Pembelajar Sejati Penuh Kesantunan Diri
Pembelajar Sejati Penuh Kesantunan Diri
Oleh Telly D
‘’Hormati gurumu
Sayangi teman
Itulah tandanya kau murid budiman’’
Ini adalah bait terakhir dari lagu pergi ke sekolah ciptaan ibu Sud. Dulu, setiap pagi, ketika akan berangkat sekolah, saya selalu diminta oleh ibu untuk menyanyikannya.
Biasanya lagu ini mulai saya dendangkan di saat saya sudah mandi, berpakaian dan ibu membantu memasangkan kaos kaki dan sepatu. Jika hati saya lagi riang, lagu ini saya nyanyikan sambal berputar-putar dan berlakon membungkukkan badan, memberi hormat pada ibu.
“Oh ibu dan ayah selamat pagi
Kupergi belajar sampaikan nanti’’
(Ibu dengan spontan merespons bait berikutnya sambil meminta saya mencium tangannya).
“Selamat belajar nak penuh semangat
Rajinlah selalu supaya dapat.”
(Kemudian saya bersama-sama dengan ibu menyelesaikan bait terakhirnya).
“Hormati gurumu sayangi teman
Itulah tandanya kau murid budiman.”
Berangkat sekolah dengan hati yang riang adalah hal yang diupayakan dalam keluarga, namun kondisi ini juga dimanfaatkan oleh ibu dan Ayah, bukan saja menanamkan kecintaan pada ilmu, tetapi juga menitipkan pesan moral untuk hormat dan santun pada guru dan kawan-kawan. Kecerdasan selalu dikemas satu paket dengan kesantunan dan rasa rendah hati.
Tentang hormat pada guru saya punya kenangan. Kenangan yang selalu menyemangati saya perlunya menghargai seorang guru. Waktu itu seorang guru datang berkunjung ke rumah, Guru yang berkunjung baru saja keluar dari rumah sakit. Kena serangan stroke yang berakibat cacat permanen pada mulutnya, Mulutnya miring. Kecacatan itu mengganggu jika guru itu berkomunikasi.
Setelah kunjungan guru selesai, saya meniru-niru bagaimana guru itu bercakap-cakap dengan ayah lengkap dengan suara sengaunya. Maksudnya adalah menarik perhatian ibu dan ayah dengan kelucuan yang saya buat.
Saya tak menyangka bahwa ibu tidak suka saya berlakon demikian. Sore itu saya kena marah. Ibu jika marah berat ungkapan-ungkapan bahasa Bugisnya akan mengalir dengan sempurna.
“Iyasengnge guru, waji i ihargai,
narekko sipolo olokkoloi, sipolo asui tettei ihargai.”
(seorang guru harus dihargai, jika seorang guru itu sepotong binatang atau sepotong anjing pun pun tetap wajib dihargai),
ucapnya dengan suara tegas dan wajah yang kaku.
“Saya bukan muridnya”
“Saya tidak pernah diajar sama bapak guru itu.”
Saya berusaha menghindar dari mata ibu yang melotot. Namun, ibu tidak menerima alasan saya, beliau semakin menegaskan dengan sengit.
“Biarpun tidak pernah diajar, Namun kamu wajib menghargainya, karena dia seorang guru.”
“Salah satu rahasia untuk dapat sukses dan menuai berkah di dunia adalah menghargai guru.”
“Terlebih lagi jika guru itu adalah guru yang langsung menanamkan ilmu padamu,” masih disambung penjelasannya.”
Percakapan-percakapan ini, tertanam dengan baik pada diri saya. Nilai yang disemaikan ayah dan ibu tentang menghormati guru dan santun pada guru menjadi nilai yang saya pegang terus dalam meniti hidup ini.
Namun hari ini, nilai yang saya pelihara itu, balik menikam ulu hati dan merontokkan semua kegembiraan yang saya miliki. Saya terkesima, tidak siap melihat keberanian yang tak terpuji dari seorang dosen muda berdebat sengit, beradu argumentasi dalam suatu pengujian mahasiswa dengan seorang guru besar, yang bukan saja sebagai kolega kerja namun juga adalah gurunya.
Kecintaannya pada ilmu telah membuatnya lupa diri, meletakkan rasa hormatnya pada seorang guru. Rasa hormat itu dengan sadar di koyak-koyak dan dihamburkan di depan mata semua orang yang ada dalam ruangan pengujian itu.
Kami menikmati keburukannya tanpa bersisa. Serpihan koyakan itu ternyata masih dibutuhkan dan dipakai kembali untuk melegalkan kebanggaannya bahwa adu argumen seperti ini adalah hal biasa saja setiap kali bertemu dengan guru besar tersebut.
”Orang tahu semua jika beliau dan saya ketemu dalam satu pengujian selalu kondisinya seperti itu sehingga semua orang sudah paham kondisi ini,” ucapnya untuk meyakinkan kami bahwa itu hal biasa saja baginya. Kebiasaan yang mengerikan.
Debat atau adu argumen memang hal biasa, jika dipahami bahwa adu argumen adalah diskusi yang mendalam. Teristimewa bagi para pekerja ilmu, malah wajib hukumnya dilakukan diskusi-diskusi mendalam dalam pencaharian kebenaran ilmu.
Kemudian adu argumen menjadi luarbiasa, menjadi tidak wajar jika dalam diskusi itu tak mampu lagi memisahkan antara fokus ilmu yang didiskusikan dengan keinginan untuk meremehkan teman diskusi, hanya karena mengganggap diri lebih banyak tahu dan paling benar sendiri.
Kebiasaan yang luar biasa nistanya, merinding bulu kuduk saya menemukan ada orang berilmu bangga karena mampu selalu berbantah-bantahan kasar dengan gurunya dimana dia sendiri adalah berprofesi guru yang sejatinya harus tahu cara menghargai seorang guru.
Kebanggaan macam apa yang dia maksud. Saya tak mampu memahaminya. Apa layak merasa bangga jika kecerdasan dan kepiawaian dalam merapal ilmu sudah tidak mampu lagi mengontrol rasa sombong dan kesantunan terhadap teman diskusi.
Apakah tidak disadari bahwa mempermalukan orang itu sama saja mempermalukan diri sendiri? Dimana letak kebanggaannya?
Jika ilmu hanya membuat kita berwajah buruk betapa sia-sianya memiliki ilmu.
Tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai ke liang lahat, atau tuntutlah ilmu sampai ke negeri China adalah ungkapan-ungkapan yang memotivasi orang untuk senantiasa mau meningkatkan dirinya secara terus menerus.
Beberapa pendapat yang lebih tegas mengatakan bahwa orang yang sementara menuntut ilmu adalah orang-orang yang berjihad. Jika dia meninggal dalam kondisi berjihad maka dia akan mati syahid. Mati syahid jaminannya surga, betapa mulianya.
Anjuran ini yang berlaku untuk setiap pribadi muslim untuk mau mengenali dirinya dengan menggali potensinya, sehingga pribadi muslim sebenarnya adalah pribadi pembelajar.
Dengan mengetahui dirinya dan potensinya ia akan terus belajar memaksimalkan apa yang dimiliki. Ketika segenap potensinya berhasil dimaksimalkan dan kekurangan pada dirinya berhasil diatasi maka kesuksesan akan datang menghampiri.
Kehidupan sudah membuktikan bahwa orang-orang yang sukses dan meraih kemuliaan hidup adalah mereka yang senantiasa menyediakan dirinya untuk mendengar dan belajar mengasah ketajaman hati dan pikirannya di setiap kesempatan hidupnya.
Mereka adalah pribadi pembelajar yang tiada berhenti belajar dan melatih mengembangkan kualitas dirinya, karena dengan belajar akan membuka cakrawala pemikiran manusia untuk menjangkau hal-hal yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya.
Kebiasaan ini dapat membentuk karakter manusia yang terus berkembang. Pengetahuan yang luas dan pengalaman yang banyak menjadikan manusia dapat memberikan kontribusi kebaikan yang lebih baik bagi dirinya dan bagi lingkungan sekelilingnya.
Allah meninggikan orang-orang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajad. Hal ini dijelaskan dalam sabda Rasulullah, betapa Allah memuliakan orang berilmu. Bahkan dalam hadist lain disebutkan tidurnya orang berilmu lebih utama dari shalatnya orang bodoh.
Ketika kita tak henti belajar dan menuntut ilmu, maka kita akan lebih pandai dalam menyelesaikan masalah yang menghadang. Ketika kita memiliki ilmu yang cukup maka kita bisa membantu orang lain yang kebingungan dalam menghadapi masalah yang dihadapi. Hal itu artinya kita akan menjadi pribadi-pribadi yang bermanfaat bagi orang lain.
Orang-orang yang memiliki banyak ilmu takkan kehabisan ide membuat hidupnya lebih baik. Orang-orang yang berilmu takkan berhenti membagikan ilmunya kepada orang lain. Ia takkan congkak dan riya, justru akan menjadi pribadi yang santun juga rendah hati.
Karena sesungguhnya pribadi-pribadi pembelajar yang sejati akan menyadari bahwa ilmu yang mereka miliki hanyalah seujung kuku dari ilmu yang Allah miliki. Tanpa kuasa-Nya dan ridho-Nya juga tanpa barokah dari-Nya mereka bukanlah apa-apa.
Kesantunan diri, juga kerendahan hati akan menjadi perhiasan indah bagi pribadi-pribadi yang berilmu. Bukan hanya dimuliakan karena banyaknya ilmu yang dimiliki, tapi juga disegani karena kesantunannya yang tersohor keseluruh negeri.
Gambaran nyata dari pembelajar sejati yang santun adalah Nabi Muhammad SAW.
Kini pertanyaannya, bersediakah kita mengikuti jejaknya?
Bersediakah kita menjadi penerusnya? Bersediakah kita menjadi orang yang dimuliakan Allah sekaligus orang yang bermanfaat?
Bagi orang yang menuntut ilmu hanya untuk kebanggaan saja bukan untuk disebarkan maka ada hadist riwayat Tirmizi dan ibnu Majah yang melarang keras hal itu.
“Janganlah kalian menuntut ilmu untuk membanggakan terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan di kalangan orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula menuntut ilmu untuk penampilan dalam majelis dan untuk menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barang siapa seperti itu maka baginya neraka.”
Jangan buat diri kita pribadi yang belajar hanya karena ingin dipuji, sebab menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah, sedangkan mengajarkan pada orang, atau memberi tahu pada yang tidak mengetahuinya adalah sedekah.
Sesungguhnya ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan khirat.
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuat kita semakin mengenal Allah. Seseorang yang menuntut ilmu apapun, sekiranya ilmu yang dia tuntut itu dapat membuatnya semakin kagum atas demonstrasi kebesaran Dzat maha pencipta, menjadikannya semakin taat dan takut kepadanya, maka itu berarti dia telah dikaruniai ilmu yang bermanfaat.
Ilmu yang bisa menjadi jalan taat kepada-Nya akan membuat seseorang mampu bersikap tawadhu dan rendah hati di hadapan orang lain. Ibarat padi yang semakin berisi semakin merunduk, maka semakin bertambah ilmunya semakin membuat hatinya bersih dari penyakit tercela. Ia akan senantiasa berusaha memelihara diri dari sifat ujub, riya, sum’ah (ingin populer), takabur, serta memandang remeh orang.
Menjadi orang yang selalu haus ilmu dan cinta belajar sejatinya memang harus diupayakan. Namun menjaga kesantunan diri, juga tak kalah pentingnya. Orang yang memiliki banyak ilmu dan tetap santun dan rendah hati adalah pribadi yang luar biasa.
Berilmu dapat juga bermakna berubah menjadi lebih baik, lebih terbuka dan lebih bersahabat dengan banyak orang, sehingga akan memiliki lebih banyak kolega yang mau mendukung.
Berilmu tak dibenarkan merasa paling hebat. Karena ada area-area tertentu dimana orang lain lebih ahli. Berilmu juga berarti membuat ikatan persahabatan, buka persaingan dan permusuhan.
Orang-orang berilmu adalah orang-orang terbuka dan bersahabat. Bagaimanapun mumpuninya ilmu seseorang tak seorang pun bisa diandalkan untuk segala medan, Core competency yang dimiliki tidak bisa diandalkan untuk segala medan, butuh kerjasama. Bersikap terbuka memberi peluang untuk kerja sama.
Orang berilmu menikmati indahnya berbagi dengan sesama. Keberhasilan adalah mendapatkan apa yang diinginkan namun kebahagiaan sangat berbeda dengan keberhasilan karena kebahagiaan adalah menyukai apa yang kita dapatkan.
Empati pada orang terlebih bila mengemukakan suatu pendapat tentang hal yang pribadi sifatnya. Petunjuknya, sisihkan waktu untuk berada di posisi mereka agar dapat melihat situasi dan sudut pandang mereka.
Keahlian mendengar sama pentingnya dengan keahlian berbicara. Orang berilmu juga memang harus tahu kapan berhenti berbicara. Tidak ada yang dapat didengar jika berbicara sekaligus mendengarkan. Berilah waktu pada orang untuk berbicara. Berilah mereka izin, ruang, dan waktu untuk mengutarakan maksudnya.
Hati-hati pada emosi sendiri, bila apa yang mereka katakan dapat menimbulkan respons emosional dalam diri. Bersikaplah ekstra hati-hati agar betul-betul dapat memahami arti kalimat mereka. Bila marah, ketakutan, atau merasa terganggu bisa jadi akan kehilangan bagian krusial dan penting yang sedang disampaikan.
Bila tidak setuju, ingin mengeritik atau berargumentasi dapat dilakukan pelan-pelan. Sekalipun tidak setuju, biarkan mereka melontarkan sudut pandang mereka dulu.
Komentar dapat membuat orang lain defensif sehingga meskipun memenangkan perdebatan atau argumentasi bisa saja kehilangan suatu pandangan yang jauh lebih berharga dan penting.
Berhenti berbicara adalah jurus pertama dan terakhir paling ampuh. Apakah senang mendengar atau senang kalau didengarkan. Diam tidak berkata-kata juga merupakan kemampuan berbicara tanpa kata.
Marilah belajar lebih banyak tentang ilmu mengendalikan diri, nafsu dan keinginan untuk berbuat hal yang mencederai kemuliaan kita.
Ya Allah, sungguh aku memohon padamu ilmu yang bermanfaat, rezki yang halal, dan amal yang diterima (HR Ibnu As-Sunni).
Makassar, Juli 2016
July 18, 2023 at 12:24 am
Fatma
Bacaan yang menambah wawasan, dengan guru kami tidak tau jadi Tau
July 17, 2023 at 10:47 pm
Endang
Tulisan yg menginspirasi kita dgn pesan kesantunan dalam berilmu, jadi ingat kata ustad, berakhlak terlebih dahulu sebelum berilmu
July 16, 2023 at 10:30 pm
Much Khoiri
Ini tulisan yang bergizi. Bukan sekadar tulisan. Ada pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik.
July 16, 2023 at 10:07 pm
Sumintarsih
Sangat menginspirasi. Lewat lagu orang tua menitipkan pesan kesantunan kpd anak-anka. Lagu yang sarat makna Bunda. Apkah anak2 sekarang menghafal dan menyanyikan lagu itu ya?
July 16, 2023 at 8:50 am
Abdullah Makhrus
MAsyaAllah, menarik sekali. Penuh hikmah terutama di paragraf ” Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuat kita semakin mengenal Allah. Seseorang yang menuntut ilmu apapun, sekiranya ilmu yang dia tuntut itu dapat membuatnya semakin kagum atas demonstrasi kebesaran Dzat maha pencipta, menjadikannya semakin taat dan takut kepadanya, maka itu berarti dia telah dikaruniai ilmu yang bermanfaat.
Ilmu yang bisa menjadi jalan taat kepada-Nya akan membuat seseorang mampu bersikap tawadhu dan rendah hati di hadapan orang lain. Ibarat padi yang semakin berisi semakin merunduk, maka semakin bertambah ilmunya semakin membuat hatinya bersih dari penyakit tercela. Ia akan senantiasa berusaha memelihara diri dari sifat ujub, riya, sum’ah (ingin populer), takabur, serta memandang remeh orang.
Menjadi orang yang selalu haus ilmu dan cinta belajar sejatinya memang harus diupayakan. Namun menjaga kesantunan diri, juga tak kalah pentingnya. Orang yang memiliki banyak ilmu dan tetap santun dan rendah hati adalah pribadi yang luar biasa.” Barakallah Bunda @Telly D