September 8, 2021 in Jelajah Nusantara, Uncategorized

Kampung Adat Raja Prailiu : Pewaris Uma Mbatangu, Kain Kawaru, dan Makam Mega

Kampung Adat Raja Prailiu
Pewaris Uma Mbatangu, Kain Kawaru, dan Makam Mega

Oleh Telly D

Pulau Sumba yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah surga kampung adat. Kampung adat tersebar dari barat hingga ke timur. Ada kampung Prainatang, kampung Kawangu, kampung Watumbaka, kampung Praiyawang, kampung Umabara, dan masih banyak kampung adat yang lain, punya adat istiadat, bahasa, yang dipersatukan dengan keyakinan Marapu yang mereka anut.

Pulau Sumba terbagi atas Sumba timur dan Sumba Barat. Kota Waingapu adalah ibukota dari kabupaten Sumba Timur.

Waingapu kota kecamatan yang terletak di kelurahan Hambala. Luas kecamatan sekitar 73,80 km2 dengan populasi penduduk di tahun 2020 berjumlah 39.690 jiwa dengan kepadatan 537,80 jiwa/km2.

Waingapu adalah kota terbesar di Sumba Timur. Memiliki keindahan alam yang memukau, perbukitan indah, pantai yang bersih dan mempesona hingga air terjun ada di sini.

Dok. Pribadi

Daya tarik lainnya adalah kampung adat dan budaya Sumba yang unik serta keramah tamahan penduduknya.

Dalam perjalanan dinas tanggal 27 Desember 2018 ke Waingapu, saya menggunakan waktu yang ada untuk mengunjungi kampung adat Praing Prailiu (kampung Raja Prailiu).

Letaknya masih berada di dalam kawasan kota Waingapu di kelurahan Prailiu kecamatan Kambera. Prailiu merupakan salah satu kerajaan yang masih ada di Pulau Sumba dan masih eksis. Sekalipun setelah Umbu Djaka yang merupakan raja terakhir wafat pada tahun 2008 belum ada pengangkatan raja baru.

Kampung adat yang dekat dengan hiruk pikuk kota Waingapu, namun istimewanya kampung adat Prailiu tetap mampu hening dan senyap, menjaga adat istiadat warisan leluhur dengan penuh dedikasih, tidak tersentuh teknologi. Semua masih lestari.

Tidak memerlukan berjalan jauh, begitu saya memasuki kawasan adat, saya sudah disambut dengan pesona rumah adat hunian. Rumah adat berjejer-jejer dengan aturan tertentu. Atap rumah memiliki menara tinggi unik dan khas sekali, berbentuk limas. Semua material bangunan terbuat dari material alam, kesan dominannya rumah adat yang sudah berusia tua.

Pemandu mengatakan dulu rumah adat di situ berjumlah 42 rumah namun karena pernah terjadi kebakaran besar tahun 2000 rumah adat yang tersisa 38 rumah. Material yang kering dan mudah terbakar selalu menjadi tantangan utama rumah adat.

Uma adalah sebutan untuk rumah. Uma bokolu artinya rumah besar, atau uma Mbatangu rumah menara, sangat sesuai dengan kondisi sebenarnya rumah adat besar dan bermenara, ketinggian menara bisa sampai 30 meter.

Atap yang unik, menarik dan menjulang tinggi seperti menara, terbuat dari ilalang atau jerami kering yang disusun dengan rapi tentu sangat menolong menahan teriknya panas matahari.

Saya tidak melihat ada jendela di rumah adat itu, sehingga ventilasi udara tentu hanya melalui lubang kecil di dinding yang terbuat dari anyaman dahan sawit atau selubung pinang.

Masyarakat adat ini penganut keyakinan Marapu. Sistem keyakinan yang berdasarkan kepada arwah-arwah leluhur, roh-roh orang yang telah meninggal, tempat-tempat suci, benda-benda pusaka dan instrumen yang digunakan untuk berkomunikasi dengan dunia roh. Konsep Marapu mempengaruhi arsitektur dalam rumah adat sumba.

Menurut pemandu, tata letak rumah adat yang berjejer dalam satu kelompok dan membentuk 2 baris sejajar mengambil simbol perahu dengan ubur-ubur megalit di bagian tengah. Tata letak ini merupakan simbol kesatuan dan persatuan.

Rumah adat ternyata bukan sekedar tempat berteduh. Lebih dari itu merupakan perwujudan nilai sosial budaya dan kepercayaan leluhur.

dok.pribadi

Setiap bagian, bentuk dan ruang memiliki nilai sosial, budaya, dan kepercayaan leluhur. Setiap bagian, bentuk dan ruang memiliki makna ritual, simbolik, sosial, dan ekonomi. Ada prinsip filosofis yang dipenuhi.

Struktur rumahnya berbentuk segi empat berdiri di atas panggung yang ditopang tonggak-tonggak kayu. Rumah adat dengan kerangka utamanya tiang lurus sebanyak 4 batang, itu adalah simbol menunjuk empat penjuru arah mata dalam Baintan (kiku-katamba dan kani-padua).

Rumah dibagi dalam 3 bagian yaitu: menara rumah, bangunan utama, dan bagian bawah. Bagian menara rumah untuk roh, bagian tengah untuk orang yang masih hidup, dan bagian bawah untuk hewan dan roh jahat.

Menara rumah simbol bagi para roh yang memiliki kedudukan tinggi. Bagian bangunan ini adalah simbol tempat pemujaan. Pada ketinggian paling atas menara diletakkan benda-benda keramat, maka ruang ini adalah ruang yang dikeramatkan.

Bagian tengah atau bagian utama rumah terdapat teras atau bangga tempat mereka bermusyawarah adat, ada ruang utama di bagian dalam rumah tempat tinggal dan beraktivitas keluarga besar dan ada dapur sederhana berada di bagian tengah rumah di antara 4 pilar. Sebuah rumah adat dapat menampung satu hingga beberapa keluarga.

Bagian depan rumah digantungi tulang babi atau tanduk kerbau untuk menunjukkan bahwa si pemilik rumah telah memotong hewan ternak sebagai penanda kedudukan status sosial di masyarakat.

Bagian bawah rumah yaitu kolong rumah diperuntukkan buat tempat hewan peliharaan dan roh jahat. Menceminkan kehidupan ekonomi dimana bagian bawah rumah juga digunakan untuk menenun.

Pemandu membisikkan bahwa di antara rumah adat yang ada terdapat satu rumah yang di dalamnya masih tersimpan 1 jenazah yang sudah 10 tahun tersimpan dan menunggu untuk dikuburkan.

Penantian itu disebabkan menunggu kesiapan keluarga untuk mampu melakukan penguburan yang layak secara adat untuk status sosial yang dimiliki oleh jazad itu. Penguburan jenazah memerlukan persiapan yang lama dan dana yang tidak sedikit.

Ada rumah adat yang tidak memiliki menara, menurut pemandu itu rumah untuk tempat tinggal permanen bagi tetua di desa. Rumah uma kamadungu rumah botak artinya tidak memiliki puncak atau menara.

Ketika kami memasuki kawasan adatnya, saya melihat kain hasil tenunan ikat digantung berjejer dengan warna dan motif yang beragam, bahkan di depan rumah adat banyak kain tenunan ikat yang dilipat bersusun-susun menunggu untuk diberi perhatian.

Inilah warisan kekayaan yang luar biasa, mereka pewaris kain tenun ikat kawaru dari generasi ke genaerasi.

Di bawah rumah beberapa wanita sementara menenun di tengah-tengah hasil kain tenunan yang dilipat dan tersusun dengan rapi. Proses pembuatan tenun ikat dapat dilihat di sini.

Pemandangan yang menarik, melihat mereka dengan tekun menenun tenunan ikat. Menurut pemandu, dibuka untuk umum datang belajar menenun tenunan ikat di kampung adat ini. Sayang saya tinggal di tempat yang jauh sehingga tentu tidak dapat untuk datang belajar.

Ciri khas tenunan ikat Sumba memberi sumbangan yang sangat berarti bagi ketenaran Sumba Timur di mata dunia.

Disebut tenun ikat karena kegiatan mengikat amat berperan. Sebelum ditenun benang diikat menurut pola yang telah ditentukan sebelumnya, lalu dicelup dalam pewarna.

Benang tenunan ikat masih menggunakan warna alami seperti warna biru dari daun nila, warna merah dari ekstrak akar mengkudu. Kain tenun Prailiu kebanyakan menggunakan benang merah, hitam, kuning, dan biru menjadi buah tangan khas Prailiu Sumba Timur.

Kekuatan daya tarik kain tenun Sumba bukan hanya terletak pada desain yang unik penuh simbol-simbol dekoratif yang bermakna sosial kemasyarakatan hingga keagamaan.

Tata warna alami yang sangat menarik, tetapi justru pada pelibatan jiwa penenun tersebut, yang memungkinkan waktu berbulan-bulan masa kerja dilalui dengan penuh kesabaran serta ketekunan yang luar biasa. Itu yang membuat kain tenunan ikat ini mahal harganya.

Pada umumnya wanita penduduk kampung adat melakukan aktivitas menenun. Penduduk wanita di kampung adat memiliki mata pencaharian menjual hasil tenunannya.

Dalam tradisi Marapu selembar kain tenun ikat sangat istimewa perannya. Berguna dalam prosesi perkawinan sebagai mahar (Belis), dipakai membungkus jenazah, dan juga dikenakan saat upacara spiritual atau acara adat lainnya.

Bagi orang Sumba Timur, semua benda-benda primitif memiliki fungsi sosial berkaitan dengan kepercayaan Marapu. Patung dan ukiran (Penji) dari kayu dan batu, anyam-anyaman dari daun pandan dan daun lontar (tikar, tas, karuku/tempat nasi, mbuala pahappa (tempat sirih pinang wanita), kalumbutu (tempat sirih pinang laki-laki) serta kerajinan tembikar dari tanah liat dan berbagai asesori logam (mamuli, lutuamahu, dan anting-anting).

Tradisi megalitik atau kebudayaan megalitikum adalah bentuk praktek budaya yang dicirikan dengan pelibatan monumen atau struktur yang tersusun dari batu-batu besar (megalit) sebagai penciri utama.

Menurut pemandu, mereka memiliki kuburan batu mencapai berat 40 ton. Batu makam ini dipahat Domu Hunggurani diperbukitan Kawaru yang berjarak 12 km dari kampong Prailiu. Saya tidak bertemu dengan Domu Hunggurani.

Domu Hunggurani adalah pemahat kubur batu raja Tamu Umbu Ndjaka yang dibuat selama 6 bulan. Atap terbuat dari batu berukuran panjang 6 meter dan lebar 4 meter dan memiliki ketebalan lebih dari satu meter dan ditopang dengan 6 buah tiang batu.

Di atas makam raja Tamu Umbu Ndjaka simbol kebangsawanan terlihat dari ornamen patung buaya, penyu, rusa, ayam, dan bebek. Serta tugu batu berukir yang disebut Penji dengan patung manusia berkuda di masing-masing ujung atasnya.

Mayarakat Sumba penganut Marapu percaya bahwa penguburan di dalam tanah tidak layak bagi manusia, karena menyerupai penguburan hewan, sedang derajat manusia lebih tinggi dari hewan.

Sebelum adanya budaya megalitikum masyarakat sumba memakamkan jenazah di antara cabang pohon beringin yang rapat dengan akar gantungnya.

Menurut ajaran Marapu arwah dapat diterima di Parai Marapu bila sudah menyelesaikan semua urusan duniawi.

Kematian dilihat dari transisi antara hidup duniawi dan akhirat dan merupakan peristiwa penting dalam perjalanan seseorang menuju kebahagiaan sejati.

Penguburan dilaksanakan sebagai upacara khusus agar arwah manusia layak masuk Praimarapu (surga). Setelah jenazah disimpan bertahun-tahun dilakukan penyembelihan ternak kerbau, babi, dan kuda dalam jumlah besar (tergantung status sosial) sebagai sesaji pengiring penguburan.

Upara penguburan terdiri atas 2 tahap yaitu:
Tahap pertama jenazah dibungkus dengan kain berlapis-lapis dan diletakan dalam peti kayu dengan diameter 1,5 cm.
Pada jaman dahulu jenazah dibungkus dengan menggunakan kulit kerbau yang telah dikeringkan. Jenazah diletakkan dalam posisi jongkok dengan makna lahir baru, lalu ditempatkan dalam ruang adat sambil menanti upacara berikutnya.
Selama itu jenazah dijaga oleh Papanggang/Ata Ngandi (hamba bawaan) yang berperan sebagai mediator dengan arwah.

Tahap kedua, sehari sebelum berakhir tahap pertama diadakan upacara Pahadang yang dipimpin oleh Ratu (pendeta Marapu).

Sebelum tahap ke dua, batu kubur sudah disiapkan tergantung status sosial jenazah. Batu tersebut harus ditarik dari luar kampung, yang diawali dan diakhiri dengan upacara khusus.

Jenazah diusung dan dalam suasana prosesi sambil diiringi dengan arakan kuda berhias yang ditunggangi oleh hambanya (Ata Ngandi). Sampai ke tempat pemakaman jenazah ditempatkan dalam kubur batu megalit.

Raja Tumbu Umbu Djaka ketika meninggal pada tahun 2008 namun baru dapat dikuburkan setahun kemudian karena memerlukan waktu setahun untuk mempersiapkan pemakamannya, memerlukan dana besar dan waktu untuk membuat kuburan batu.

Makamnya berupa kubur batu dengan berat 40 ton. Hewan yang di korbankan kerbau, babi, kuda, dan sebagainya bahkan juga 100 lembar kain tenunan ikat ikut dimasukkan dalam kubur batu.

Kubur batu raja Prailiu mudah untuk dikenali karena lain dari kuburan batu yang lain. Kuburan batu raja berhias rusa, buaya, dan penyu lebih mewah dibandingkan kubur batu lainnya.

Menarik sekali mendengar cerita-cerita dari penutur asli kampung adat. Mereka meminta maaf karena seharusnya kami disuguhi dengan sirih pinang sebagai tradisi jika ada tamu datang berkunjung, namun karena kedatangan kami mendadak sehingga tidak ada waktu untuk mempersiapkan hal itu.
Mereka juga bercerita tentang tamu-tamu yang datang suka disuguhi tari-tarian jika datang berkunjung resmi.

Tarian disajikan dalam upacara ritual, pagelaran, diiringi oleh nyanyian lagu-lagu adat, gong, dan tambur serta alat musik dari bambu (nggu’nggi dan jung’ga au) yaitu tari Ndua Kali, tari Kadingangu, tari Ngguku (wulu manu), tari Parinna, tari Ludu, tari Panapang Baru, tari Patang, tari Pata Pandailung, tari Waluk, tari Kanduku Wuaka, dan tarian penyambutan tamu agung Ninggu Harama dan Harama.

Akhirnya saya menyudahi perjalanan di kampung adat ini dengan membeli beberapa lembar kain tenunan ikat sebagai kenangan istimewa. Tidak semua orang dapat memiliki kain tenunan yang dibeli langsung di kampung adat dan bertemu dengan pengrajinnya. Betapa istimewanya kenangan ini buat saya.

Saya telah menikmati kehidupan masa lalu dengan melihat rumah adat yang punya atap menara, tenunan ikat kawaru, kuburan batu mega. Saya belajar makna menghargai upaya melestarikan warisan budaya.

Mereka sesungguhnya penjaga budaya dengan melestarikan warisan leluhur. Hidup dalam kesederhanaan bahkan lebih cenderung primitif dijalani masyarakatnya sebagai dedikasih pada warisan leluhur. Betapa mulianya kesetiaan itu.

Makassar September 2021


Terimakasih diucapkan kepada
Bu Puji staf P4TK Matematika Yogyakarta, Metamagfirul (putra saya), Pak Mampu Ono, dan bapak Ellyas (teman dari IGI) yang menemani perjalanan ini.




One Comment

  1. March 25, 2024 at 12:09 pm

    Beau Mcinnes

    Reply

    Excellent write-up

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree