Masjid Tua Al-Hilal Katangka
Masjid Tua Al-Hilal Katangka
Gowa-Sulawesi Selatan
Oleh Telly D
Pagi ini awal tahun, 20 Januari 2023 saya dan teman (Pak Helmi dan Pak Ardi) berdiri di jalan Syech Yusuf No. 57, Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92114. Tepat di depan, sebuah Masjid dengan tampilan anggun dan sangat bersahaja.
Kami tertarik mengunjungi untuk menulis cerita masjid ini. Cerita sejarah yang panjang, masjid ini telah menjadi saksi bisu titik awal perjalanan agama Islam di bumi Selatan Sulawesi. Betapa istimewa sejarahnya.
Masjid Tua Al-Hilal nama resminya. Nama ini masih tercantum dan terbaca di Plang halaman masjid. Namun, masyarakat luas lebih mengenal masjid ini dengan nama Masjid Katangka.
Katangka dapat menjelaskan bahwa nama tempat di mana masjid itu berdiri dan Katangka juga berarti nama jenis kayu yang menjadi bahan utama pembangunan masjid yang berdiri sejak tahun 1603 itu.
Konon kabarnya pohon kayu Katangka banyak tumbuh ketika itu di daerah ini. Apa itu yang menyebabkan tempat ini diberi nama Katangka? Kayu katangka adalah kayu endemis, kayu yang dianggap sebagai kayu kehormatan oleh orang Makassar. Kini kayu ini sudah sangat langka dan susah menemukannya.
Sejarah Masjid Katangka ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV I Mangarangi Daeng Manrabbia atau yang kemudian bergelar Sultan Alauddin (Menurut Iqbal Daeng Rapi).
Sultan Alauddin adalah Raja Kerajaan Gowa pertama yang memeluk agama Islam dan mendukung penyebaran agama Islam ke seluruh daerah di Sulawesi Selatan. Namanya diabadikan menjadi nama salah satu perguruan tinggi Islam terkemuka di Sulawesi Selatan.
Sejarah juga mencatat bahwa Syiar Islam di Selatan Sulawesi tidak terlepas dari peran tiga sosok ulama asal Minangkabau, yakni Dato Ri Bandang, Dato Patimang, dan Dato Ri Tiro. Ketiganya yang mengislamkan banyak kerajaan di jazirah selatan Sulawesi, termasuk Kerajaan Gowa.
Kami memerlukan banyak waktu untuk berlama-lama memandang, mengagumi dan menaksir Masjid tua ini sebelum meneruskan berjalan memasukinya.
Masjid Katangka dulu didirikan dalan kawasan benteng Istana Tamalate, pusat Kerajaan Gowa. Itu berarti letaknya berdekatan dengan istana raja. Wilayah ini dulunya dikelilingi tembok benteng, namun saya tidak melihatnya lagi.
Berada di “jantung kerajaan,” membuat masjid ini pada masa itu, selain sebagai pusat peribadatan dan syiar Islam, juga berfungsi sebagai benteng pertahanan. Itu yg membuat dinding dan pintu Masjid mencapai ketebalan 1 meter lebih.
Di sekeliling bangunan masjid, saya melihat ada makam sejumlah Raja Gowa dan keturunannya. Bahkan sekitar 500 meter arah selatan masjid terdapat kompleks makam Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI yang merupakan cucu Sultan Alauddiin.
Sultan Hasanuddin adalah pahlawan nasional yang gigih melawan penjajahan Belanda pada abad ke-17, yang namanya sekarang diabadikan menjadi Nama Bandara Internasional Sultan Hasanuddin.
Masjid ini menggunakan kayu dari pohon Katangka, sejak awal dibangun sampai sekarang. Dalam prasasti masjid tercatat masjid ini dibangun sejak tahun 1603. Berarti telah mencapai usia 400 tahun lebih.
Betapa bagusnya kualitas kayu Katangka teruji ketahanannya dengan waktu yang panjang, masih tetap berdiri kokoh.
Bentuk asli Masjid Katangka juga tidak pernah berubah yaitu persegi empat. Luas pekarangan 3.300 meter persegi dibangun di atas area seluas 610 m2, dengan luas bangunannya sekitar 212,7 m2.
Memiliki enam jendela besar berukuran 3,5 x 1,5 meter dengan tebal satu meter lebih. Dindingnya terbuat dari batu bata yang cukup tebal, mencapai 120 sentimeter. Menghadap ke timur dan dikelilingi pagar besi dengan tiang pagar dari tembok dengan ketinggian sekitar satu meter.
Bentuk masjid yang persegi empat atau sulapa appa bermakna empat penjuru mata angin. (Utara, Timur, Selatan, dan Barat) dan juga bernakna empat unsur yang menyeimbangkan kehidupan (Tanah, Air, Angin, dan Api).
Struktur atapnya mirip bangunan Joglo. Memiliki empat tiang penyangga yang dalam arsitektur Jawa disebut soko guru. Hanya saja terbuat dari susunan batu, bukan kayu. Memiliki serambi seperti masjid yang ada di Pulau Jawa.
Terdapat dua tingkat atap. Atap bagian atas berbentuk segi tiga piramida. Pada bagian atas atap ada lambang mustika.
Mereka meyakini makna filosofi: Atap bersusun dua dimaknai sebagai dua kalimat syahadat. Jendela masjid berjumlah enam melambangkan rukun iman, dan jumlah pintu sebanyak lima melambangkan rukun islam. Empat tiang penyangga melambangkan empat sahabat Rasulullah khulafaur rasyidin yakni Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Pada bagian selatan masjid berbatasan langsung dengan jalan raya dan rumah penduduk. Pada bagian selatan masjid terdapat enam buah keran air yang difungsikan untuk mengambil air wudhu dan sebuah sumur yang kira-kira berdiameter satu meter.
Puas mengamati dari luar, perlahan saya melangkah memasuki masjid ini.
Pintu masuk bangunan utama masjid seluas 1.44 meter persegi terletak di sisi timur.
Masjid Katangka memiliki dua pintu masuk, dimana setiap pintu memiliki dua daun pintu. Di depan pintu sebelah kiri, terdapat sebuah bedug yang digunakan untuk menandakan masuknya waktu shalat.
Sedangkan di depan pintu sebelah kanan, terdapat dua buah rak sepatu. Walaupun memiliki dua pintu, hanya pintu bagian kanan yang selalu digunakan.
Di sisi pintu utama ada prasasti kecil bertuliskan “Masjid Tertua di Sulsel,” sementara di bagian bawahnya tertulis “1603.”
Setelah saya masuk melewati pintu masjid, saya belum langsung masuk ke dalam masjid. Ada ruang kosong yang di sebelah kanannya terdapat sebuah tempat mengambil air wudhu yang sudah tidak digunakan lagi.
Di depan masjid ada baruga berbentuk persegi empat yang terbuat dari kayu. Atap baruga terbuat dari seng dan tiangnya terbuat dari kayu.
Pada plafon baruga terdapat dua buah kipas angin. Di dalam baruga, terdapat meja-meja kecil dan papan tulis kecil. Lantainya terbuat dari tegel.
Di dalam masjid terdapat lima buah mesin pendingin dan enam buah kipas angin. Di tengah-tengah masjid, terdapat sebuah lampu yang unik dan besar. Tiap-tiap sudut bagian atas masjid terdapat satu buah bola lampu.
Pada bagian atas tengah masjid terdapat sebuah pintu untuk menuju ke lantai dua masjid, tetapi tidak memiliki tangga.
Masjid Katangka memiliki ruang utama. Di ruang utama terdapat tiang dan mihrab serta ada mimbar. Tiangnya berjumlah empat berbentuk bulat yang dibuat dengan cor serta dilengkapi sembilan pilar pendukung yang terdapat tulisan Arab berbahasa Makassar terbuat dari ukiran kayu.
Di samping kiri dan kanan mimbar, terdapat sepasang tombak yang panjang dan memiliki bendera. Pada sudut masjid sebelah kiri terdapat sebuah jam besar berukuran kira-kira dua meter.
Menurut Iqbal Daeng Rapi, tombak yang ada itu berhubungan dengan cerita bahwa di masa lalu di penghujung khutbah Jumat, sebagian jamaah langsung berdiri dan berlomba menggigit konsep khutbah yang dibaca oleh khatib. Konsep tersebut ditulis di daun lontar. Sebagian jamaah berkeyakinan bahwa barangsiapa yang menggigit daun lontar tersebut maka benda tajam tidak bisa menembus kulitnya.
Supaya tidak mengganggu jalannya shalat Jumat, disiapkan dua prajurit untuk menghalau jamaah yang masih berkeyakinan seperti itu.
Hal yang unik, ada ornamen kaligrafi di gapura kecil mimbar. Kaligrafi berhuruf Arab itu menggunakan bahasa Makassar yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut. “Mimbar ini dibuat pada hari Jumat tanggal 2 Muharam tahun 1303 Hijriah. Diukir oleh Karaeng Katangka bersama Tumailalang Lolo.”
Pada zamannya, masjid ini termasuk besar, mewah, dan dianggap penting karena letak dan konstruksinya.
Arsitektur masjid dipengaruhi oleh beberapa budaya. Seperti bentuk mimbar dipengaruhi budaya Cina. Bentuk dinding dan tiang masjid dipengaruhi budaya Eropa, ukiran Arab pada mimbar dipengaruhi budaya Timur Tengah, serta perpaduan budaya Jawa dan lokal.
Fungsi masjid sekarang, selain digunakan shalat lima waktu, masjid ini juga sering digunakan untuk merayakan hari besar Islam seperti maulid. Masjid ini juga digunakan sebagai tempat pengajian oleh anak TPA. Serta setiap malam Jumat, jamaah membaca Yasin di waktu antara Maghrib dan Isya.
Pengunjung masjid ini bukan hanya warga lokal, tapi juga dari luar Sulawesi hingga mancanegara.
Selain berfungsi sebagai tempat ibadah, masjid tersebut sering dijadikan tempat melepaskan nazar bagi sebagian warga Bugis-Makassar. Masjid itu sering dikunjungi warga yang datang dari berbagai tempat yang jauh, yang meyakini bahwa dengan melakukan shalat pada bulan Ramadan di masjid tersebut akan beroleh berkah dan rezeki yang melimpah.
Masjid Katangka diresmikan pada tahun 1981 sebagai situs sejarah dan purbakala oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Prof. Dr. Haryati Soebadio.
Ketika saya akan beranjak meninggalkan masjid ini saya menatapnya kembali. Saya jadi merenung, betapa panjangnya sejarah masjid ini dan betapa mudahnya saya menuliskan. Sesungguhnya yang utama adalah membuat sejarah, bukan menulisnya. Mari memulainya.
Makassar, 7 Januari 2023
Sumber informasi: Iqbal Daeng Rapi, dan Daeng gappa (staf Balai Pelestarian Cagar Budaya).
Referensi
http://www.suarapembaruan.com/News/2007/09/20/Nusantar/nus12.htm. Di download, 2 Oktober 2022
http://enjoy-makassar-id.blogspot.com/2008/12/masjid-katangka-masjid-tertua-di.htmlS. Di download, 2Oktober 2022
http://wisatasejarah.wordpress.com/2009/09/12/masjid-al-hilal-katangka/. Di download, 2 Oktober 2022
http://www.potlotadventure.com/2009/10/06/masjid-tua-katangka-situs-ma suknya-agama-islam/. Di download, 2Oktober 2022
http://www.masjidistiqlal.com/index.php?modul=text&page=detail&textID=2856. Di download, 2 Oktober 2022.
March 25, 2024 at 12:18 pm
Dominique Mccallister
Excellent write-up
January 21, 2023 at 10:07 pm
Astuti
Akhirnya tulisan tentang sejarah masjid di kota tempat tinggal penulis hadir. Bagian dari jejak Literasi kita terhadap sejarah yang dimiliki Oleh semua negeri yang mayoritas beragama Islam.
January 26, 2023 at 8:32 am
Telly D.
Terima kasih
January 21, 2023 at 11:04 am
Muhammad Helmi
Mantap Kanda
January 26, 2023 at 8:33 am
Telly D.
Terima kasih