September 8, 2021 in Jelajah Nusantara, Uncategorized

Suku Abui, Penari Lego dengan Gelang Kaki yang Gemirincing

Suku Abui,
Penari Lego dengan Gelang Kaki yang Gemerincing

Oleh Telly D

Negeri seribu moko, Nusa Kenari atau sekeping surga di Indonesia. Ungkapan-ungkapan menceritakan pesona budaya, serta daya tarik pantai dan bukit-bukit indah yang Alor miliki.

Bercengkrama dengan ikan mamalia dungong/putri duyung (Mawar), cerita mahar perkawinan dalam wujud Moko sampai ke kampung adat, Alorlah tempatnya.

Hari itu 6 Oktober 2019, saya memanfaatkan waktu yang ada untuk berkunjung ke kampung adat Tradisional Takpala, di desa Lembur Barat, kecamatan Alor tengah utara, Kabupaten Alor.

Menarik untuk dikunjungi karena tidak memerlukan jarak yang jauh, tidak merambah hutan, tidak mendaki gunung, melintasi sungai, masuk ke pedalaman seperti desa adat yang lain.

Dok. Pribadi

Hanya berkendaraan mobil dari ibu kota Kalabahi sekitar 30 menit sudah tiba di lereng bukit.

Kampung adat itu sudah terlihat dari bawah ketika mobil sudah berada di lereng bukit.

Memerlukan berjalan kaki sekitar 25 menit untuk mendekati perkampungannya.

Begitu tiba di ujung jalan yang menuju ke kampung adat, sudah terlihat papan tulisan yang memberi informasi bahwa kita telah memasuki kawasan kampung adat tradisionil Takpala, lengkap dengan alamatnya.

Ketika kunjungan ini dilakukan sementara musim kemarau. Pegunungan berwarna tembaga, daun-daun berwarna coklat karena teriknya matahari. Pohon-pohon meranggas meluruhkan daun-daunnya sehingga mengeluarkan sensasi yang lain. Seperti di luar negeri saja ketika pohon-pohon meranggas pertanda musim gugur telah tiba. Keindahannya musim kemarau di tanah Alor punya pesona yang lain.

Panorama yang indah terlihat dr atas bentangan teluk Banlelang yang luas berwarna biru. Sayangnya ketika kami di sana masih ada pembakaran hutan yang dilakukan penduduk, asapnya membumbung ke udara mengotori kejernihan udara yang ada. Perbuatan yang tidak berpihak pada penjagaan kelestarian lingkungan.

Ada beberapa rombongan yang berkunjung ke tempat .
Baru saja saya mengatur napas merasa lega telah memasuki gerbangnya, saya sudah disapa dengan ucapan,
‘’Ibu akan sehat jika telah menghirup udara gunung, dan telah menginjak tanah leluhur kami’’.
Itulah ucapan selamat datang yang ramah, saya terima dari ketua adat kampung tradisional Takpala bapak Marthen.
Beliau menyambut kami dengan hati terbuka, dan memberi keyakinan bahwa tanah leluhurnya membawa keberkahan bagi kami.

Ketua adat itu berpakaian adat lengkap, saya lupa menanyakan apakah ini selalu dia lakukan setiap hari. Berdiri tersenyum dengan senyum ramah yang lebar. Menampakkan giginya yang rapi berjejer dengan warna merah. Suku ini termasuk suku yang suka menguyah sirih.

Berkulit legam terbakar matahari, kulit yang hanya diserahkan pada alam untuk memeliharanya. Berambut keriting kecil-kecil, tidak memerlukan sisir untuk merapikannya. Berjalan tanpa alas kaki sehingga telapak kakinya menebal akibat selalu bersentuhan dengan tanah yang kasar. Itulah gambaran awal pertemuan saya.

Dok. Pribadi

Suku Abui memang terkenal keramahannya dan saya mulai merasakannya. Tanpa diminta, Pak Marthen langsung memerankan diri jadi pemandu kami. Pengalamannya sebagai ketua suku yang selalu melayani tamu sehingga sangat tahu informasi apa yang kami perlukan dan keinginan apa yang ingin kami wujudkan.

‘’Ini rumah adat suku Abui, suku kami’’.
‘’Rumah panggung tradisional terbuat dari jalinan bambu, beratap ilalang, berdinding bambu’’.
‘’Terdiri atas 4 lantai, bisa menampung 13 kepala keluarga di dalamnya’’. ‘’Rumah ini di dalamnya sudah termasuk dapur, tempat tidur, dan ruang tamu’’. Kelihatan sekali kebanggaan Pak Marthen ketika menjelaskan warisan leluhurnya.

‘’Lantai satu digunakan sebagai tempat menerima tamu atau rapat keluarga. Lantai dua untuk ruang tidur dan memasak. Lantai 3 tempat penyimpanan banyak hal seperti cadangan makanan dan, lantai 4 untuk menyimpan barang-barang adat seperti moko, senjata, atau barang antik lainnya. Pokoknya lantai paling atas itu menjadi tempat yang paling suci bagi leluhur’’. Jelasnya lagi dengan sangat lancar, entah sudah yang ke berapa kalinya penjelasan ini diulang di depan pengunjung.

Kampung adat Takpala dipresentasikan melalui rumah adat yang berjejer-jejer berkelompok berupa rumah panggung dan berbentuk seperti piramida dengan mengarah ke satu arah yang sama yang disebut Mesang.

Mesang adalah tempat berkumpulnya sebuah warga suku Abui. Di dalamnya terdapat mesbah berupa tiga batu susun yang disucikan oleh suku Abui. Masyarakat melakukan tarian kebesarannya, tarian lego-lego untuk menyambut tamu sambil mengelilingi mesbah dan moko.

Rumah adat juga mengenal perbedaan jenis kelamin. Rumah adat Takpala ada dua jenis yaitu kolwat yang mempunyai arti perempuan dan kanuarwat yang mempunyai arti laki-laki.

Sang kepala adat itu mengklaim bahwa di dunia ini merekalah suku yang pertama memiliki rumah kediaman yang berlantai empat.
Kemudian kami diajak berkeliling untuk melihat kondisi perkampungannya. Beberapa rumah adat sudah menua karena panjangnya waktu yang telah dilewati.

Suku Abui tidak mengenal aksara. Mereka memindahkan budayanya dari generasi ke generasi melalui bertutur lisan.

Suku Abui mengenal kegiatan memintal benang dan menenun. Suku ini memiliki alat tenun. Wanita suku Abui menenun. Hasil Tenunannya dijejer-jejer, digantung dekat rumah adat mereka, dipajang dan diperjual belikan.

Warna tenunannya didominasi warna hitam dengan motif binatang atau tumbuhan. Wanita suku Abui juga memiliki keterampilan mengayam. Keranjang atau tas tempat menyimpan hasil panen dan hasil buruannya.

Mata pencaharian masyarakatnya adalah bercocok tanam, membuka ladang menanam jagung, dan ubi. Lelakinya mempersenjatai dirinya dengan panah dan tali busur buatan mereka sendiri.

Suku Abui pemburu ulung di tengah hutan. Binatang-binatang liar tidak sanggup menghentikan kecepatan anak panahnya. Lelaki suku Abui sangat bangga dengan kemahirannya berburu dan memanah binatang liar.

Pagi hari mereka ke ladang untuk menanam singkong dan jagung atau berburu memanfaatkan hasil alam dan hutan. Hasil yang dia dapat selain untuk dimakan juga dijual untuk memenuhi kebutuhannya yang mereka tidak dapat hasilkan.

Makanan pokok mereka adalah ketela, jagung, dan kadang nasi yang dicampur dengan singkong dan jagung yang mereka sebut Katemak.

Takpala berasal dari dua kata Tak dan Pala. Tak berarti ada batasnya, sedangkan Pala berarti Kayu, sehingga Takpala berarti kayu pembatas. Selain itu Tak Pala juga bisa berarti kayu pemukul.

Takpala adalah Kampung adat suku Abui, suku terbesar yang mendiami Alor. Suku ini biasa juga disebut Taabui yang berarti gunung besar. Mereka dikenal sebagai orang pegunungan atau orang gunung.

Sekarang di kampung itu hanya puluhan penduduk yang masih mendiaminya. Sebenarnya keturunan penduduk kampung ini telah tersebar dan telah mencapai ribuan orang.

Kampung ini awalnya juga terletak jauh di atas gunung, di pedalaman, di lereng gunung Alor. Pemindahan ke tempat yang sekarang ini terkait dengan kewajiban membayar pajak kepada raja Alor. Utusan raja alor yang hendak memungut pajak kesulitan menjangkau kampung tersebut.

Akhirnya dipindahkan ke bagian bawah sejak tahun 1940. Bapak almarhum Pieter Kafilkae yang menyumbangkan tanahnya untuk dijadikan lokasi kampung Takpala hingga sekarang ini.

Kampung adat Takpala masuk dalam daftar kunjungan wisata asal Eopa setelah seorang turis warga Belanda memamerkan foto-foto kampung Takpala pada tahun 1973. Ia mengambil foto warga kampung Takpala untuk kalender dan mempromosikan bahwa di pulau Alor adalah kampung primitif, dan sejak saat itu desa Takpala menjadi terkenal dan dibanjiri oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

Suku Abui memiliki tradisi-tradisi yang dipertahankan untuk dilakukan pada bulan-bulan tertentu.

Bulan Oktober, adalah bulan untuk memulai tradisi masuk kebun atau potong kebun dimana kayu besar diturunkan dan dibakar sampai bulan November.
Bulan Desember adalah bulan mulai menanam sampai Januari. Akhir bulan Januari dilakukan pencabutan rumput pertama, sedangkan cabut rumput yang kedua pada bulan Maret dan April dimana jagung mulai menguning dan di bulan Mei sudah patah jagung.
Pada tanggal 20 juni adalah saat acara masuk kebun dimulai dengan potong hewan dengan segala keunikan dan tradisinya. Desa Takpala sangat menarik untuk dikunjungi. Ini waktu yang tepat jika ingin berkunjung ke sini.

Memasuki kawasan kampung adat Takpala tidak dipungut retribusi. Hanya jika ingin menggunakan baju adat mereka, maka baju adat tersebut dapat disewa sebesar Rp 50.000,-

Jika ingin menyaksikan rangkaian tarian adat dan atraksi, maka diminta mengeluarkan biaya sebesar 1 juta rupiah. Ini adalah harga yang sepadan dengan kesempatan melihat langsung beragam tarian, namun itu harus dipesan sebelumnya.

Kampung adat Takpala dapat menyuguhkan kepada pengunjung, budaya yang merupakan tradisi dan upacara adat yang dituangkan dalam gerak dan musik yang menyatu dalam keseharian hidup mereka.

Tari lego-lego adalah kegiatan rutin yang dilakukan bersama terutama saat panen jagung, membangun rumah, pernikahan, kelahiran, dan kegiatan adat lainnya.

Menyaksikan tarian lego-lego adalah atraksi wajib. Tarian ini dilakukan sekitar 20 orang laki-laki dan perempuan dengan bergandengan tangan dan bergerak melingkari mesbah batu bersusun yang di atasnya disimpan moko.

Dok. Pribadi

Tariannya diiringi tabuhan gong dimana para penari lelaki akan bersyair dan mengenakan perlengkapan adat termasuk senjata adat. Penari wanitanya memakai baju adat dengan gelang kaki yang gemerincing mengikuti hentakan kakinya.

Sebelum pulang saya memastikan diri berfoto dengan ketua suku dengan latar belakang kampung adat dan rumah-rumah tradisionalnya, berpakaian adat Takpala, menyampirkan tas anyaman dipinggang saya, dan memakai gelang kaki yang bergemerincing mengikuti irama kaki saya.

Betapa bahagianya menikmati keunikan suku Abui Takpala, berkenalan, dan berbagi pengalaman dengan kepala suku Takpala. Ini menjadi kenangan yang indah bahwa kami pernah mengunjungi tempat ini.

Makassar 28 Agustus 2021

Terima kasih kepada Bapak Kasianus Kweru (wakil Kepala Sekolah SMAN 1 Kalabahi) yang mengantar kami ke kampung adat Takpala.
Bu Kaswati dan Pak Teguh Staf P4TK Matematika Yogyakarta yang menemani dan mengabadikan kunjungan ini sehingga saya punya dokumentasi.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree