September 8, 2021 in Jelajah Nusantara, Uncategorized

Warga Desa Adat Wologai, 800 tahun menjaga warisan leluhur

Warga Desa Adat Wologai,
800 tahun menjaga warisan leluhur
Oleh Telly D

Wologai salah satu desa yang ada di Kecamatan Detusoko Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur. Desa ini merupakan satu dari 24 desa yang ada di Kecamatan Detusoko. Desa adat yang unik, berusia sekitar 800 tahun.

Letak Wologai berada di arah sebelah Timur kota Ende, dengan jarak 37km. Dapat dijangkau dengan kendaraan umum. Jalanan ke Wologai sudah beraspal, terletak tepat di pinggir jalan utama ke Danau Kalimutu.

dok. pribadi

Hanya memerlukan waktu 45 menit sudah tiba di perkampungannya. Luas desa adat Wologai tidak begitu besar kurang dari 1 hektar saja. Terdapat 33 kepala keluarga dengan jumlah warganya mencapai 230 jiwa.

Ketika saya mengunjungi desa Wologai, saya dalam perjalanan pulang dari Danau Kalimutu. Ada hubungan yang erat antara warga Wologai dengan Danau Kalimutu. Warga Wologai selalu menyakini bahwa arwah-arwah dari orang yang meninggal dunia berkumpul di tiga danau yang ada di Kalimutu. Hal ini diyakini betul sekalipun jasadnya di kubur di desa Wologai.

Di depan kawasan desa Wologai tepatnya di sebelah kanan jalan masuk ada sebuah pohon beringin besar yang tumbuh. Pohon beringin yang diyakini oleh warga adat Wologai ditanam oleh leluhur mereka, pada waktu yang bersamaan dengan waktu pendirian desa adat ini. Pohon beringin itu sekaligus menjadi penanda dan batas awal desa Adat Wologae.

Jarak dari pohon beringin ke perkampungan adatnya dekat saja, hanya memerlukan berjalan kaki. Perkampungan adatnya sangat menonjol ditandai dengan semacam kompleks rumah-rumah adat yang berkumpul dalam aturan tertentu, yang didirikan di atas pelataran yang bertingkat-tingkat atau berterap-terap dengan formasi melingkar.

Dari pohon beringin kita sudah dapat melihat atap cungkup jejeran rumah adat, sudah membuat mulut berdecak kagum menatapnya, dan rasa penasaran untuk mengetahuinya semakin kuat. Saya menahan diri untuk langsung masuk, sebab untuk masuk ke kompleks ini harus mendapat izin, demikian juga harus berhati-hati karena tidak semua pelatarannya dapat dikunjungi pengunjung, harus mencari pemandu.

Desa adat Wologai memiliki 18 bangunan. Dari jumlah itu terdapat lima rumah suku dan satu rumah besar. Rumah berjejer-jejer melingkari titik pusat dan menghadap ke satu arah ke bangunan batu yang tinggi serupa pelataran pemujaan yang bernama Tubu Kanga. Pengunjung tidak dibenarkan memasuki area ini karena di sakralkan. Mereka percaya bahwa jika pengunjung memasuki panggung ritual maka jiwa pengunjung akan terjebak di dalam kampung adat ini.

Keunikan dan daya tarik desa Wologai, ada pada usia perkampungan adatnya yang sudah 800 tahun. Betapa panjangnya waktu masyarakat adat ini lewati untuk tetap teguh memegang warisan leluhurnya. Merekalah penjaga warisan leluhur 800 tahun dari generasi ke generasi. Luar biasa kesetiaannya yang diwariskan turun temurun.

Arsitektur rumah adat, fungsi rumah adat, dan letak rumah adat, juga unik sebab semua dilakukan dengan pemaknaan yang syarat makna, sebagai warisan dari leluhurnya.

Mereka mempertahankan rumah adat dengan arsitektur rumah panggung yang pendek, berdiri di atas fondasi batu yang ceper, ditutupi dengan atap yang terbuat dari rumput alang-alang atau ijuk yang menjulang tinggi. Material yang digunakan, material yang alam beri, kayu, alang-alang dan bambu.

Menurut informasi yang diberikan, satu rumah adat menghabiskan satu pohon besar dan jenis kayu yang digunakan jenis ampupu. Fungsi rumah dapat dilihat dari ukiran yang dipahat di depan pintu. Pahatan itulah yang membedakan fungsi rumah adat yang kelihatannya sama. Tiap rumah memiliki ukiran-ukiran tertentu sesuai dengan perannya sehingga memiliki nama-nama sendiri seperti: saopanggo, attawolo, saolabo, lewabewa, attalamba dan lain-lain.

dok. pribadi

Rumah perang dengan pintu berukir tombak dan pistol berfungsi sebagai rumah penyimpanan senjata dan perkakas perang, namun karena tidak ada lagi perang antar-suku maka alat-alat perang itu digunakan hanya untuk upacara hari besar.
Masyarakat itu juga mengenal rumah khusus wanita dan laki-laki. Rumah wanita dengan ukiran dada di pintunya, rumah khusus laki-laki dengan ornamen laki-laki di tiang khusus.

Bentuk atap rumah yang menjulang sedemikian tentu memiliki filosofi tertentu. Bagian kolong rumah (lewu) digunakan untuk memelihara ternak seperti babi dan ayam, ruang tengah digunakan sebagai tempat tinggal, sedang ruang yang atas difungsikan sebagai tempat menyimpan barang-barang warisan leluhur dan digunakan pada saat ritual adat.

Membangun rumah adat tidak boleh sembarangan, ada ritual adat Naka Wisu, yaitu aturan memotong pohon di hutan untuk digunakan sebagai tiang penyangga rumah, harus dilakukan pukul 12 malam dengan terlebih dahulu perlu menyembelih seekor ayam.

Dalam setahun di kampung adat tersebut terdapat 2 ritual besar, yaitu panen padi bulan April dan tumbuk padi (talu nggua) pada bulan September. Puncak ritual masyarakat adat ini adalah Pure dimana selama 7 hari masyarakat tidak menjalankan aktivitas hariannya. Selama masa itu seluruh masyarakat adat Wologai dilarang melakukan aktivitas pekerjaan, selain berdiam diri selama waktu itu. Ada waktu untuk bekerja dan ada waktu untuk berdiam diri dan merenung kembali.

Jika telah selesai melewati berbagai upacara, maka komunitas adat akan menggelar ritual Gawi atau menari bersama di atas pelataran di sekeliling Tubu Kanga sebagai simbol mengucap kegembiraan dan kebersamaan.

Warga adat Wologai hidup dengan mata pencaharian utama berkebun dan memelihara ternak. Namun ada juga warga kampung yang membuat patung-patung kecil dari kayu untuk dijual ke wisatawan, mengolah kopi, mengolah biji kenari, dan membuat anyaman sebagai mata pencaharian tambahan.

Menurut informasinya sudah 18 generasi yang memegang teguh ketentuan adat ini. Warga masyarakat ini sebenarnya sudah membuka diri, sebab warga adatnya sudah boleh keluar dari desa adat dan boleh bersekolah. Terdapat beberapa orang generasi ke-18 sedang mengenyam pendidikan bahkan sudah sampai ke Universitas.

Adat-istiadatnya tidak seperti beberapa suku adat yang lain memaksa orang untuk berdiam di kampung adat, menolak perubahan. Warga adat Wologai boleh keluar kampung dengan syarat mereka harus kembali ke kampung halamannya untuk mengabdi. Mereka berprinsip untuk memegang adat istiadat di mana pun berada mereka tetap terbuka dari dunia luar.

Desa adat itu sepi dan lengang, teduh dan sunyi. Waktu terasa berjalan pelan. Ketika saya selesai berkeliling, saya duduk saja mendengar siulan burung-burung. Banyak burung-burung kecil yang berloncat-loncatan di pohon beringin, kokok ayam peliharaan yang bersahut-sahutan dan berkejar-kejaran di halaman kampung adat itu. Biji-biji kopi dan biji-biji kemiri yang dijemur terhampar di pelatarannya, desa adat yang rapi dan bersih. Suasana yang damai sangat terasa. Karena sunyinya saya sampai mendengar debar jantung saya sendiri, sangat hening.

Di luar pelataran kompleks rumah adat, ada rumah penduduk yang menjual kopi hangat. Kami duduk mengaso sambil menghirup kopi hangat. Kopi di desa adat ini juga termasuk yang terkenal enaknya.

dok pribadi

Waktu selalu tidak cukup jika mengunjungi desa adat, namun perjalanan ini tetap harus diakhiri. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, sudah sore sekali ketika saya berniat untuk meninggalkan desa adat ini. Desa adat yang telah menghabiskan umurnya sekitar 800 tahun tentu ceritanya tidak bisa selesai hanya dalam hitungan jam.

Sebelum meninggalkannya, saya memandang pohon beringin besar yang ada di depannya. Semua akarnya sudah membesar, tergantung ibarat janggut yang tumbuh di dagu orang yang berusia lanjut. Tidak beraturan dan banyak sekali, bahkan ada akar-akar itu sudah membentuk seperti goa di tengahnya. Ada kesan mistis sedikit horor yang diberikan.

Pohon beringin itu ikut jadi saksi apa yang telah terjadi di desa adat Wologai. Jadi saksi orang yang telah mengunjunginya, yang paling besar perannya ikut membuat rumah-rumah adat itu semakin tua kesannya setua pohon beringin yang tumbuh di depannya.

Selamat tinggal Wologai. Bergidik saya meninggalkan Wologai dan teringat ceriteranya, bahwa Wologai punya cerita kelam pernah menjadikan kulit manusia sebagai kulit gendang yang ditabuh dalam acara adatnya.

Makassar Agustus 2021

Terima kasih kepada
Pak Mampu Ono, Pak Harwarsono, Pak Karim dan anakda Metamagfirul
Menemani saya dalam perjalanan ini setelah melakukan kegiatan literasi menulis untuk guru-guru di Ende Nusa Tenggara Timur.




One Comment

  1. March 25, 2024 at 9:25 pm

    Monty Rykard

    Reply

    Excellent write-up

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree