentuk perbukitan dengan struktur tanah yang berbatu dan kering dengan kemiringan tanah mencapai 40º, dengan ketinggian ± 100 m di atas permukaan laut.

Betapa luasnya daerah kekuasaan yang tergabung dalam Kesultanan Buton tidak hanya mencakup Pulau Buton saja tetapi pulau-pulau lain yang ada di sekitarnya seperti Muna, Kabaena, Tikula, Tobea Besar, Tobea Kecil, Mangkasar, Bataoga, Kadatuwang, Masirieng, Siompo, dan Kepulauan Tukang Besi.

Dalam Makam Sultan Murhum. Foto: Dokumen Pribadi


Apa yang membuat kesultanan ini bisa berjaya di masanya? Jawabnya adalah pelabuhan.

Kesultanan Buton terletak di pulau Buton, yang merupakan bagian dari Kepulauan Tukangbesi di Sulawesi Tenggara, Indonesia. Pulau ini memiliki lokasi strategis di jalur perdagangan laut antara Asia dan Australia serta antara Timur Tengah dan Asia Tenggara. Karena lokasinya yang penting ini, pelabuhan-pelabuhan di wilayah Buton menjadi tempat singgah dan bertukar barang-barang dari berbagai belahan dunia.

Kesultanan Buton memiliki tradisi panjang dalam perdagangan maritim. Para pelaut Buton dikenal sebagai navigator ulung yang mampu mengarungi lautan luas dan menjelajahi pulau-pulau terpencil untuk berdagang. Mereka memiliki pengetahuan tentang arah angin, arus laut, dan navigasi yang canggih, sehingga pelabuhan-pelabuhan di Buton menjadi tempat persinggahan yang penting bagi para pedagang dari berbagai bangsa.

Kesultanan Buton pada masa lalu merupakan salah satu kerajaan maritim terkuat di wilayah Indonesia Timur. Kekuatan militer dan politik mereka memungkinkan mereka untuk mengendalikan wilayah-wilayah pesisir dan mengawasi perdagangan laut. Hal ini membuat pelabuhan-pelabuhan mereka menjadi pusat aktivitas ekonomi dan perdagangan yang ramai.

Pulau Buton kaya akan sumber daya alam, termasuk rempah-rempah, kayu, mutiara, dan hasil laut lainnya. Keanekaragaman ini menjadikan pelabuhan-pelabuhan di Buton sebagai tempat yang diminati bagi pedagang dari berbagai daerah yang ingin mendapatkan barang-barang berharga.

Kesultanan Buton memiliki jejaring perdagangan Internasional yang meluas, termasuk dengan negara-negara seperti Tiongkok, India, Arab, dan Eropa. Jejak-jejak hubungan perdagangan ini masih dapat ditemukan dalam artefak-artefak bersejarah dan budaya lokal di wilayah tersebut.

Dengan kombinasi faktor-faktor di atas, Kesultanan Buton menjadi pusat perdagangan maritim yang signifikan di wilayah Indonesia Timur. Pelabuhan-pelabuhan di wilayah Buton tidak hanya melayani perdagangan lokal, tetapi juga menjadi titik persinggahan penting dalam jaringan perdagangan global pada masa lalu.

Pengalaman mengunjungi Benteng Wolio adalah perjalanan yang menggetarkan hati. Keindahan arsitektur yang memikat dan aura sejarah yang terasa begitu kuat membuat saya merasakan kekuatan dan pengaruh Kesultanan Buton pada masa lalu.

Menapakkan kaki di tempat ini membuat saya merenung tentang peranan penting Buton dalam perdagangan maritim dan menjaga warisan budaya yang berharga. Setiap dinding benteng menyimpan kisah yang menginspirasi, mengingatkan kita akan kehebatan masa lalu yang tetap harus dihormati dan diwariskan kepada generasi mendatang.

Baubau, Mei 2022






2 Comments

  1. August 31, 2023 at 2:32 am

    Irad La Buke

    Reply

    Deskripsinya detail, lengkap tapi tetap menarik. Saya ikut merasakan aura sejarah hanya dengan membacanya

  2. August 28, 2023 at 6:20 am

    Much. Khoiri

    Reply

    Membaca tulisan ini serasa hadir di lokasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree