January 28, 2022 in Jelajah Nusantara, Uncategorized

Ada Pecinan di Kaimana

Ada Pecinan di Kaimana
Oleh Telly D

Menyebut Pecinan, kita langsung paham bahwa itu adalah sebuah wilayah atau perkampungan yang berada di luar Cina, Hongkong, Makau, dan Taiwan yang penghuninya adalah etnis Tionghoa atau Cina.

Kegemaran orang Tionghoa merantau dan menetap di beberapa tempat, membuat Pecinan banyak tersebar di kota-kota besar di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia. Mudah untuk menemukannya.

Sebut saja misalnya: Kawasan Semawis (Semarang ), kawasan Glodok (Jakarta), kawasan Kya Kya (Surabaya), kawasan Asia Mega Emas (Medan), Bukit Nagoya Bintang (Batam), Ketandan (Jogyakarta), Singkawang (Kalimantan), dan beberapa lagi yang lain.

Pecinan sekarang sudah dijadikan kawasan pariwisata untuk menikmati berbagai simbol, arsitektur, sejarah, kuliner, dan budaya komunitas.

Jika menjelang tahun baru Cina (imlek), di Pecinan orang dapat menikmati arak-arakan barongsai, lampion merah sepanjang jalan, gunungan kue keranjang, yang disusun dengan sangat menarik dan unik sambil menunggu angpao dibagikan.

Jalan-jalan pagi menyusuri kota
Sumber : Dokumen Pribadi

Pagi ini Saya berjalan menyusuri kota tua di Kaimana. Saya melewati tugu UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority). Ada informasi bahwa tugu itu dibangun tanggal 1 Mei 1963 merupakan tonggak sejarah penyerahan kekuasaan atas Papua Barat kepada Indonesia dari Belanda.

UNTEA merupakan badan khusus yang dibentuk oleh PBB yang bertugas untuk menyelesaikan pertikaian antara Belanda dengan Indonesia yang saat itu saling memperebutkan dan mengklaim Papua Barat sebagai wilayah kekuasaan.

Kaimana ternyata kota bersejarah dan menjadi saksi ketika perebutan kemerdekaan negeri Indonesia.

Ketika Saya tiba di jalan TRIKORA (Tiga Komando Rakyat), nama jalan yang mengingatkan semangat perebutan Irian yang sekarang Papua. Saya melihat perkampungan etnis Tionghoa (Pencinan) di sepanjang jalan ini.

Wow! ada Pecinan di Kaimana, sangat surprise untuk Saya mengetahui bahwa etnis ini juga mengisi ruang dan ikut mewarnai dalam kemajuan sosial, ekonomi, budaya, dan religi di Kaimana.

Ada Pecinan di Kaimana
Tugu UNTEA dumber : Dokumen Pribadi

Mengetahui ada Pecinan itu berarti Kaimana daerah yang kaya dengan komoditas ekonomi sehingga diminati oleh bangsa pendatang untuk berdagang.

Pecinan hanya ada di kota-kota yang memiliki pelabuhan yang menjadi jalur terjadinya kontak perdagangan antara Barat dan Timur.

Kita bisa melihat bagaimana berkembangnya pelabuhan- pelabuhan dengan kedatangan etnis Tionghoa ini, misalnya di Tuban, Gresik, Surabaya, Semarang, Jepara, Cirebon, Makassar, dan Sunda Kelapa atau Jakarta.

Letak geografis Kaimana memang sangat strategis. Berada pada pesisir barat Papua memungkinkan tumbuhnya jalur migrasi dan terbuka terjadinya kontak perdagangan antar Barat dan Timur di Kawasan ini.

Daerah Kaimana berada di wilayah yang strategis menjadi feederport yang menunjang kegiatan perdagangan. Feederport adalah pusat pengumpulan dan distibusi komoditas untuk dibawa ke pelabuhan utama (enterport) tempat kegiatan antar bangsa berlangsung.

Peran Kaimana sebagai feederport dimungkinkan karena letaknya yang berhadapan langsung dengan beberapa pelabuhan utama (enterport), Banda, dan Bacan.

Keberadaan pelabuhan inilah yang sesungguhnya mengarahkan dan menerangi lahirnya hunian komunitas Cina atau Pecinan.

Pecinan di Kaimana berupa perkampungan Cina dengan ciri rumah tinggal sekaligus berfungsi sebagai toko yang dibangun berhadap-hadapan satu sama lainnya, dipisahkan oleh jalanan ditengahnya (jalan Trikora).

Bangunan kuno yang masih terawat dengan baik yang saat ini masih digunakan sebagai toko kelontong hingga toko bahan bangunan.

Sama dengan Pecinan di tempat yang lain, sekali pun berorientasi Utara Selatan, namun rumah tetap menghadap ke Timur, ini terkait dengan Feng shui yang mereka yakini.

Tiap rumah dalam feng shui memiliki pengertian baik atau buruk. Arah utara dihindari karena meyakini orientasi tersebut penuh dengan kegelapan sementara arah Timur digambarkan sebagai posisi yang dinamis dan penuh kedamaian.

Feng shui atau hong shui jika diterjemahkan, feng atau hong artinya angin dan shui artinya air. Feng shui merupakan seni meletakkan bangunan atau beberapa struktur yang dibuat.

Feng Shui mempunyai peranan yang penting dalam menentukan bangunan suci, makam, serta bagunan lainnya bagi komunitas Cina. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan tradisional mereka dengan menempatkan diri pada posisi yang baik. Menurut aturan feng shui akan mendatangkan pengaruh baik, ketenangan, umur panjang, serta rezeki yang melimpah.

Rumah Pecinan
Sumber : Dokumen Pribadi

Konstruksi rumah Tionghoa di Kaimana menggunakan atap seng dan tiang balok kayu. Tidak ada ukiran-ukiran berbentuk naga seperti yang biasa terlihat di Pecinan yang lain.

Konstruksi dinding dibuat dari tembok yang diperkuat dengan rangka bambu. Bangunannya ada yang berfungsi sebagai rumah kediaman sekaligus toko. Ada yang berfungsi sebagai ruang untuk hiburan atau aula, dan ada yang berfungsi sebagai gudang.

Biasanya jika ada Pecinan, maka di sekitarnya ada bangunan kuil atau kelenteng dan kuburan Cina. Saya tidak melihat ada kuil di Kaimana, namun ada pekuburan Cina.

Sekitar 200 meter ke arah Tenggara dari kompleks pertokoan Pecinan, ada lokasi makam di atas bukit. Tentu hal ini juga berdasarkan feng shui yang dianggap memiliki arus chi’i yang baik.

Di dalam kompleks makam Tionghoa terdapat terdapat 22 buah yang orientasinya mengikuti bidang topografi bukit.

Makam yang berada di sisi utara sebanyak 7 buah yang menghadap ke Utara, dan 1 buah yang menghadap ke Barat Daya.

Makam Tionghoa yang berada di puncak bukit terdapat 2 buah menghadap ke Utara dan 2 buah menghadap ke Barat Daya.

Sementara itu makam yang berada di lereng sebelah selatan sebanyak 8 buah menghadap ke Selatan dan 2 buah menghadap ke Barat.

Makam komunitas Cina ini berhiaskan motif naga dan flora dengan tulisan Cina warna kuning keemasan. Nisan Cina disebut bongpai. Bongpai orang kaya dihias dengan ornament yang beragam sedangkan bongpai orang miskin lebih sederhana dan polos (Lan 2013).

Sekali dalam setahun pada hari Tjeng Beng orang-orang Cina akan berziarah ke makan leluhurnya dan membersihkannya dari rumput atau alang-alang yang memenuhi makam.

Komunitas Tionghoa di Kaimana merupakan generasi keempat yang terdiri atas Marga Tan, Lie, Kwan, Ham, Tjeng Sun An, The Tek, dan UI. Diketahui bahwa marga-marga tersebut bagian dari suku Hokkian dan Kanton yang termasuk dalam suku Han yang berdiam di Provinsi Fujian dan Guang Dong Cina Selatan (Tan, 2008).

Di Papua, keberadaan Komunitas Tionghoa yang membentuk perkampungan ekslusif selain di Kaimana juga dapat ditemukan di Yapen, dan Pulau Room (Sorong).

Keinginan untuk hidup ekslusif berkelompok sesungguhnya dimilki oleh setiap etnis bukan hanya etnis Tionghoa. Hal ini suka dikaitkan dengan keinginan untuk memiliki perasaan aman dan kemudahan untuk saling tolong menolong atau saling bantu membantu.

Pecinan jadi saksi sejarah, kerasnya persaingan dagang yang mesti dihadapi antara pendatang baru etnis Tionghoa yang bermigrasi dengan kaum Kolonial VOC yang mengusai negeri ini.

Awalnya masyarakat Tionghoa yang menetap di Indonesia masih berbaur dengan masyarakat pribumi. Berubah setelah terjadi persaingan ekonomi perdagangan antara VOC dengan etnis Tionghoa yang meledak dengan huru-hara tahun 1740.

Seluruh masyarakat Tionghoa di Batavia dibantai oleh VOC di area Kota Tua Jakarta. Lalu, pada tanggal 11 November 1740, Gubernur Jenderal A. Valckenier memerintahkan semua etnis Tionghoa diisolasi dalam kampung tertentu yang disebut Chineeche kamp untuk mudah diawasi dan dikendalikan.

Kebijakan lokalisasi kemudian diterapkan di seluruh wilayah kekuasaan VOC di Nusantara. Peraturan ini dikenal dengan wijkenstelsel.

Intinya, etnis Tionghoa dilarang bermukim di luar Kampung Cina. Mobilisasi mereka pun dibatasi dengan pemberlakuan sistem pas jalan atau passenstelsel. Sejak saat itu, warga Tionghoa butuh surat izin untuk sekadar keluar kampung.

Inilah yang akhirnya membentuk kampung-kampung Pecinan di Indonesia. Mereka hidup secara ekslusif, terisolir dari komunitas pribumi di sekitarnya.

Belajar dari sejarah, bangsa Tiongkok sudah datang ke Indonesia sejak abad ke-7, mulai menetap pada abad ke-11, dan mulai menyebar ke seluruh Indonesia di abad ke-14.

Sekali pun Indonesia bukanlah tujuan utama, namun lokasi negara ini yang berada di jalur perdagangan internasional membuat banyak kapal dagang dari Cina yang singgah.

Etnis Tionghoa dikenal sebagai kapitalis dan pedagang yang andal di mata pribumi. Ini beralasan, karena VOC tahun 1879 membatasi orang Tionghoa untuk bertani. Tidak heran mereka berfokus pada perdagangan.

Rumah Pecinan
Sumber : Dokumen Pribadi

Sudah sekian abad etnis Tionghoa hidup di Indonesia, cara hidup mereka pun sudah menganut cara hidup orang Indonesia, bukan Tiongkok. Mereka sudah jadi bagian dari Indonesia, meskipun berbeda dalam warna kulit dan budaya. Etnis Tionghoa memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan pribumi lainnya.

Kaimana sekarang dihuni masyarakat multikultur, berasal dari beragam etnis dan agama. Meskipun berbeda etnis dan agama mereka hidup berdampingan sangat toleran, dan bekerja menurut kemampuannya.

Penduduk asli bekerja sebagi nelayan, pedagang, atau petani pala, salak, serta kelapa. Komunitas Tionghoa di kota Kaimana telah mendominasi kepemilikan pertokoan, dan pusat perbelanjaan, sedangkan orang Jawa, Madura, Bugis dan Makassar mendominasi usaha di pasar rakyat, warung makan, serta jual beli di teras pertokoan dari sore sampai larut malam.

Betapa beragamnya cerita negeri ini. Banyak berjalan banyak memahami sejarah. Jika memahami sejarah akan tahu bahwa etnis Tionghoa atau Cina sudah berdiam di Indonesia sejak berabad-abad lamanya, jauh sebelum negeri ini merdeka sehingga mempertentangkan istilah pribumi dan non pribumi tentu tidak dilakukan oleh orang yang memahami sejarah perjalanan bangsa ini.

Kaimana, November 2021

Sumber
Jurnal arkeologi Papua Vol 6 Edisi No 2 Nopember 2014




One Comment

  1. January 30, 2022 at 1:00 pm

    Mukminin

    Reply

    Alhamdulilah luar biasa dibukakan sejarah Etnis China di Indonesia.

    Sy pernah jadi guru sejarah blm pernah dapat ilmu ini. Makasih Bu Telly.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree