October 3, 2021 in Catatan Harianku, Uncategorized

Kabar Pagi – Berburuk Sangka

Post placeholder image

Kabar Pagi

BERBURUK SANGKA

Oleh Telly D

Penyunting Moch Khoiri

Pagi ini saya bersiap berjalan kaki. Berjalan kaki hanya di sekeliling rumah saja. Kapan terakhir saya berjalan pagi di Makassar?

Mencengangkan! Ternyata 11 tahun yang lalu. Saya sampai tidak  percaya. Saya hitung kembali, dan benar: 11 tahun. Terakhir saya  berjalan kaki tahun 2010 sebelum pindah tugas ke Sulawesi Barat dan saya teruskan ke Yogyakarta.

Saya sudah berpakaian olah raga. Sepatu olah raga ternyata masih di dalam dus, belum dikeluarkan dari packingan barang dari Yogya.

Saya melirik dekat pintu ada sepatu suami diparkir di sana.

Boleh juga, kebetulan saya punya nomor kaki yang sama. Hanya saja, sepatu itu khusus dipakai untuk berjalan di atas karang laut, atau sepatu untuk (berjalan) di dalam air. Suami saya suka berlayar, memancing, dan menyelam sambil memanah ikan.

Bagus, lebih ringan dan lebih mencengkram sehingga engkel kaki saya bisa lebih aman. Saya berbisik senang ketika mencobanya di kaki.

Saya belum keluar rumah, suami saya sudah menghadang dan mengatakan ’,”Dekat saja, jangan terlalu jauh jalannya.” Cepat-cepat saya meng’’iya’’kan dengan harapan dia tidak melirik sepatu yang saya pakai tidak pada peruntukannya.

Anak saya datang ,‘’Pakai ini, Mom, supaya tahu berapa langkah, berapa km dan berapa kalori yang dibakar.’’

Saya tersenyum. Rupanya dia lupa bahwa saya dulu atlit 8 tahun  sehingga jika hanya mengetahui yang sederhana begitu saya punya pengalaman.

Saya membuka pintu pagar dan memulai langkah awal dengan ringan dan hati yang berdendang.

Saya sudah menetapkan rute yang akan saya lewati. Saya mulai menyusur rute itu. Masih pagi sekali jalanan masih sangat sepi.

Terlihat betapa joroknya lingkungan perkotaan. Sampah ada di mana- mana. Teronggok menggunung dan berceceran kesana kemari. Bau busuk dan tidak sedap dipandang. Masalah sampah belum bisa diselesaikan di Makassar dan bisa jadi di seluruh negeri ini.

Ada pemulung yang masih mencoba mengais rezeki di gunungan sampah itu, tidak peduli dengan baunya. Kemiskinan telah menumpulkan indera penciumannya. Alam melindunginya dengan memberi kekebalan bersentuhan dengan sampah.

Saya berjalan terus sampai tiba di depan sebuah gedung penitipan anak. Saya perlu berhenti dan menatapnya. Saya teringat keinginan almarhumah anak saya ingin punya penitipan anak khusus untuk anak- anak guru yang tidak mampu. ‘’Jika guru menjaga anak bangsa maka anaknya saya yang jaga” katanya mempromosi keinginannya.

Guru, karena keterbatasan biaya, anaknya diserahkan pada sembarang orang yang mengasuh, hanya dititip pada tetangga atau keluarganya. Beda dengan orang yang berduit bisa memilih pengasuh yang tepat.

Rumah penitipan saya rumah penitipan yang modern, sekaligus tempat pendiikan anak usia dini. Punya guru musik, guru mengaji, guru melukis, guru tari, guru bahasa dan punya dokter serta perawat untuk memastikan kesehatan jiwa dan raganya.

Jika ibunya menyusui maka akan ada petugas yang mengambil susu ibunya di sekolah sehingga bayinya tetap minum asi, seperti yang saya lihat di negara yang maju.

Bebas biaya, saya menyiapkan orang dan fasilitas, guru-guru hanya membayar kebutuhan anaknya.

Betapa jauhnya angan-angan itu. Almarhumah sudah menetapkan nama yayasannya bahkan ketika saya di Yogya dia sudah mendesain logonya. Jika diskusi dengan ayahnya dia sudah meminta tanah kosong milik ayahnya untuk cita-cita ini.

Sementara saya sibuk mengenang kembali cita-cita almarhumah, seorang lelaki separuh baya menyapaku, ‘’Bu Kas kok terlambat?’’ Saya masih bingung, dia sudah mengatakan ‘’maaf’’ karena salah orang.

Saya meneruskan berjalan tapi dia sudah ikut berjalan di sisi saya.

Kami jadinya terpaksa saling bertegur sapa. Sambil berjalan, orang itu berbicara banyak hal. Saya mencoba menerka apa profesi orang ini.

Secara sembunyi saya melirik sepatunya. Sepatu paling gampang dipakai mengenali orang. Sepatunya sepatu yang bisa dibeli di mana-mana tidak spesifik.

Lihat pakaian dan cara berpakaiannya, juga tidak memberi informasi, akhirnya saya mencoba melihat wajahnya, juga tidak memberi kesan apa- apa.

Saya tertangkap mengamati wajahnya sehingga saya  terpaksa tersenyum.

Hanya satu informasi yang saya tahu bahwa dia suka berjalan pagi dengan seorang ibu yang bernama Kas.

Kewaspadaan saya meningkat. Dia bisa saja orang jahat yang berpura- pura. Saya jadi ingat banyak kasus kriminal yang menimpa orang yang berjalan kaki di pagi hari.

Begitu tiba di pertigaan saya memilih rute aman memutar ke kiri. Tidak meneruskan jalan lurus ke depan. Jalur kiri jalur yang dekat ke rumah.

‘’Ayo, Bu, kita berjalan sama-sama ke depan,” ajak lelaki separuh baya  itu.

Aturan pertama saya tidak boleh mengikuti maunya. Karena tidak nyaman saya percepat langkah saya, ternyata dia juga mempercepat langkah.

Aturan kedua tidak boleh terlihat takut. Maka, saya berjalan normal sambil terus berpikir bahwa ini jelas orang jahat, saya menarik napas dalam.

Jika ini kondisi buruk apa boleh buat saya mesti menghadapinya. Jalanan masih sepi tidak bisa berharap pertolongan orang.

Saya tidak boleh takut. Bukankah saya karateka sabuk hitam Dan II? Tetapi itu kan dulu? Saya tidak yakin bisa setangkas dulu lagi. Harus bisa jika kondisi mendesak! Cepat sekali otak saya berpikir. Sambil jalan saya berdiskusi dengan diri sendiri.

Saya mulai menilai lawan saya, menghitung kekuatannya. Tingginya setinggi saya, berat badannya di bawah berat badan saya sehingga kekuatan memukul dan menendang saya jauh lebih kuat. Bagaimana dengan kecepatan gerak, saya menghitung diri saya lebih terlatih dibanding dia dengan melihat kondisi tubuhnya.

Saya mulai memompa suhu keberanian dan nyali saya. Sambil berjalan saya mengukur kekuatan kaki saya. Saya hentak-hentakkan kaki dengan sepatu yang saya pakai sambil berjalan, bagus kekuatan kaki saya bisa diandalkan.

Tangan mulai saya kepal-kepalkan, kepalan saya masih kuat seperti dulu. Saya masih bisa mengandalkan diri sendiri.

Terakhir saya usap sisi badan saya sambil berjalan, itu artinya saya siap kondisi terburuk apa pun. Saya sudah menyiagakan semua syaraf tepi untuk ikut melindungi saya.

Saya bahkan sudah berjanji akan memberi tanda di wajahnya jika berbuat jahat. “Wajah adalah daerah yang paling sensiti. Disentuh sedikit saja  pasti pecah dan mengeluarkan darah, hidung gampang dibuat patah, bibir mudah dipecahkan apalagi jika cuma mau merontokkan gigi. Orang tidak bisa bohong jika wajah sudah disentuh,” saya bakar terus nyali saya.

Sepanjang jalan saya menunggu kondisi buruk itu, sambil berjalan. Saya perpendek jarak dengannya sehingga dia selalu berada dalam jangkauan. Memudahkan batang lehernya saya tarik untuk saya ganjal mukanya dengan lutut jika bertingkah.

Saya berjalan diam-diam menunggu kondisi itu, tetapi tidak terjadi apa- apa sampai pagar rumah saya sudah kelihatan.

Tidak sadar saya katakan ’’Alhamdulillah sudah sampai di rumah,” satpam sudah mengenali saya dan melambaikan tangannya.

‘‘Di mana rumahnya, Bu?’’ tanyanya.

‘’Itu yang pagar putih tinggi,’’ senang sekali saya bisa menjawabnya. ‘’Ibu penghuni baru?’’ lanjut pertanyaannya.

‘’Wah tidak, Pak, saya sudah berpuluh tahun di sini’’ ‘’Kok saya tidak pernah lihat Ibu?’’ tanyanya lagi.

‘’Saya pikir ini rumah orang Tionghoa karena selalu tertutup dan terkunci pagarnya,’’ katanya seenaknya dan sok tahu.

‘’Memang rumah Bapak di mana?’’ saya perlu menanyakan hal ini. ‘’Di situ Bu dekat masjid saya baru kontrak setahun.’’

‘’Yah pastilah tahu suami saya, pernah bertemu di masjid.’’ ‘’Maaf Bu saya bukan orang Islam.’’

‘’Astagfirullah,’’ saya tidak mengenali tetangga saya dan juga tahu keyakinannya. Saya sungguh kurang pergaulan.

Bahkan lebih buruk lagi, saya pikir orang jahat yang suka menggoda wanita jika berjalan pagi. Rupanya saya terlalu banyak mengikuti berita kriminal.

Saya pun masuk halaman rumah. Saya menarik napas lega, dan baru terasa betapa tegangnya saya sepanjang jalan tadi.

Saya membaca hasil berjalan pagi hanya 2,8 km dengan jumlah langkah 3.826 dan membakar 117 kalori, waktu yang digunakan 40 menit. Target 5 km tidak tercapai.

Salam sehat.

Makassar, 30 September 2021.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree