September 8, 2021 in Jelajah Nusantara, Uncategorized

Rumah Adat dan Tenunan Suku Sasak

Rumah Adat dan Tenunan Suku Sasak
di Desa Adat SADE

oleh Telly D

Welcome to Sasak village, Rembitan, Lombok adalah tulisan yang menyambut saya di gerbang depan ketika tiba di perkampungannya.
Sade terletak di desa Rembitan kecamatan Pujut Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dusun ini menjadi salah satu tempat wisata yang terkenal di Lombok.

Seorang pemandu dengan memakai ikat kepala dan sarung tenunan suku Sasak menyambut kami dengan senyum yang ramah dan sopan. Pakaian adat suku Sasak menjadi pakaian yang di pakai sehari-hari di dalam perkampungan adat itu.

Saya dipersilakan mengisi buku tamu dan memberi sumbangan seikhlasnya. Itu aturan pertama memasuki perkampungan adat ini.

Pemandu yang menerima saya adalah penduduk asli masyarakat suku Sasak, penghuni desa yang kami kunjungi, seorang yang sehari-hari
berprofesi guru.

Saya sangat yakin informasinya tepat karena hidup dan bertumbuh di desa ini. Pemandu yang memiliki rasa dan cara berpikir yang sama dengan masyarakat yang dipandu.

Sade, Dok. Pribadi

Perkampungan adat Sade berdiri di atas area 5,5 hektar. Rumah-rumah adat Sade dihuni oleh 150 kepala keluarga dengan penghuni sekitar 700 orang, demikian panduan pertama.

Saya melihat area kampung itu berbukit dan berterap-terap ke atas, sehingga rumah adat berjejer-jejer dari bawah ke atas mengikuti terap-terap dan kondisi lahan yang ada. Berkelompok dalam satu komunitas dengan aturan tertentu.

Hanya ada jalan yang berjarak setapak-setapak antara rumah yang satu dengan rumah yang lain, perkampungan yang sangat padat.

Karena padatnya, atap-atap rumah saling bersentuhan. Susah sekali memiliki rahasia di sini. Semua percakapan terdengar melalui dinding rumah yang hanya dibatasi anyaman bambu yang tidak kedap suara.

Salah satu keterampilan yang mesti dimiliki di sini adalah berkomunikasi berbisik sehingga tidak didengar oleh tetangga. Mungkin itu penyebabnya sehingga kampung ini sepi dari hiruk pikuk orang tertawa terbahak-bahak bersenda gurau. Atmosfirnya tenang, senyap, dan hening.

Ada jalan yang memutar di tengah-tengah kampung, itulah jalanan yang dapat saya lewati berkeliling bersama rombongan dan pemandu. Jalanan kampung setapak yang terbuat dari tanah asli hanya ditambah anak tangga untuk memudahkan naik mendaki dari tanah yang rendah ke tanah yang lebih tinggi.

Saya menghitung anak tangga jalan itu, selalu berjumlah ganjil 3 atau 5 anak tangga. Saya tidak tahu apakah ini cuma kebetulan saja.

Rumah penduduknya berarsitektur khas suku Sasak bercungkup tinggi ke atas ibarat lumbung padi. Atapnya dari ilalang kering yang dijalin rapat, ditopang dengan struktur kayu yang unik tanpa paku, dihubungkan dengan pasak-pasak, dan untuk menguatkan supaya kukuh tidak goyang diikat dengan tali ijuk.

Dindingnya dari anyaman bambu, lantainya hanya dari tanah liat berwarna kuning yang di padatkan. Konstruksi yang ringan dan tahan gempa.

Penggantian atap antara 5-7 tahun tergantung kerapatan ilalangnya, suara pemandu menjelaskan. Saya lebih memilih melihat berkeliling perkampungan ini sambil mendengar penjelasannya.

Saya melintasi jalan kecil yang ada di tengah desa itu. Menaiki satu terap ke terap lain. Rumah-rumah adat berjejer-jejer dengan tertib di kiri kanan jalanan dengan ukuran tertentu dan dengan arah menghadap depan yang juga diatur dengan aturan tertentu.

Sensasinya kami seperti terperangkap dalam kepungan rumah-rumah adat suku Sasak. Rumah-rumah adat yang berwarna coklat tua seperti kurungan-kurungan besar.

Kadang-kadang kami bertemu dengan anak-anak yang menggunakan jalan yang sama, berjalan dengan kaki telanjang dengan baju yang terbuka depannya tidak menghiraukan panas dan angin yang menerpa tubuhnya. Tampak jelas badan anak itu hanya dipelihara dengan ala kadarnya, anak-anak desa yang telah bersahabat dengan alam.

Beberapa wanita juga terlihat mengerjakan pekerjaan rumah tangga di luar rumah. Ada yang menampi beras menggunakan nyiru dari bambu di sudut rumah, bahkan ada yang memasak di sudut luar rumah, di antara rumah yang lain di samping pohon pisang.

Menggunakan tungku masak sederhana terbuat dari 3 batu besar yang diletakkan sedemikian sehingga alat masak bisa diletakkan di atasnya dan kayu bakar bisa dimasukkan di bawahnya. Memasak dengan cara tradisional menggunakan kayu bakar.

Sangat beresiko karena sekitarnya semua rumah terbuat dari bahan yang mudah menyala dan angin sewaktu-waktu bisa bertiup dan membuat ceritera api menjadi lain.

Ketika kami tiba di depan sebuah rumah yang ada wanita Sasak sementara menenun dikelilingi dengan hasil tenunan yang dipajang, pemandu mempersilakan kami berhenti dan menikmatinya.

Saya membeli bahan motif rangrang. Belanja sehelai kain untuk masyarakat adat bukan semata-mata belanja, apalagi untuk dipakai, namun lebih banyak pada menyemangati wanita kampung adat untuk mau mempertahankan semangatnya selalu mau menenun.

Sehingga keterampilan ini bisa terus tumbuh dari generasi ke generasi. Tentu harganya mahal jika dibanding dengan tenunan industri tapi hasil buatan tangan selalu berceritera lain.

Membeli tenunan suku Sasak di luar tentu berbeda ceritanya jika membeli tenunan Sasak dari pemilik dan penenunnya sendiri di kampung adat Sade.

Oleh pemandu saya diajak masuk ke dalam rumah adat yang tepat berada di depan rumah tempat menenun dimana kami berkumpul.

Rumah adat suku Sasak sudah mengenal pembagian ruangan. Ketika saya masuk. Pintu masuk ukurannya pendek dari ukuran normal, harus merundukkan kepala untuk dapat masuk.

Pemandu mengatakan bahwa itu sengaja dibuat demikian dengan makna tamu yang datang harus menghormati pemilik rumah dengan tata tertib yang ada di dalam rumah.

Rumah adat selalu syarat makna, hidup dari cerita-cerita yang ada, itulah yang membuatnya menarik dan menjadi lain dengan rumah biasa.
Mereka menyebut rumah dengan istilah Bale. Rumah tempat tinggal adalah Bale Tani terdiri atas 3 ruang, Ruangan paling depan adalah ruangan dapur tempat anak gadis untuk memasak berbagi dengan ruang untuk anak lelaki tidur.

Jika rumah tangga itu sudah memiliki anak laki-laki dewasa, maka anak laki-laki dewasa tidur bersama ayahnya. Ruangan itu juga dipakai menerima tamu.

Laki-laki suku Sasak lebih suka beraktivitas di luar rumah daripada di dalam rumah.

Lantai ruang depan lebih rendah dari ruang yang lain. Untuk memasuki ruang yang lain saya harus naik tangga dengan 3 anak tangga. Ini bermakna paling atas Tuhan, kedua ibu dan ketiga ayah. Masuk ke ruang tidur keluarga ayah dan ibu yang berbagi dengan ruang tidur anak gadis.

Di dalam rumah adat suasananya gelap, tidak ada ventilasi jendela di situ. Tertutup dari sinar matahari yang ada. Pengap dan kemungkinan ada serangga yang hidup yang suka dengan situasi gelap. Namun atap alang-alang membawa kesejukan di pagi hari dan kehangatan di malam hari.

Memasak, Dok. Pribadi

Menurut Informasi mereka punya kebiasaan dalam memelihara rumah adat ini. Sekali dalam seminggu mereka mengepel lantai rumahnya dengan kotoran sapi yang dicampur air dan sekam, dengan tujuan lantainya semakin padat merekat dan terhindar dari nyamuk dalam rumah.

Namun ketika saya masuk ke rumah adat itu bau kotoran sapi tidak tercium, cuma bau ruangan pengap karena tidak pernah kena sinar matahari.

Saya cemas dengan kondisi dapur tempat memasak dalam ruangan yang beratapkan alang-alang mudah terbakar, sangat beresiko, apalagi pintu rumah itu hanya ada satu untuk pintu masuk sekaligus pintu keluar.

“Bagaimana jika ada kondisi kebakaran”, tanya saya pada sang pemandu.
Pemandu hanya menjawab kecemasan saya dengan membenarkan bahwa pernah terjadi kebakaran di kawasan itu. Api melahap habis hampir separuh dari rumah adat yang ada di kawasan itu.

Harusnya ada upaya untuk mencegah hal ini, belajar dari pengalaman yang ada.

Mereka juga membagi rumah berdasarkan bentuk dan fungsinya. Bale tani sebagai tempat tinggal sehari-hari.
Bale Barugak balai pertemuan untuk membahas memecahkan masalah, perkawinan, atau musim panen yang ada, dan bale kodong rumah sementara untuk pasangan muda.

Ada rumah untuk lumbung padi, satu lumbung bisa dipakai 5-6 keluarga. Rumah dengan lumbung suku Sasak ini yang dijadikan sebagai simbol Pulau Lombok.

Masyarakat ini dari dulu sudah maju, mereka memiliki alat dapur, alat pertanian sekalipun sangat sederhana, alat menenun. Mereka memiliki aksara sendiri dan bahasa sendiri, alat musik dan tari-tarian.

Masyarakat ini kawin-mawin segaris keturunan atau sedarah, mereka menikah dengan saudara sepupu saja. Menikah jika suka sama suka mereka melakukan kawin lari, namun jika ada pihak yang tidak setuju maka mereka mengenal kawin diculik. Kawin culik atau kawin paksa yang di dalamnya jelas ada dominasi kaum laki-laki.

Laki-laki suku Sasak memiliki mata pencaharian bertani. Wanita suku Sasak termasuk anak gadis suku Sasak melakukan keterampilan menenun. Keterampilan menenun dipindahkan dari generasi kegenarasi sebagai mata pencaharian.

Tenunan suku Sasak terkenal keelokannya, baik mengenai warna maupun motifnya. Sangat diminati oleh pelancong yang datang. Kampung Sade benar-benar surga untuk tenunan suku Sasak.

Semua rumah menjual kerajinan tangan kain tenun, pernak-pernik, gelang, gantungan kunci sampai hiasan rumah. Etalase produksi dipajang di depan atau di samping rumah.

Saya sangat tertarik dengan hasil tenunannya. Betapa senangnya saya bisa belajar menenun meskipun hanya sekedar merapatkan benang-benang yang sudah ditata untuk menjadi sebuah motif yang diinginkan. Kami bergantian berfoto menggunakan kain tersebut dengan latar belakang rumah adat suku Sasak.

Setelah puas menikmati pesona tempoe doeloe, kami menikmati minum kopi khas suku Sasak di depan rumah suku Sasak, kombinasi yang sempurna.

Minum kopi sambil menikmati proses kopi dibuat, mulai dari menyangrai biji kopi mentah yang berwarna hijau sampai berwarna hitam, menghaluskannya dalam lesung batu dengan menumbuknya. Kopi halus itu diseduh dengan air panas, baunya wangi ke mana-mana, rasanya original.

Nikmat sekali dengan suasana yg juga original. Kami menikmati kopi dengan menyerumputnya, di selang selingi kami meniupnya juga dengan lakon original. Sayang tidak ada pisang goreng yang menemani kopi panas kami.
Kami tidak menyangka bahwa salah seorang dari kami baru tahu bahwa proses kopi seperti itu, malah juga baru tahu bahwa biji kopi itu berwarna hijau. Selama ini dia menyangka bahwa kopi itu berwarna hitam.

”Jadi kopi itu setelah disangrai baru berwarna hitam?”, tanyanya untuk diberi keyakinan.
“Iya betul”, kata kami serempak.
“Selama ini saya pikir warnanya sudah hitam dari sananya”, maksudnya dari pohonnya.

Hahaha…tidak ada yang mampu menahan ketawa mengetahui kondisi ini. Ironi memang anak pribumi yang hidup di negeri penghasil kopi terbaik di dunia tapi tidak tahu warna kopi.
“Saya tidak tahu bahwa warnanya hijau”, katanya tanpa merasa malu.
Jika sudah hitam begitu, jadi apanya dong yang kita minum? Tanyanya belum puas.
Hehehe…arangnya, jawab kami dengan menertawakannya.

Perjalanan kami sudahi tidak lupa kami membeli kopi bubuk buatan suku Sasak sebagai oleh-oleh. Kami pulang dengan hati yang bersenandung bahagia, Mengunjugi suku Sasak adalah pengalaman yang menarik dan berkesan. Banyak hal yang dapat dipelajari disini. Banyak ceritera yang bisa dituturkan.

Makasar, September 2021


Terima kasih saya ucapkan kepada

  1. Pak Harwasono, Pak Marjono dan Pak Karim yang menemani saya pada kunjungan pertama di bulan November 2017. Setelah selesai melakukan kegiatan peduli guru dalam rangka mengampanyekan literasi menulis dan melek IT dalam pembelajaran Matematika.
  2. Pak Karim, Bu Kaswati, Bu Betty, dan Metamagfirul, yang menemani saya pada kunjungan kedua tanggal 16 Oktober 2018 setelah bertugas memberi trauma healing pada sekolah-sekolah darurat yang kena musibah dan dampak dari gempa bumi yang melanda Lombok, Lombok barat, dan Lombok Utara.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree