January 2, 2023 in Jelajah Nusantara, Uncategorized

Kain Tenunan Bira Di Pulau Liukang Loe

Kain Tenunan Bira
di Pulau Liukang Loe

Oleh Telly D

‘’Sarung ini motif penis bu,’’ ucap pengrajin tenunan itu memberi penjelasan motif sarung yang sementara ditenun, menjawab rasa ingin tahu kami.

Menenun Kain Tenunan Bira. Foto: Dokumen Pribadi

Hah, saya tersedak mendengarnya, pikiran saya nyeleneh (seperti apa penis jika jadi motif sarung). Ternyata yang dimaksud adalah motif kappala pinisi (perahu phinisi).

Penis untuk pinisi ucapan dalam bahasa konjo yang dipakai oleh masyarakat Bira. Saya tak bisa menahan diri untuk tertawa ngakak menutup mulut memikirkan kekonyolan yang baru saja terlintas dipikiran saya.

Cerita itu dimulai ketika saya dan saudara (Puang Baji dan Puang Do) sementara berjemur di bawah cahaya matahari. Menikmati birunya laut, halusnya pasir putih, gemericiknya ombak yang memecah di bibir pantai ditambah dengan tiupan angin di Pulau Liukang Loe. Pulau wisata kecil di depan Pantai Bira, Bonto Bahari kabupaten Bulukumba.

Menenun Kain Tenunan Bira. Foto: Dokumen Pribadi

Kemudian, di antara bunyi desah angin dan deburan ombak ada bunyi lain yang ikut menyelinap dan mengusik. Bunyi sentakan-sentakan alat tenun yang saling beradu. Bunyi ketukan-ketukan yang berirama sama dan teratur.

Adinda saya Puang Baji terpikat dan mencari sumber suara itu. Kami beramai-ramai berjalan menyusuri kampung dengan dipandu suara itu. Suara itu adalah bunyi ketukan dari alat tenun ‘Balira’ yang dilakukan berulang-ulang untuk merapatkan benang dalam proses menenun.

Saya tidak menyangka Pulau Liukang Loe yang sunyi dan jauh dari hiruk pikuk keramaian kota ada kerajinan tenunan yang masih dipertahankan oleh masyarakat setempat, menarik sekali.

Dua orang wanita berbeda generasi sementara menenun di bawah rumah panggung tradisional, seorang ibu dan anaknya. Keduanya menggunakan alat tenun yang masih tradisional, alat tenun gendong atau tenun gedogan.

Memintal Benang. Foto: Dokumen Pribadi

Alat tenun terbuat dari kayu. Melihat kondisinya tentu sudah berumur puluhan tahun. Alat tenun dan keterampilan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Keduanya tidak sadar bahwa mereka telah menjaga budaya atau ikut melestarikan tradisi budaya menenun.

Disebut alat tenunan gendong, sebab ada bagian alat tenun tersebut (epor) yang diletakkan di belakang pinggang seolah-olah digendong sewaktu menenun.

Dinamakan juga gedog karena bunyi suara yang dihasilkan dog, dog, dog sewaktu menekan benang pakan dengan alat yang bernama liro (balira), gedog dalam bahasa Jawa juga berarti ketuk. Tepatnya alat tenun yang di ketuk dog, dog, dog.

Ada dua daerah penghasil kain sarung tenunan yang terkenal di Sulawesi Selatan, Kabupaten Wajo (Pakkanna) dan Kabupaten Bulukumba (Kajang dan Bira). Saya bahkan memiliki beberapa koleksi sarung khas Bira Lipa ’Bangkuru dan lipa so’bi’ yang menggunakan warna alami yang diberi oleh saudara.

Menenun Kain Tenunan Bira. Foto: Dokumen Pribadi

Dapat melihat langsung proses pembuatan sarung tenunan Bira, menambah pengalaman dan memelihara rasa hormat saya pada ketekunan penenun yang memintal benang demi benang untuk menjadi selembar kain dalam kurun waktu yang lama.

Menenun sarung melewati 2 proses panjang, yaitu proses mempersiapkan benang dan proses menenun. Lama waktu yang dibutuhkan menenun sampai 30 hari bahkan bisa lebih sesuai dengan motif yang diinginkan dan kesulitan yang ada.

Sarung tenun berbenang emas (lipa so’bi) ditenun lebih dari sebulan. Sebab, penenun harus mengatur sendiri penempatan warna dan gambar kapal, bunga, atau motif lain. Hal Ini membuat sarung yang berbenang emas lebih mahal harganya.

Ada dua macam sarung khas Bira, yaitu sarung tenunan biasa (bangkuru) dan tenun berbenang emas (lipa so’bi) dengan diberi motif kapal phinisi, jangkar, bunga, dan sebagainya.

Sarung tenun biasa per lembarnya dibandrol 250-350 ribu rupiah, sedangkan sarung tenun dengan motif benang emas per lembarnya 500-750 ribu rupiah.

Berada di kawasan wisata, bisa harganya lebih mahal. Ketika saya menanyakan sarung motif kapal phinisi yang ditenun di tempat itu, harganya dibandrol 2 juta rupiah.

Tinggi daya tarik ekonomi sarung ini, namun mengapa perlahan-lahan sarung ini menjadi langka, kalah bersaing dan tersingkir oleh produk luar yang diproses dengan menggunakan teknologi atau pabrikan.

Apakah karena kualitasnya ataukah karena pemeliharaannya yang mesti mendapat perlakuan khusus? Sarung tenun dengan benang emas tidak bisa dicuci dengan sabun cuci biasa.

Sarung bakal luntur dan rajutannya bisa rusak. Sarung jenis ini hanya bisa dicuci dengan menggunakan getah pepaya. Getah papaya akan membuat sarung ini lembut dan kualitas warnanya bertambah bagus.

Apakah itu yang membuat sarung Bira dengan warna alami semakin langka ditemukan dipasaran ataukah sekarang sudah tidak ada lagi yang membuatnya, karena hanya orang-orang dulu yang mampu meracik pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan hutan, tidak mengajarkan kepada generasi muda?

Sangat disayangkan jika generasi penerus pun sudah jarang yang berminat melestarikannya.

Sejarah menuliskan bahwa tenunan yang awalnya diilhami oleh sarang laba-laba sudah ada sejak dahulu (2500 SM) sejak saat penguasa Mesir memerintahkan rakyatnya untuk membentuk busana untuk para bangsawan.

Kemudian diwariskan dengan perjalanan panjang dari generasi ke generasi. Hingga berkembang dan menyebar ke daratan Eropa, Asia, dan daerah lainnya oleh para pedagang hingga sampai di tanah air.

Di Sulawesi Selatan, utamanya sarung Bugis atau Makassar pada umumnya bermotifkan kotak-kotak, atau dalam bahasa daerahnya disebut Sulapa’ Appa’ (segi empat) menyiratkan empat unsur utama yang menyeimbangkan kehidupan, yaitu Api, Angin, Air, dan Tanah (jadi ingat tokoh avatar ‘Eng’ sebagai penguasa ke empat unsur ini).

Namun dalam perkembangan selanjutnya di Bira, motif kotak-kotak (Banurung) dijadikan background, sebab di atasnya dengan cara disungkit bisa diletakkan motif lain seperti kapal phinisi, jangkar, atau bunga (lipa’so’bi) dan motif yang lain.

Ada beberapa motif pada sarung tenun tradisional Bira yaitu motif perahu, motif bunga, motif suluru (motif yang berbentuk seperti tangga) dan motif liri’ tallu.

Menenun merupakan rutinitas kegiatan keseharian masyarakat Bira, para wanita dalam mengisi waktu luang menunggu kepulangan suaminya yang berlayar.

Umumnya para kepala keluarga bekerja sebagai seorang pelaut yang merantau mengarungi lautan-lautan Indonesia menyusuri setiap pantai atau dermaga yang menjadi tujuan.

Sejarah tenunan sarung tenunan Bira, memiliki kaitan erat dengan pelayaran Phinisi, tradisi menenun sarung beriringan semenjak nenek moyang masyarakat Bira menjadi pelaut yang membawa perahu Phinisi.

Berikutnya motif suluru (motif yang berbentuk seperti tangga) dan motif liri’ tallu. Makna perlambangan hiasan yang berbentuk tangga ini adalah kemakmuran hidup, rezeki yang datang tidak akan henti-hentinya.

Demikian mendalam makna yang dapat disampaikan oleh selembar kain sarung tenunan Bira. Mewakili kehidupan sosial budaya, dan lingkungan masyarakatnya sehingga memerlukan strategi mempertahankan budaya ini.

Namun semakin berkurangnya minat para gadis-gadis muda dalam belajar menenun, sudah banyak yang bersekolah dan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, dan tidak ada lagi kesempatan untuk belajar menenun.

Sayang sekali apabila menenun di Tanjung Bira memudar, dikarenakan menenun merupakan salah satu aset Kebudayaan Bangsa dan Negara.

Memiliki nilai ekonomi, dapat membuka lapangan pekerjaan dibanding jika mereka melakukan pengrusakan laut dan biotanya untuk sekedar mempertahankan hidup. Sarung tenunan bisa menjadi salah satu oleh-oleh khas Bira yang memiliki estetika serta artistik tersendiri.

Membeli selembar sarung tenunan Bira itu memberi semangat dan dukungan terhadap pengrajin tenunan untuk terus menjaga dan melestarikan budaya ini.

Selembar sarung tenunan adalah bagian dari budaya kita sehingga maknanya lebih dari sekedar sarung. Sebagai anak bangsa tentu punya tanggung jawab menjaga kelestariannya.

Bara, 17 November 2022




10 Comments

  1. January 6, 2023 at 6:30 am

    Abdullah Makhrus

    Reply

    Prolognya bikin penasaran pembaca. Budaya tenun yg layak dilestarikan karena pembuatannya perlu pengorbanan dan waktu yang lama

  2. January 6, 2023 at 4:36 am

    cahyati muchson

    Reply

    Artikel ini menyadarkan pembaca, betapa beraneka kearifan lokal bangsa kita. Upaya untuk melestarikannya harus digalakkan agar dikenang dari generasi ke generasi

  3. January 6, 2023 at 4:24 am

    Daeng Ardi

    Reply

    Kapal phinisi jika diucapkan oleh orang Bira ternyata lain penyebutannya.. hehe.. baru saya tau.. padahal beberapa kali saya ke Bira

  4. January 6, 2023 at 2:42 am

    Siddiq

    Reply

    Penenunan yang menggunakan alat tradisional secara tidak langsung melibatkan matematika sebagai awal dari sebuah produk kerajinan bernilai seni yang sangat mengagumkan.

  5. January 6, 2023 at 12:57 am

    Asdar

    Reply

    Menarik utk kajian etnomatematika. Pola Aljabar polinomial kain tenun Penis Bira

  6. January 6, 2023 at 12:43 am

    Hajrah

    Reply

    Tulisan dengan banyak makna dan pelajaran. Terima kasih bu

  7. January 6, 2023 at 12:37 am

    Sumintarsih

    Reply

    Tembakan di awal tulisan sangat mengundang minat pembaca. Hehe….

  8. January 6, 2023 at 12:36 am

    Abdisita

    Reply

    Tidak sekedar selembar kain tenun tetapi juga sejarah peradaban masyarakat Bira. Semoga masih ada generasinya yang melestarikannya. Aamiin Yaa Robbal’alamin

  9. January 6, 2023 at 12:27 am

    Mukminin

    Reply

    Keren tulisannya Bunda

  10. January 6, 2023 at 12:08 am

    Much Khoiri

    Reply

    Catatan tentang motif batik yang sangat bagus. Lengkap dan bagus penyampaiannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree