June 23, 2023 in Jelajah Nusantara, Uncategorized

Warung Bakmi Jawa dengan Panorama Batu Nisan

Post placeholder image

Hanya Ada di Jogja
Warung Bakmi Jawa dengan Panorama Batu Nisan
Oleh: Telly D


Jogjakarta memiliki banyak julukan: kota pelajar, kota gudeg, kota perjuangan, kota pariwisata, kota budaya, kota seniman, kota museum, kota batik, city of toleran, dan kota bakpia.

Wisata kuliner termasuk salah satu daya tarik utama yang ditawarkan oleh kota Jogja. Beragam kuliner dengan cita rasa yang sangat beragam pula. Tidak salah jika saya memberi julukan Jogja adalah kota Koki untuk memuji kemampuan orang-orang lokalnya memasak yang sangat enak.

Mudah saja jika ingin mencari makan yang enak dan murah di Jogja. Ada di mana-mana. Saya tidak bisa bayangkan betapa ketatnya persaingan di bidang kuliner yang memaksa mereka untuk menaikkan suhu kreatifnya sehingga mampu untuk tetap menarik dan mempertahankan pelanggan.

Kelihatannya para pemain kuliner jalanan, tidak tertarik bersaing dengan menaikkan harga. Komitmen untuk menyajikan harga makanan sesuai level jualannya sangat mereka jaga. Jika jualannya hanya disajikan untuk kategori makanan jalanan seperti di gerobak atau di tenda di tepi jalanan misalnya, maka kita tidak akan menemukan harga makanan gerobak lebih mahal dibandingkan dengan harga makanan di restoran, seenak apapun makanannya.

Itulah yang menjadikan di Jogja, makanan jalanan kelezatannya setara dengan kelezatan restoran ternama. Orang suka mengatakan makanan jalanan di Jogja serasa makanan di restoran berbintang. Jogja mengukuhkan diri kota koki jalanan. Persainganlah yang membuat Jogja, melahirkan koki-koki jalanan yang berjumlah banyak, tangguh dan hebat. Kemampuannya tak diragukan sudah teruji di lapangan.

Makanan yang enak dengan tempat makan yang tepat adalah inti dari persaingan itu. Jangan heran jika di Jogya kita menemukan warung makan dengan makanan yang unik dan tempat jualan yang unik yang menjadikan ciri khas jualannya.

Makan Nasi Goreng dengan Panorama Batu Nisan.
Nasi goreng disajikan di mana-mana. Makan nasi goreng dengan panorama alam adalah biasa, namun makan nasi goreng dengan panorama batu nisan di malam hari hanya ada di Jogja.


Adalah gerobak Warung Bakmi Ayam Pak Totok yang sudah menjual sejak tahun 1994 di Jalan Menteri Supeno. Warung ini melayani pelanggannya dari pukul18.00 – 24.00 setiap malam dengan gerobaknya di parkir tepat di depan no 35.


Tempat ini dipakai bersama. Pagi hari di situ ada perusahaan Kijing Sadjid Siswodihardjo yang menjual batu nisan dengan berbagai variasi. Jualannya dihampar bertebaran dengan aturan tertentu di depan tokonya. Malam hari tempat itu jadi tempat jualan Bakmi ayam Pak Totok. Bisa dibayangkan sensasinya makan dengan panorama batu nisan di malam hari dengan penerang seadanya.


Warung Bakmi ayam Pak Toto dilayani langsung oleh pemiliknya sepasang suami isteri. Saya langsung menebaknya tentu itu Pak Totok dan isterinya ibu Totok.

Mereka jualan dengan hanya bermodalkan:

1. Gerobak sekaligus berfungsi sebagai etalase dan dapur yang berisi semua kebutuhan bahan yang ada di menu makanan. Dilengkapi dengan alat, talenan, dan pisaunya, kompor, sutil, dan wajan penggorengan. Ayam kampung yang sudah telanjang pun ikut digantung lehernya untuk meyakinkan bahwa menunya benar-benar asli bahannya dari ayam sungguhan. Gerobak inilah yang menjadi pusat perhatian utama. Pemilik warung gerobak merangkap koki, seorang laki-laki separuh baya yang pandai meramu menu dan tangkas memainkan sutil penggorengan. Dia bekerja dengan menggunakan celemek.

2. Untuk support gerobak, ada 2 meja yang disiapkan sebagai meja service. Satu tempat untuk meletakkan semua piring, mangkok, dan gelas bersih dan satu meja dipakai untuk menyiapkan minuman (air panas dalam termos untuk membuat teh atau jeruk panas atau dingin). Ini kawasan yang dijaga oleh bu Totok.


3. Untuk tempat duduk pelanggan disediakan 2 meja yang diatur memanjang. Sisi satunya duduk membelakangi batu nisan dan sisi sebelahnya disiapkan kursi plastik tanpa sandaran menghadap ke batu nisan. Itu jika kondisi normal, namun jika pengunjung banyak maka orang mesti bersedia duduk dipinggiran batu nisan yang terbuat dari keramik itu.

Ketika saya pertama kali lewat di depan warung ini, saya tercengang. Saya tak habis pikir kok ada orang yang jualan dekat batu nisan, dan anehnya ada juga yang mau beli, ramai pengunjungnya, banyak motor dan mobil yang terparkir di depannya. Pasti makanannya enak.

Mobil dipelankan, mata saya terpaku pada jejeran batu nisan yang menjadi latar belakang warung itu, batu nisan itu batu nisan beneran bukan lukisan, kami serentak bergidik dan mendesiskan “ihhhh ngeri ah…..” apalagi cahaya lampu yang seadanya yang jatuh tepat di atas batu nisan itu membuat bayangannya semakin menyeramkan. Mobil kami percepat meninggalkan warung itu.

Awalnya kami menertawakan ketakutan kami. Namun semakin mobil menjauh dari warung itu kami semakin penasaran ingin tahu bagaimana sensasinya makan di warung dengan jejeran batu nisan.

Rasa ingin tahu itu yang membuat kami sepakat memutar mobil kembali, dan bersedia untuk ramai-ramai mampir dan menikmati sensasi makan dengan panorama batu nisan.

Kami memesan makanan sesuai keinginan, ada beberapa pilihan. Warung itu sesungguhnya warung bakmi jawa. Saya memesan nasi goreng, cekatan sekali sang koki menggoreng telur mata sapi dan memulai memantaskan bumbu nasi goreng dengan nasinya. Nasi goreng kampung. Rasanya enak seperti nasi goreng yang ada di mana-mana. Di Jogya, standar nasi goreng yang enak sudah ada hanya harus sabar, memerlukan waktu untuk menunggu karena pesanan dimasak satu persatu dengan menggunakan anglo berbahan bakar arang.

Saya bingung memilih tempat duduk. Apakah harus membelakangi batu nisan atau menghadap batu nisan. Saya tidak berani membelakangi takut ada tangan yang memegang bahu saya jika sementara makan, ucapku yang membuat semua menertawakan kecemasanku. Saya akhirnya memilih menghadapi batu nisan lebih bisa jaga-jaga jika ada sesuatu yang keluar dari batu nisan, bisa kabur maksudnya.

Beberapa pelanggan yang datang kemudian dengan enteng memilih tempat duduk di sekitar batu nisan itu. Tentu pelanggan tetap, sehingga nyaman saja dengan kondisi yang ada. Hanya saya saja yang penakut bisikku menyemangati diri sendiri.

Pak Totok mengatakan dia sudah jualan sejak tahun 1994. Setiap malam dapat menjual sampai 80 porsi. Otak matematikaku langsung bekerja. Satu porsi nasi goreng Rp17.000, teh manis Rp 3.000,- jika dijumlah jadinya Rp20.000,-. Jika dikali 80 menjadi Rp 1.600.000.itu penghasilan semalam. Jika sebulan tentu kita dapat menghitungnya, tidak mengeluarkan biaya menggaji orang karena bekerja sendiri. Rakyat kecil dapat mensejahterakan dirinya sendiri. Saya jadi malu dengan diriku yang tidak mampu melakukan hal yang sebaik mereka. Sangat mandiri, tidak meronrong pemerintah untuk menyiapkan kursi untuk jadi pegawai negeri.

Betul kata orang ala bisa karena biasa. Nasi goreng belum habis, saya sudah mampu menikmati suasana yang ada dengan lebih santai.

Bu Totok mengatakan nggak perlu takut karena nisan yang ada masih baru bukan bekas pakai. Teman saya membisikkan kuburan sebenarnya ada di sebelahnya….. Rupanya teman saya itu sementara menikmati kecemasan saya.

Makan nasi goreng sambil memandangi batu nisan yang berjejer itu membuat saya tahu, perbedaan batu nisan. Perbedaan agama atau kepercayaan membuat batu nisan itu berbeda. Saya jadi tahu batu nisan untuk orang yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Khonghucu, dan sebagainya sangat berbeda. Halus buatannya terbuat dari keramik porselin atau marmer, dijejer berkelompok-kelompok sesama agama. Batu nisan pun mengenal pengelompokan secara agama. Berpasang-pasangan. akhirnya saya mampu menikmati keindahan batu nisan itu.

Rasa sayang pada yang meninggal membuat keluarga memilihkan batu nisan yang terbaik. Apakah saya termasuk orang yang disayang keluarga. Saya akhirnya berpikir siapa yang akan memilihkan batu nisan buatku jika sudah meninggal. Semandiri apapun orang, akhir hidupnya mesti ada yang membatu memilihkan batu nisan yang tepat.

Ya Allah, makan di warung ini mengingatkan saya untuk selalu menjalin hubungan baik kepada siapapun, sehingga memiliki orang-orang yang meyayangiku yang pada akhirnya memuliakan saya dengan memilihkan saya tempat yang layak jika waktunya tiba. Saya berharap di atas pusara saya ada batu nisan yang mengisyaratkan rasa sayang keluarga pada diriku. Saya tentu sangat tidak berharap pusaraku tanpa batu nisan. Saya yakin sekali keluargaku dapat dipercaya untuk mewujudkan hal ini.

Saya menyudahi makan malam itu dengan semangat yang lain sungguh membahagiakan saya bisa belajar. Saya punya guru kehidupan malam ini. Kematian harus disiapkan dengan baik sebaik mempersiapkan kehidupan. Terima kasih kepada yang mengajak saya makan di tempat ini, Warung Bakmi dengan panorama batu nisan. Saya sangat yakin bahwa ini cuma ada di Jogja.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree