February 19, 2022 in Jelajah Nusantara, Uncategorized

Lok Baintan – Petarangan Perempuan Perkasa

Lok Baintan - Petarangan Perempuan Perkasa
Lok Baintan - Petarangan Perempuan Perkasa

Lok Baintan
Petarangan Perempuan Perkasa
Oleh Telly D

Ingin merasakan nikmatnya menyeruput secangkir kopi yang mengepul, sambil mengunyah wadai legit dan manis, atau ingin duduk di bawah sinar matahari pagi, di atas perahu jukung yang digoyang ombak sambil mendengarkan puisi. Keinginan yang hanya bisa diselesaikan jika anda mengunjungi pasar terapung Lok Baintan.

Pasar terapung Lok Baintan melengkapi harga diri Banjarmasin sebagai ‘’Kota Seribu Sungai.’’ Banyaknya sungai besar dan sungai kecil yang mengawal daratan Banjarmasin, mengimpresi hubungan masyarakat Banjarmasin dengan sungai bak jantung dan tubuh tidak bisa dipisahkan.

Banjarmasin terbentuk oleh lima aliran sungai kecil, sungai Siandai, sungai Signaling, sungai Keramat, sungai Jagabaya, dan sungai Pangeran. Kelima sungai tersebut bermuara membentuk sebuah danau.

Kata Banjar pun berasal dari bahasa melayu yang berarti berderet-deret sepanjang tepian sungai.

Naik perahu klotok menuju Lok Baintan
Sumber : Dokumen Pribadi

Sungai sudah dimanfaatkan untuk berbagai hajad hidup. Tidak hanya dimanfaatkan sebagai sumber mata pencaharian, sumber energi, dan sebagainya. Lebih lanjut sungai sudah jadi urat nadi transportasi lalu lintas jalur ekonomi dan perdagangan yang menggunakan perahu.

Sehingga bukan hal yang absurd jika Banjarmasin punya pasar yang melakukan transaksi jual beli di atas perahu (Pasar Terapung). Lok Baintan hanya satu dari beberapa pasar terapung yang ada di sana.

Transaksi jual beli di pasar terapung Lok Baintan dilakukan oleh masyarakat yang datang dari sekitar anak sungai Martapura, sungai Lenge, sungai Makung, sungai Paku Alam, Sungai Saka Bunut, Sungai Madang, Sungai Tanifah, dan Sungai Lok Baintan.

Tepat pukul 06.00 Wita, Pasar Lok Baintan mulai menggeliat seiring dengan geliat gelombang air sungai dan geliat sinar matahari yang berpendar di atas permukaan air sungai menghalau gelap.

Sinar pagi menerangi sungai, kehidupan mulai terjaga. Saya terkesiap persis orang yang salah minum obat melihat pemandangan pagi yang fenomenal di atas permukaan air.

Menyeruput kopi hangat sambil menikmati wadai yg manis dan legit
Sumber : Dokumen Pribadi

Sungai sudah dipenuhi dengan puluhan perahu kecil (jukung) hilir mudik ibarat semut yang mengerumuni sepotong kue manis. Sangat menggairahkan untuk dibingkai ceritanya.

Jukung-jukung diisi dengan beragam barang dagangan. Ada jukung berisi hasil kebun seperti buah mangga, jeruk, pisang, sirsak, hingga srikaya. Disusun dengan artistik dalam wadah-wadah keranjang kecil atau bakul sangat menarik.

Ada jukung berisi macam-macam wadai (sebutan kue dalam bahasa Banjar) seperti kue cincin, apem, buras, putu mayang, lapat, jagung besumap (jagung kukus) disusun dalam baki-baki dan piring-piring bersama teko, cangkir, dan termos air panasnya.

Ada juga jukung yang berisi sayur-sayuran, ikan, daging, ikan asin bumbu dapur, pakaian dan hasil kerajinan, layaknya pasar tradisional di darat yang punya berbagai jenis dagangan kebutuhan sehari-hari.

Mereka memajang (etalase) jualannya di dalam perahu. Dari atas perahu Klotok (perahu kayu bermesin), etalase itu terlihat sangat eksotis serupa perahu hias yang warna warni ketika ikut karnaval.

Lebih takjub setelah mengetahui bahwa pengemudi berpuluh-puluh perahu jukung (nama perahu kecil) adalah perempuan (Acil yang merupakan panggilan bibi/tante di Banjarmasin).

Para Acil memakai topi anyaman lebar yang menutupi separuh wajahnya laksana pendekar wanita di film Kung Fu yang bersenjatakan dayung.

Tidak salah, mereka memang pendekar keluarga dan bangsa. Saya berbisik pada diri sendiri, ini bukan sekedar pasar, ini sarang (petarangan) perempuan-perempuan hebat yang perkasa.

Ketika pasar dimulai, hiruk pikuk suara para Acil saling tawar menawar di pasar Lok Baitan. Jual beli dilakukan di atas perahu sambil mengikuti irama goyang air sungai. Hebat kemampuan menyeimbangkan perahu yang dimiliki para Acil.

Dalam menjual, mereka mengangkat barang yang dijual dan meneriakkan ‘’jual“ atau “dijual” dan yang pembeli mengangkat barang dengan meneriakkan “tukar” atau ‘’ditukar,’’ itu bermakna mereka lagi bertransaksi barter (bapanduk). Jika cocok mereka akhiri dengan akad jual beli.

Cara barter (bapanduk) adalah menukar barang dengan barang sesuai kebutuhan. Hanya dilakukan di kalangan mereka, itu pun hanya pada hari tertentu. Mereka juga tetap mengenal transaksi dengan menggunakan alat tukar yang sah. Termasuk jika bertransaksi dengan pengunjung atau wisatawan.

Para Acil sangat kuat dan terampil mengemudikan jukung. Keterampilannya itu terlihat dalam berkompetisi jika mendekati pembeli atau pengunjung yang datang.

Mereka adu kecepatan, merapatkan jukung, mengejar dan mendekati perahu pengunjung. Kondisi itu tidak bisa menghindari saling berbenturan antara sesama jukung.

Suasana di Pasar Terapung
Sumber : Dokumen Pribadi

Buk, buk, buk, bunyi benturan pinggiran perahu jukung berulang-ulang. Ajaib tidak ada jukung yang terjungkal, bahkan mereka saling menyemangati untuk mengurai kepadatan yang ada, saling memberi jalan jika tersendat.

Sengit pertarungan memenangkan hati pembeli, namun tidak menghilangkan semangat kebersamaan dan menurunkan tensi kegembiraan.

Para Acil punya tradisi meyambut dan melayani dengan berpantun. Ketika melihat kami datang sebagai wisatawan, pantun sapaan selamat datang mulai dilantunkan.
“Rambai padi, rambai Palembang, Buahnya lebat, tangkainya panjang, saya ucapkan selamat datang ke Pasar Lok Baintan yang tersayang.”

‘’Jalan-jalan ke kota Lampung, jangan lupa beli pepaya. Alhamdulillah ibu bisa datang, ke kampung kami pasar wisata.’’

Kalau mau beli kelapa, beli saja kelapa asin, kalau mau berwisata datang saja ke Banjarmsin.

Mendengar pantuan-pantun itu, spontan senyum mekar di bibir wisatawan, meriah sekali. Salah satu daya tarik di pasar ini adalah para penjualnya yang jago berpantun, banyak nian perbendaharaan pantunnya, berbalas-balasan.

“Orang Banjar jago berpantun,” teriak para Acil dengan bangga sambil menawarkan dagangannya di atas jukung.

Saya terlibat tawar menawar, harga jualan buahnya dibandrol dengan harga Rp 5 000, Rp 10.000, Rp 15.000, Rp 20.000, Rp 25.000, Rp 50.000, sampai Rp 100.000.

Mangga yang 4 buah dengan harga Rp 50. 000, hanya boleh ditawar dengan menambah jumlahnya menjadi 5 buah dengan harga yang sama. Demikian tradisi tawar menawar di pagi buta itu. Jual beli yang tidak mau direpotkan dengan uang kembalian.

Saya menyemangati para Acil dengan membeli rambutan, mangga, buah kecapi, sirsak, gula merah, dan ikan asin yang dipotongannya tipis dengan bentuk lingkaran dan baju kaos bertuliskan Lok Baintan. Belanjaan Saya dimasukkan dalam tas anyaman khas daerah.

Untuk bisa menikmati hangatnya kopi dan legitnya wadai yang ditawarkan, Saya berpindah masuk ke dalam perahu jukung yang menjual minuman hangat dan kue-kue. Acilnya sangat baik hati membantu Saya duduk dan mulai mendayung.

Senang sekali dapat duduk bersama dengan Acil pedagang itu sekali pun Saya was-was juga bisa terbalik dalam jukung yang kecil. Melihat Saya berpindah ke jukung pedagang minuman dan kue, Acil pedagang buah berpantun.

“Kalau ada lampu, jangan nyalakan lilin, kalau ada aku, jangan cari yang lain.” Hehe bisa saja, Saya tersipu-sipu dijewer pantun.

Sambil melayani Saya, Acil berpantun, ’’manis-manis si gula Habang, lebih manis si gula Sahar, manis-manis di kampung Sahar lebih manis aku orang Banjar.’’ Saya balas pantun dengan meneriakkan.

‘’Manis-manis buah rambutan tapi sayang tumbuh di hutan, manis-manis cewek sekarang tapi sayang mata duitan.’’

Akhirnya Saya benar-benar merasakan nikmatnya menyeruput secangkir kopi yang mengepul sambil mengunyah wadai legit dan manis, duduk di bawah sinar matahari pagi, di atas perahu jukung yang digoyang ombak sambil mendengarkan puisi.

Luar biasa, pengalaman yang unik. Sangat berwarna-warni dan berisik namun sangat menyenangkan. Menjadi sebuah atraksi maupun pengalaman yang menarik.

Riuh rendah teriakan Acil menjajakan dagangannya, sayup terdengar makin hilang, seiring naiknya matahari pertanda hari beringsut siang. Tepat pukul 09.00 Wita, transaksi di pasar terapung segera usai.

Jukung-jukung itu berjejer memanjang ditarik menjauh dari tempat pasar terapung oleh kelotok yang biasa mereka sebut dengan taxi. Jukung meninggalkan sungai Martapura, alam kembali lengang tidak berbekas.

Pasar terapung adalah budaya dan sejarah panjang Banjarmasin, yang dikawal oleh perempuan-perempuan yang mencoba tetap bertahan hidup di tengah gempuran modernisasi.

Sejarah pasar terapung sendiri sebenarnya sangat panjang, punya garis merah sebagai medan pertempuran antara kerajaan Banjar dengan kerajaan Negara Daha.

Tahun 1595 ketika kerajaan Banjar mulai berdiri menjadi awal dari pelabuhan sungai yang bernama Bandarmasih dan awal keberadaan pasar terapung, bahkan beberapa masyarakat percaya bahwa pasar terapung sudah ada jauh sebelumnya.

Mempertahankan pasar terapung tetap eksis adalah mempertahankan sejarah dan budaya masa lampau, ketika sungai dan pasar sebagai pusat perkembangan dan peradaban masyarakat.

Sekarang pasar terapung dalam ancaman kepunahan. Pesonanya mulai terkikis perlahan di tengah peradaban yang serba modern dan cepat ini. Aktivitas transaksi atau pun jual beli menurun cukup drastis. Masyarakat lebih suka belanja di supermarket yang ada di tengah kota dengan pertimbangan praktis.

Pembangunan yang berpihak ke daratan menambah parah kondisi yang ada. Jalan-jalan telah dibangun membuat masyarakat lebih suka membeli dan naik sepeda motor daripada membeli jukung dan naik perahu.

Sudah waktunya budaya dan kekayaan tradisional mendapat perhatian serius sebelum terlambat sehingga nasib pasar terapung Loh Baintan tidak mengikuti nasib pasar terapung lain seperti pasar terapung Muara Kuin yang sudah punah.

Perempuan-perempuan perkasa di Lok Baintan berbaris sepanjang sejarah. Merekalah sesungguhnya yang menjadi tameng yang menjaga dan mengawal warisan sejarah dan budaya ini berabad-abad.

Mengunjungi dan belanja pasar terapung Lok Baintan adalah menyemangati dan memberi darah segar kepada para garda sejarah dan budaya bangsa untuk mampu bertahan sehingga generasi berikutnya tidak hanya membaca ceritanya saja.

“Bu, jeruknya Bu! Wadainya boleh dicoba Bu! Mau pisang, Bu?” sayup-sayup suara Acil masih terngiang di telinga ketika berebut pembeli menawarkan jualannya.

Makassar, Februari 2022
Terima kasih kepada Kaswati, Karim dan Metamagfirul yang menemani perjalanan ini




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree