Madrasah Kehidupan
Madrasah Kehidupan
Oleh Telly D
Dunia ini adalah madrasah (sekolah) kehidupan, semua dapat dijadikan bacaan atau pelajaran untuk menjadi khalifah yang pintar dan bijaksana ataukah sebaliknya (Much Khoiri, 2022).
Sekalipun ada juga yang mengatakan dunia ini hanya permainan, ibarat bermain petak umpet dengan teman, jika kalah tentu tidak perlu bersedih hati mendalam, karena itu hanyalah sebuah permainan. Setelah bermain kita akan kembali menjalani hidup yang sesungguhnya.
Bahkan ada yang melihatnya hanya sebatas panggung sandiwara, jika sandiwara selesai dipentaskan, layar diturunkan, selesailah sandiwara itu. Pementasan akan dimulai dengan cerita yang sama atau yang lain di panggung yang sama atau mungkin di panggung yang lain.
Mari menikmati panggung sandiwara kehidupan ini, tidak perlu terlalu gembira atau bersedih hati karena ini hanya permainan dunia, sambil belajar dan mengambil pelajaran atau mutiara hikmah untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Sudah 3 hari saya menikmati piknik bersama keluarga dan saudara. Bersama keluarga karena saya bersama besan, anak, menantu, dan cucu. Saya juga bersama 2 saudara yaitu adinda Puang Jodi dan Puang Baji. (Puang sapaan untuk orang dewasa di kalangan suku Bugis).
Piknik ini mendadak tanpa perencanaan, langsung saja terlaksana.
Semua serba kebetulan, menantu saya kebetulan memilih tempat melahirkan di Indonesia. Hal itu membuat besan datang bergabung dari Singapore (menantu warga negara Singapore).
Adinda saya Puang Jodi kebetulan ada di Makassar dalam perjalanan pekerjaan.
Kebetulan berikutnya adinda bungsu saya Puang Baji seorang notaris yang menetap di Kabupaten Bulukumba menawarkan cottagenya di Pantai Bara, menjadi tempat kegiatan piknik dengan kemasan silaturahmi.
Silaturahmi selalu membahagiakan, bukan hanya bertemu fisik secara langsung semata, tetapi di balik pertemuan itu tersaji banyak nilai, spirit, dan manfaat (Ngainun Nain, 2022).
Pantai Bara yang kami pilih adalah pantai yang satu area dengan Pantai Tanjung Bira. Sekalipun belum terkenal dan sepopuler Tanjung Bira, namun memiliki daya tarik yang sama. Pantai dengan laut biru yang indah, pemandangan yang menarik, pasir putih yang halus membentang luas sepanjang bibir pantai, dan juga memiliki keindahan bawah laut yang terkenal keindahannya.
Lebih khusus lagi Pantai Bara juga lebih sepi dibandingkan dengan pantai Bira, sehingga lebih tenang untuk dinikmati bersama keluarga.
Terletak di ujung selatan Pulau Sulawesi, tepatnya berada di Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, sekitar 40 km dari Kota Bulukumba atau 200 km dari Kota Makassar dengan waktu tempuh sekitar 3-4 jam.
Cottage adinda Puang Baji sangat strategis berada tepat di depan pantai, jendela dan pintu kamarnya mengarah ke pantai. Dari dalam kamar pun keindahan pantai, deburan ombak sudah dapat dinikmati.
Di pantai Bara kami melakukan berbagai aktivitas bersama. Duduk sekedar berjemur di bawah matahari sambil menikmati segarnya angin yang berhembus, menyaksikan pesona matahari terbit dan terbenam, menikmati halusnya pasir putih di setiap pijakan kaki kami, berenang, berperahu, mengunjungi Pulau Liukang Loe yang ada di depan pantai dengan menaiki banana boat, meneguk segarnya air kelapa sambil makan pisang goreng buatan masyarakat lokal. Sungguh aktivitas silaturahmi yang membahagiakan.
Semakin menarik ceritanya karena dinda Puang Jodi seorang pelukis cahaya (fotografer), ini yang membuat kami terus-menerus membuat lukisan-lukisan menarik untuk keperluan dokumen pribadi. Kami tidak ingin kehilangan kesempatan yang langka ini.
Berbagai pose dan berbagai latar belakang kami lakukan. Syukur Puang Jodi sabar melayani permintaan kami sekalipun kadang dengan menggerutu, jika latar belakang yang kami inginkan tidak tepat untuk melukis cahaya (golden colour tidak keluar).
Sungguh piknik yang indah, pemandangan dan aktivitas menarik, orang-orang yang tepat ditambah dengan makanan laut yang enak: kepiting, udang, kerang, ikan bakar, menjadi menu utama.
Masih disempurnakan dengan saling bertukar pengalaman, mengulang cerita-cerita masa kecil yang lucu dikelilingi anak cucu. Cerita kenangan, harapan, dan mimpi. Gelak tawa kami yang saling mengganggu, saling menertawakan diri, penuh keriangan mengisi semua atmosfir ruang yang ada.
Ini hanya permainan hidup yang sementara. Kesenangan itu mesti dihentikan segera, adinda Puang Jodi menerima pesan bahwa penerbangan ke Vietnam terjadwal besok pagi. Tidak ada pilihan, semua kesenangan itu harus dihentikan.
Sandiwara kehidupan selesai, layar diturunkan.
Kami secepatnya beradaptasi dengan informasi itu, bersiap-siap untuk pulang. Awalnya semua berjalan normal, perjalanan pulang bisa dinikmati dengan baik, namun hujan, badai yang mengguyur beberapa hari pada beberapa kabupaten (Jeneponto dan Takalar) yang kami lewati membuat sungai banjir dan meluap, menggenangi dan mengalir di atas jalan raya. Ada 4 simpul banjir yang parah. Mengacaukan dan menghanyutkan semua kegembiraan yang baru saja kami nikmati.
Demikianlah hidup, tidak ada yang abadi. Kesenangan dan penderitaan silih berganti. Mari menikmatinya sambil mengambil mutiara pelajaran.
Kami yang tadinya bersenang-senang menikmati luasnya lautan terbentang, sekarang menikmati sempitnya di dalam mobil dengan jalanan yang antriannya mengular. Banjir mengakibatkan perjalanan yang seharusnya 3-4 jam saja, kami menempuhnya nyaris 12 jam.
Kami yang tadinya berjemur dengan matahari yang bersinar cerah, dengan penuh rasa gembira sekarang harus menikmati suasana hujan deras, angin kencang, jalanan yang banjir, ditambah lagi dengan listrik yang padam.
Kami yang tadinya riang dan menikmati hidangan yang lezat, sekarang bersabar menahan rasa lapar yang memberi rasa dingin di perut. Menenangkan diri dengan melafalkan doa dan zikir untuk diberi perlindungan dan diberi kemudahan.
Suasana yang sangat berbeda, demikianlah jika Allah menghendaki, tidak ada kekuatan bumi yang mampu menahannya.
Kami terdiam di mobil dalam antrian panjang, di bawah bunyi hujan deras, tiupan angin kencang dan bunyi derasnya air yang mengalir. Mencekam dalam gelap jalanan yang hanya diterangi lempu kendaraan.
Kami berbicara pun harus berbisik, takut suara kami membuat kepanikan baru, kami saling menguatkan untuk bisa bersabar.
Kondisi di mobil tidak nyaman. Cucu saya Nadhira yang berusia 1,5 bulan mulai gerah dan menangis. Waktu yang panjang membuat Nadhira harus pipis dan pup di mobil, kami tidak bisa keluar karena hujan dan banjir. Bisa dibayangkan aroma yang kami hirup dalam mobil.
Separuh perjalanan, susu yang disiapkan juga sudah habis, kami berpisah kendaraan dengan ayah bunda Nadhira. Memerlukan air panas untuk mengencerkan susunya. Tidak ada pilihan pencarian air panas yang dapat diupayakan dalam kondisi itu.
Perasaan kami pun tertekan dan cemas dengan bahan bakar mobil, bisa tidak cukup dengan panjangnya waktu mengantri, yang tidak jelas kapan selesainya. Pompa bensin tidak ada yang beroperasi karena listrik dipadamkan.
Tidak ada yang dapat dilakukan selain berdoa dan bersabar. Mesti sabar dan tertib dalam antrian, sebab jika ada yang menyalip mengisi jalur kanan, maka mobil dari depan yang menggunakan jalur kiri terhalang untuk bergerak.
Dalam kondisi yang demikian juga masih ada yang memaksakan keinginan, mobil-mobil orang penting yang dikawal dengan motor atau mobil patwal atau mobil ambulans menggunakan bunyi sirene melaju menggunakan jalur kanan dan beberapa pengendara lain terpicu menggunakan kesempatan yang ada, ikut menggabung masuk dalam iring-iringan itu tanpa rasa bersalah dan malu.
Kondisi ini termasuk yang menambah kekisruhan kemacetan karena menghalangi laju mobil jalur kiri arah berlawanan.
Mobil kecil yang tidak bisa menyeberangi banjir karena takut mesin mati atau terbawa arus dan mobil-mobil yang mogok akibat kehabisan bahan bakar juga menambah panjang daftar penyumbang kemacetan.
Sesungguhnya jika mau sabar, tertib, dan saling memberi jalan, tidak perlu antri berjam-jam, air yang mengalir menyeberang di atas jalan tidak terlalu dalam untuk dilewati.
Walaupun demikian, tidak ada yang mau mengalah, semua berada dalam puncak birahi yang sama untuk bersegera menuntaskan hasrat meninggalkan tempat ini. Padahal semakin mereka ingin cepat, maka semakin tinggi keinginan untuk saling memaksakan kehendak.
Tidak ada petugas lapangan atau pertolongan yang diberikan. Besan saya yang orang asing mengomentari “Kenapa tidak ada petugas yang memberi petunjuk melalui pembesar suara sehingga kereta-kereta yang mogok itu ditepikan,” ucapnya gemes melihat kami terhalang melaju dengan kondisi itu.
‘’Petugas tidak datang, karena dia juga sementara sibuk mengurusi keluarga dan rumahnya yang kena banjir,” hehehe ucap saya sedikit ngeles menghibur diri sendiri.
Kami memuji anak-anak di bawah umur, yang menjadi relawan dengan pakaian basah kuyup menempel di badan, berdiri di bawah derasnya hujan, terendam kakinya dalam genangan banjir mencoba mengarahkan pengendara mobil dengan lengannya yang kurus dan kecil itu.
Miris melihat tubuh kecilnya yang terbalut baju basah. Anak-anak itu pasti kedinginan, mencoba untuk bertahan karena peduli mengurai kondisi kemacetan yang ada.
Saya terharu melihatnya, sebab di sisi lain badan jalan beberapa orang dewasa yang juga melakukan hal yang sama, namun menambah dengan menyodorkan kardus kosong indomie sebagai wadah untuk membayar jasanya. Tidak ada yang gratis.
Kadang kita harus belajar dengan ketulusan yang diperlihatkan anak-anak.
Hukum ekonomi pasar ikut ambil bagian di kemacetan itu. Ada permintaan tentu ada penawaran, terjadi interaksi antar penjual dan pembeli. Demikian tajam penciuman penjual mengendus tempat mengais rezeki
Serta merta saja ada makanan yang dijajakan, ada minuman hangat ditawarkan menggoda bahkan ada bahan bakar bensin yang dijual dalam jerigen plastik kecil yang putih.
Akhirnya setelah melalui perjuangan panjang yang nyaris 12 jam, kami tiba di rumah dengan selamat. Rombongan kami, rombongan pertama yang dapat menembus banjir itu sepanjang hari yang ada.
Ada rasa syukur dengan pertolongan Allah kami dapat melewatinya dengan selamat. Ada rasa bangga menyelusup hangat di dada karena kami tangguh tidak menyerah menghadapi kondisi yang ada.
Cerita baiknya cucu kami setiba di rumah dapat mendengkur meneruskan tidurnya yang tertunda dan Puang Jodi bisa meneruskan perjalanannya ke Vietnam esok hari.
Bersenang-senang dan bersusah-susah selalu memiliki mata koin yang dapat dipelajari. Kali ini saya pulang tidak hanya membawa kenangan namun silaturahmi ini juga membuat saya kaya pengalaman.
Demikian singkat waktu itu dan demikian luas dunia ini. Setiap waktu ada saja yang bisa terjadi, tidak ada yang bisa meramal. Kami hanya tercipta untuk belajar memaknai hikmah kejadiannya. Mari tertunduk sujud padanya. Laa hawla wa laa quwwata illa billah.
Makassar, 20/11/22
Leave a Reply