July 31, 2023 in Haji dan Umrah, Uncategorized

Kebiasaan Menyisakan Makanan

Kebiasaan Menyisakan Makanan

Oleh Telly D

Pernahkan anda mengalami situasi dalam suatu jamuan makan, orang mengambil banyak makanan di piring namun menyisakan tidak habis dimakan. Apa yang anda pikir ketika itu?

Kebiasaan menyisakan banyak makanan di piring tanpa memakannya merupakan fenomena yang sering terlihat dalam jamuan makan di Indonesia.

Sisa makanan. Foto: Dokumen Pribadi


Bagaimana jika itu terjadi di negara lain. Ini pengalaman saya ketika sementara melaksanakan ibadah umrah di sebuah hotel internasionaal berbintang 5 di Makkah. Dimana ruang makan dipakai bersama oleh semua bangsa dunia yang menginap di hotel itu.

Makan bersama membuat bisa saling mengetahui kebiasaan makan, nampak kebiasaan jemaah umrah Indonesia suka berebutan mengambil banyak makanan kemudian menyisakan di piring tidak dihabiskan.

Sisa makanan. Foto: Dokumen Pribadi


Dalam krisis makanan yang melanda dunia akibat bencana alam, konflik bersenjata, perubahan iklim, dan ketidakstabilan ekonomi. Dimana setiap makanan yang terbuang akan menjadi lebih berharga.

Kebiasaan-kebiasaan menyisakan makanan adalah pemborosan sumber daya, seperti makanan, air, energi, dan lahan pertanian.

Dapat menciptakan ketidakadilan sosial karena makanan yang dibuang sebenarnya dapat bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan. Di tengah kondisi global yang menghadapi masalah kelaparan dan kekurangan pangan, pemborosan makanan menjadi semakin tidak dapat diterima.

Sisa makanan. Foto: Dokumen Pribadi


Ada beberapa pemicu yang membuat seseorang mengambil makanan dalam jumlah banyak kemudian tidak menyukainya:
Tidak menyadari preferensi makanan. Terkadang seseorang mungkin tidak menyadari bahwa mereka tidak menyukai makanan tertentu sebelum mencobanya. Mereka mungkin mengambil makanan tersebut dengan harapan akan menyukainya, tetapi ternyata tidak.

Tidak adanya pilihan lain. Dalam beberapa situasi, orang mungkin terbatas pada pilihan makanan yang tersedia. Mereka mungkin mengambil makanan yang tidak disukai karena tidak ada alternatif yang lebih baik.

Mengambil dalam jumlah banyak karena takut kekurangan. Beberapa orang mungkin khawatir bahwa mereka tidak akan mendapatkan cukup makanan, terutama jika mereka merasa lapar atau jika makanan yang tersedia terbatas. Akibatnya, mereka mengambil makanan dalam jumlah yang lebih banyak dari yang sebenarnya mereka butuhkan.
Atau mungkin juga ada keinginan untuk mencoba berbagai hidangan yang tersedia. Bahkan mungkin juga karena kesejarahan sebagai bangsa terjajah.

Pengalaman kelaparan masa lalu. Sebagai bangsa yang pernah mengalami masa kelaparan atau kekurangan pangan selama masa penjajahan, hal ini dapat menciptakan rasa takut dan kekhawatiran akan kekurangan makanan di masa depan. Pengalaman buruk tersebut dapat mengakar dalam kesadaran kolektif dan mempengaruhi pola konsumsi dan kebiasaan dalam mengelola makanan. Masyarakat cenderung mengambil makanan dalam jumlah yang berlebihan untuk menghindari risiko kelaparan atau kekurangan yang terjadi di masa lalu.

Ketidakstabilan pangan dan ketidakadilan pangan. Selama masa penjajahan, banyak negara mengalami pengurasan sumber daya alam dan pengeksploitasian sistem pertanian lokal oleh negara penjajah. Hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan pangan dan ketidakadilan pangan, di mana masyarakat pribumi sering kali menghadapi keterbatasan akses terhadap sumber daya pangan yang memadai. Pengalaman ini dapat menciptakan kekhawatiran dan ketakutan akan kekurangan pangan di masa depan, yang berdampak pada kecenderungan untuk mengambil makanan dalam jumlah yang berlebihan.
.
Mengambil makanan dan tidak menghabiskannya merupakan pemborosan makanan karena sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan makanan tersebut, seperti air, energi, lahan, dan bahan bakar transportasi, menjadi sia-sia.

Proses produksi makanan menghasilkan emisi gas rumah kaca dan menggunakan sumber daya alam yang terbatas, seperti air dan tanah. Ketika makanan dibuang, semua investasi tersebut menjadi sia-sia.

Pemborosan makanan juga memiliki dampak lingkungan yang serius. Ketika makanan membusuk di tempat pembuangan sampah, proses pembusukan menghasilkan metana, gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Selain itu, pembuangan makanan juga menghabiskan ruang di tempat pembuangan sampah, yang pada akhirnya membutuhkan lahan yang lebih luas untuk menampung limbah.

Secara global, pemborosan makanan menyumbang secara signifikan terhadap masalah kelaparan dan ketidakadilan pangan. Sementara itu, jutaan orang di seluruh dunia masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan pangan dasar.

Dengan membuang makanan yang sebenarnya masih layak dikonsumsi, kita tidak hanya menyia-nyiakan sumber daya, tetapi juga melewatkan kesempatan untuk membantu mengurangi kelaparan dan mengatasi ketidakadilan pangan.

Selain itu, makanan yang terbuang juga mewakili uang yang terbuang percuma, baik oleh individu atau organisasi. Dampak ekonomi ini dapat menjadi beban tambahan bagi masyarakat yang berjuang dalam kemiskinan atau ketidakstabilan ekonomi.

Dalam menghadapi krisis global terkait makanan dan sumber daya, praktik mengurangi pemborosan makanan merupakan langkah penting dalam mencapai keberlanjutan dan keadilan sosial. Masyarakat perlu terus mengembangkan kesadaran akan pentingnya pengelolaan makanan yang bijak dan berbagi dengan mereka yang membutuhkan.

Di Jepang, terdapat praktik yang dikenal sebagai “Mottainai” yang mengajarkan nilai-nilai penghormatan terhadap sumber daya dan penghindaran pemborosan. Jepang menyampaikan rasa penyesalan dan sikap mendalam atas pemborosan makanan dan sumber data lainnya.

Para pemerhati lingkungan Jepang telah menggunakan istilah tersebut untuk mendorong masyarakat agar “mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang.” Pemerhati lingkungan Kenya Wangari Maathai menggunakan istilah tersebut pada Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai slogan untuk mempromosikan perlindungan lingkungan.

Beberapa restoran di Jepang menerapkan kebijakan atau praktik yang mendorong pelanggan untuk tidak menyisakan makanan. Salah satu contohnya adalah adanya porsi makanan yang disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga pelanggan dapat memesan makanan sesuai dengan nafsu makan mereka.

Beberapa restoran juga mengajak pelanggan untuk membawa pulang makanan yang tidak habis, dengan memberikan bungkus atau wadah untuk dibawa pulang.

Bahkan ada beberapa restoran juga mengajak pelanggan untuk berbagi makanan jika mereka tidak dapat menghabiskannya. Misalnya, mereka dapat membagikan makanan yang tidak terpakai kepada orang lain di meja mereka atau memberikannya kepada staf restoran yang akan memanfaatkannya dengan bijak.

Beberapa contoh negara yang memiliki inisiatif serupa adalah:
Prancis. Prancis dikenal dengan hukumnya yang mengatur bahwa supermarket-supermarket besar harus menyumbangkan makanan yang tidak terjual namun masih layak konsumsi kepada lembaga amal atau masyarakat yang membutuhkan. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi pemborosan makanan di level ritel dan memastikan makanan yang masih baik tidak dibuang.

Korea Selatan. Korea Selatan mengadopsi konsep “Doggy Bag Culture” dimana mereka mendorong pelanggan untuk membawa pulang makanan yang tidak habis di restoran. Hal ini dilakukan melalui kampanye sosial dan menyediakan wadah khusus untuk membawa pulang makanan.

Denmark. Denmark memiliki proyek bernama “Stop Spild Af Mad” (Stop Pemborosan Makanan) yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang pemborosan makanan dan memberikan solusi praktis. Mereka menyediakan aplikasi yang membantu mengidentifikasi toko-toko yang menawarkan diskon pada makanan yang akan kadaluarsa, serta mengadakan acara dan kampanye pendidikan untuk mengajarkan cara memanfaatkan makanan dengan bijak.

Australia. Di Australia, terdapat gerakan “Love Food Hate Waste” yang bertujuan untuk mengurangi pemborosan makanan melalui pendidikan dan kesadaran masyarakat. Mereka memberikan saran praktis tentang pengelolaan makanan di rumah, membagikan resep kreatif menggunakan sisa-sisa makanan, dan mengajak masyarakat untuk membuat kompos dari sisa-sisa makanan.

Indonesia. Beberapa hotel di Indonesia mengingatkan pengunjung yang masuk ke ruang makan agar tidak menyisakan makanan yang diambil lebih dari jumlah tertentu. Bila terjadi, maka akan didenda. Boleh mengmbil berulang-ulang asal tidak bersisa sebanyak jumlah yang ditentukan.

Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa kekhawatiran terhadap pemborosan makanan tidak terbatas hanya pada Jepang, tetapi juga menjadi perhatian global. Negara-negara ini mengambil langkah-langkah konkret untuk mengurangi pemborosan makanan melalui kebijakan, kampanye sosial, dan pendidikan kepada masyarakat. Semua ini dilakukan untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu memastikan penggunaan makanan yang bijak dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan serta ketimpangan akses terhadap makanan.

Dalam Islam, pemborosan makanan dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama yang menganjurkan kesederhanaan, penghargaan terhadap sumber daya, dan keadilan sosial.

Islam menekankan pentingnya memanfaatkan nikmat Allah dengan bijak dan tidak berlebihan. Allah SWT berfirman, “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31).

Selain itu, Islam mendorong umatnya untuk berbagi makanan dengan mereka yang membutuhkan dan mempraktikkan keadilan sosial. Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Dia bukanlah seorang Muslim yang kenyang ketika tetangganya kelaparan.” (HR. Al-Baihaqi).

Dalam perspektif Islam, mengambil makanan secara berlebihan dan membuangnya tanpa alasan yang jelas merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab dan tidak adil terhadap sesama.

Untuk mengatasi masalah pemborosan makanan dan mempromosikan keadilan sosial, beberapa langkah dapat diambil.

Pertama, penting untuk meningkatkan kesadaran dan
pemahaman masyarakat tentang dampak pemborosan makanan dan pentingnya penggunaan yang bijak. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan dan kampanye yang mengedukasi masyarakat tentang praktik-praktik yang berkelanjutan dalam pengelolaan makanan.

Kedua, perlu adanya perubahan perilaku individu dan kolektif dalam penggunaan makanan. Masyarakat harus mengadopsi kebiasaan mengambil makanan dengan porsi yang sesuai dengan kebutuhan, menghindari perilaku berlebihan, dan memastikan bahwa makanan yang disajikan benar-benar habis dimakan.

Ketiga, penting untuk mengembangkan sistem pengelolaan makanan yang efektif dan berkelanjutan. Ini melibatkan peran aktif dari lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta dalam mempromosikan praktik-praktik yang mengurangi pemborosan makanan, seperti daur ulang, redistribusi, dan pengelolaan yang lebih efisien.

Akhirnya dapat dikatakan bahwa kebiasaan tidak menghabiskan makanan dan membuangnya, padahal ada banyak orang yang membutuhkan, merupakan masalah yang perlu ditangani secara serius.

Kita perlu bersama-sama bekerja untuk mengubah sikap kita terhadap makanan dan mengurangi pemborosannya. Melalui kesadaran, pendidikan, dan praktik yang bijak, kita dapat mencapai tujuan tersebut dan menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil bagi semua.

Di dalam setiap potongan makanan terdapat usaha keras petani, upaya alam semesta, dan tangisan kelaparan di dunia. Jadi, menghormati makanan dengan tidak memboroskannya adalah tindakan bijak yang menghargai upaya mereka dan menyebarkan keadilan sosial.”

Makkah, 3 Mei 2023




2 Comments

  1. August 1, 2023 at 10:14 am

    N. Mimin Rukmini

    Reply

    Bunda, hal yang kadang dianggap kecil, namun benar! Menyisakan makanan adalah karakter buruk dan sebetulnya ini masalah serius. Tulisan luar biasa yang sungguh mengingatkan! Terimakasih Bun!

    1. August 5, 2023 at 1:32 pm

      Telly D

      Reply

      Terima kasih bunda . 🙏🏻🙏🏻🙏🏻

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree