December 23, 2021 in Catatan Harianku, Uncategorized

Kabar Pagi – Menggugat Rasa Ketidakadilan

Post placeholder image

Kabar Pagi

Menggugat Rasa Ketidakadilan 

Oleh Telly D

Nyaris 2 bulan Saya di Papua Barat, dalam waktu yang lama itu membuat Saya kehilangan banyak waktu untuk menikmati udara pagi kota Makassar. Sesungguhnya Saya juga telah kehilangan kesempatan menulis pengalaman berjalan pagi dalam kabar pagi di Blog.

Kepulangan Saya ke Makassar, dalam kondisi yang buruk. Saya pulang di saat air merendam kota Makassar setinggi lutut bahkan ada yang lebih tinggi dari itu.

Rumah Saya tidak termasuk yang kena rendaman air namun karena dikepung air, akhirnya sama saja. Saya pun ikut merasakan tidak enaknya berbasah-basahan.

Tiba di rumah Saya melakukan isolasi mandiri selama 10 hari. Saya tidak berjalan ke Luar Negeri. Perjalanan Saya hanya  keluar wilayah provinsi yang lama dan panjang. Namun Saya juga harus memastikan diri dalam kondisi aman sebelum berbaur dengan anggota keluarga.

Secara sadar Saya lakukan hal ini, untuk menanamkan semangat taat aturan pemerintah sekaligus memberi kesan bahwa isolasi mandiri bukan hukuman melainkan untuk menjaga diri sendiri dan keluarga besar dalam arti yang sempit dan menjaga bangsa dalam arti yang luas.

Tepat waktu isolasi mandiri Saya selesai dan Saya dinyatakan aman. Tidak menunggu waktu lagi, Saya memasang sepatu, mengikat talinya dengan erat dan memakai jemper atau jaket hoodie (kupluk) tanpa zipper (resleting). Saya tidak bisa menahan diri untuk segera memulai berjalan pagi.

Saya keluar halaman rumah dengan meloncat-loncat ringan  sekedar melemaskan kaki. Saya membentangkan kedua tangan selebar-lebarnya sambil berjalan. Saya menghirup udara sebanyak-banyaknya mengisi paru-paru.

Udara lembab yang bercampur bau basah menebar di mana-mana. Bau tidak sedap menyengat hidung. Sisa air surut belum mampu meniriskan kota sehingga kering benar. Menyisakan jejak yang carut. Wajah kota ini benar-benar cemong setelah direndam air.

Bangkai tikus bercampur dengan sampah basah. Orang suka membuang bangkai tikus di jalan raya. Pemandangan bangkai tikus yang terburai isi perutnya digilas kendaraan menjadi   pemandangan yang biasa di kota ini.

Tujuan Saya cuma satu, mencapai lapangan Toddopuli untuk memulai berjalan dengan lebih tenang pada lintasan lari yang menurut Saya aman.

Sekalipun cuaca belum normal, masih berselimut mendung, lapangan sudah ramai dikunjungi masyarakat. Kesadaran pentingnya olah raga dalam menjaga kesehatan sudah mulai bertumbuh dengan baik. Pandemi mengajari bangsa ini banyak hal termasuk peduli menjaga kesehatan.

Saya membaurkan diri berjalan di belakang satu kelompok yang terdiri atas 3 orang bapak, kelompok Trio.

Seorang berbaju kaos merah, bertubuh tambun dengan kulit eksotis, legam karena sinar matahari, berambut keriting, selanjutnya Saya beri nama (si Keriting).

Seorang berbaju kaos hitam strep putih, dengan badan yang ideal, memakai ikat kepala (si Ikat Kepala), dan seorang lagi berbaju kaos putih berbadan kurus tipis seperti papan, berkulit putih, berkacamata (si Kacamata).

Trio ini sangat bersemangat berjalan, melangkah dengan irama yang sama, sama dengan semangatnya bercerita dan berkeluh kesah sepanjang mereka berjalan. Saya yang hanya berjarak semeter dibelakangnya ikut mendengar dengan jelas apa yang mereka perbincangkan.

Luar biasa banjir yang kemarin, kata si Keriting dengan suara kencang. Rumah Saya terendam habis, padahal selama ini tidak pernah banjir. Si Kacamata membenarkan ucapan luar biasa itu.

Rumah Saya memang langganan banjir tahunan jadi tidak heran jika kulkas dan mesin cuci suka rusak terendam banjir, keluh si Ikat Kepala menambah muatan semangat mengeluh.

Keluhan yang dikeluarkan itu membuat ramai-ramai mereka menghamburkan keluhan, berjalan pagi juga tempat curhat bapak-bapak ini.

Saya susah dalam kondisi banjir punya anak baby usia 3 bulan kata si Keriting merasa terdepan beratnya keluhan.

Saya apalagi punya mertua manula yang selalu buang air padahal kamar mandi terendam tidak bisa dipakai, sambung si Kacamata mensejajarkan keluhan.

Bagaimana solusinya? Tanya si Ikat Kepala penasaran, yang dari tadi tidak terlibat mengeluh.

Saya selesaikan dalam kantong plastik, saya masukkan, saya ikat, saya putar-putar di atas  kepala kemudian saya buang ke air yang mengalir seperti piring terbang, jawab si Kacamata menertawakan ide konyolnya.

Weiih untung ketika melayang tidak berhamburan keluar, ujar si Ikat Kepala tertawa.

Trio jalan kaki itu kompak tertawa berderai-derai. Saya yang ikut mendengar juga tidak bisa menahan diri tersenyum.

Di dalam rumah saya penuh dengan popok bayi basah yang digantung, kata si Keriting menambah masalah dalam pembicaraan.

Kenapa tidak pakai popok sekali pakai? sehingga tidak perlu dicuci, saran si Ikat Kepala memperlihatkan simpatiknya.

Weih alasan ekonomi, itu mahal. Punya bayi itu biayanya mahal. Sama dengan kuliah S2, sambung si Keriting.

Trio itu kemudian berjalan sambil diam. Saya berusaha mengikuti irama langkahnya. Berjalan sambil ngomong ternyata melelahkan juga, mereka nampak mengatur napas pelan-pelan yang tersengal-sengal, sampai salah seorang mulai berkata,

Apa mengetahui ucapan pak Walikota Makassar yang mengatakan ini bukan banjir tapi hanya genangan? tanya si Keriting

Rupanya diskusi Trio ini sudah berpindah ke tema yang lain. Mempersoalkan ucapan Walikota Makassar yang menyatakan di media bahwa Makassar tidak banjir hanya ada genangan air.

Balissikku (ungkapan kejengkelan dalam bahasa Bugis), stress itu ditanya terus sama wartawan, sambung si Kacamata membulatkan kejengkelannya.

Bukan stress, rumahnya juga ikut kebanjiran pasti kerja bakti juga seperti kita, kata si Ikat Kepala.

Sama saja pejabat itu selalu lari dari tanggung jawab. Suka cari-cari pembenaran sekalipun tidak masuk akal, ujar si Keriting.

Ikut-ikutan dengan gubernur provinsi yang lain yang tidak mau mengaku banjir tapi cuma genangan air, tambah si Kacamata.

Bukan lari dari tanggung jawab, tapi tidak tahu bicara di depan umum dan jika berbicara tidak tahu menempatkan diri, tidak tahu berempati, sambung si Ikat Kepala dan meneruskan. Coba pikir  kita lagi bermasalah banjir dikatakan bukan banjir malah dia beri solusi lagi untuk bikin rumah bertingkat.

Sareangma doinu (berikan saya uang) saya bikin rumah bertingkat.

Pejabat publik itu beberapa tidak bisa berbicara dengan baik, tidak tahu menempatkan diri dan tidak tahu berempati dengan apa yang dirasakan oleh rakyatnya, ngomel panjang dilakukan si Kacamata.

Rasanya rakyat selalu diperlakukan tidak adil, ujar si Keriting.

Coba itu anggota DPR (namanya saya tidak tuliskan) dari luar negeri minta pengecualian isolasi mandiri sebagai pejabat, tapi keluarganya ikut juga jadi pejabat dapat juga pengecualian isolasi  mandiri.

Padahal semua orang tanpa kecuali harus karantina di tempat yang ditentukan bahkan pakai mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak sedikit, ujar si Ikat Kepala.

Tidak bisa memberi contoh yang baik, sebagai wakil rakyat, memalukan sebenarnya, tambah si Keriting.

Ketahuan lagi, berjalan ke mall ketika masih kurun waktu isolasi, bahkan anaknya terekam nonton bioskop dan terbang dengan pesawat mengelilingi Jakarta, sambung si Kacamata menaikkan suhu gugatan.

Mereka menyangkal tidak melakukan, tapi rekaman foto dengan lokasi dan tanggal kejadiannya diunggah oleh penggiat sosmed. Apa yang ada di pikiran mereka ya? tambah si Kacamata.

Rasanya tidak adil diperlakukan berbeda padahal mereka kan wakil rakyat, kata si Keriting.

Ini lagi, coba lihat itu (sambil menunjuk baliho) pemilu masih lama, masih 3 tahun sudah memasang wajahnya di baliho untuk mencalonkan diri jadi presiden.

Apa tidak malu dengan rakyat yang masih susah dibelenggu pandemi, gunung meletus bahkan banjir. Kemarin ada gempa lagi, sekarang  masih berjuang menghadapi corona varian baru, ucap si Kacamata. Terbuat dari apa hati mereka? ucap si Ikat Kepala.

Makanya jika mau enak jadi pejabat, jangan seperti ini hanya   jadi rakyat, jadi hanya kebagian sakit hatinya dan tidak adilnya, kata si Keriting dengan nada getir menyudahi diskusi tema itu.

Saya menghela napas. Saya sudah berjalan dengan langkah yang cukup. Waktunya Saya memelankan langkah kaki, perlahan Saya menarik diri menjauh dari Trio itu.

Sambil berjalan pulang Saya membujuk diri Saya dengan mengatakan setelah berhenti jadi pejabat Saya justru baru menikmati hidup. 

Ini memang hanya persepsi masyarakat, persepsi yang ada faktanya. Mesti ada ke lapangan untuk menerima dan mendengarkan sebagai sebuah persepsi. Namun siapa yang mau mendengar suara-suara rakyat yang begini, jika rakyat sendiri sudah kehilangan kepercayaan pada orang yang mewakilinya.

Suara rakyat adalah suara yang menggugat rasa ketidakadilan yang dia rasakan, harusnya disuarakan di parlemen dimana ada orang yang mewakilinya.

Apa yang mereka katakan tidak tahu berkomunikasi, berempati, menempatkan diri, tidak bisa jadi contoh yang baik bermuara pada semakin pentingnya pendidikan rumah tangga yang justru mulai tergerus dengan kemajuan dan perubahan yang terjadi sangat pesat.

Berjalan pagi membuat Saya sadar betapa banyak yang mesti dilakukan di negeri tercinta ini. Menghadirkan tanda tanya, apa yang harus diperankan?

Makassar. 16 Desember 2021




3 Comments

  1. December 23, 2021 at 9:05 am

    Andi Nur Haeni

    Reply

    Masyaa Allah, jalan pagi yang penuh makna, bisa merekam diskusi Trio Bapak² yang masing-masing punya masalah berbeda. Rekaman diskusi dirangkai menjadi satu tulisan yang sangat bagus untuk dijadikan pelajaran. Ternyata dalam hidup ini masing-masing orang punya masalah yang berbeda.

  2. December 23, 2021 at 5:24 am

    Cak Inin

    Reply

    Luar biasa jalan-jalan yg dapat merekam suasana dan jeritan sebagian rakyat yg ingin curhat. Smg pejabat ngerti yg dibutuhkan rakyat, padahal dia berangkat dari rakyat yg tahu persis permasalahannya. Mengapa ketika jadi kok tidak berkutik?…terima kasih

  3. December 23, 2021 at 5:11 am

    Much. Khoiri

    Reply

    Catatan perjalanan (kota) yang menarik dan mengesankan. Juga kritik (halus)nya. Lanjutkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree