August 17, 2021 in Catatan Harianku, Uncategorized

Ibu dan Ritual Bulan Agustus

Post placeholder image

Ibu dan Ritual Bulan Agustus
Oleh Telly D

Setiap tahun dilakukan peringatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus. Bulan Agustus menjadi bulan yang sangat istimewa. Selalu dinantikan kedatangannya oleh rakyat Indonesia.

Peringatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia adalah waktu rakyat Indonesia mengekspresikan kebahagiaan menjadi bangsa yang merdeka.

Beragam aktivitas dan lomba yang diadakan. Sekolah-sekolah memanfaatkan momentum itu untuk menanamkan rasa cinta tanah air dan menghargai jasa para pahlawan. Rumah saya pun melakukan hal yang sama.

Ada dua momentum istimewa dalam setahun di rumah. Istimewa saya ceritakan karena dilakukan oleh semua anggota keluarga selama sebulan penuh.

Momentum Ramadhan dengan puncaknya pada Idul Fitri dan momentum hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang puncaknya pada upacara 17 Agustus.

Ibu punya ritual dan tradisi tahunan dalam bulan agustus. Ritual ini tidak pernah didelegasikan pada siapa pun termasuk pada ayah. Ibu memimpin sendiri ritualnya bahkan menyiapkan biaya yang tidak sedikit untuk kegiatan ini.

Ritual bulan agustus diawali dengan mempersiapkan rumah. Saya tidak tahu apa hubungannya sehingga rumah dan pagar rumah harus dicat. Ibu memanggil orang yang dipercaya dapat melakukan hal ini. Kami wajib ikut ambil peran membantu.
‘’Mengapa rumah dan pagar halaman harus dicat?’’, tanya saya pada ibu,
‘’Rumah dipersiapkan melakukan hajatan besar, hajatan bangsa’’, kata ibu dengan penuh semangat.

Sebelumnya saya hanya mengenal hajatan penganten, sunatan, khatam alquran dan sebagainya, ternyata ada hajatan bangsa. Peringatan ulang tahun Republik Indonesia, ibu memahami sebagai hajatan bangsa.

Jika rumah dan pagar sudah dicat maka halaman dibuat seirama. Pohon-pohon di halaman dipangkas dirapikan dahannya, selokan diperbaiki, tanaman ditata kembali bahkan kadang ibu sengaja membeli pot-pot baru untuk mengganti pot yang lama. Momentum ini juga dimanfaatkan ibu sekaligus membenahi lingkungan rumah.

Waktu itu, kami berdiam di kompleks perumahan pegawai atau rumah dinas di kabupaten. Rumah dengan bangunan kopel. Satu kopel untuk dua keluarga. Terdapat 3 kopel dalam jejeran itu, sehingga ada 6 keluarga.

Aktivitas kami sekeluarga terlihat menarik. Tetangga ikut melakukan hal yang sama. Jadi beramai-ramai, saling memberi semangat. Tidak heran jika hasilnya 6 rumah dinas yang sejajar memiliki dandanan yang sama. Saya bangga menemukan ibu menjadi pelopor dalam lingkungan.

Setelah rumah, pagar, dan halaman rapi, barulah dilakukan pemasangan umbul-umbul. Umbul-umbul merah putih. Warna merah dan warna putih adalah pilihan warna yang dominan untuk agustusan.

Waktu itu belum ada umbul-umbul dan bendera merah putih dijual yang sudah dijahit. ibu mengupayakan sendiri, membeli kain dan menjahit seperti keinginannya.

Saya pandai membuat bendera kecil dari kertas minyak warna merah dan warna putih. Saya menggunting kertas itu menjadi segi empat kecil dan menempelkan sisi yang jadi tengahnya dengan lem tepung tapioka yang dimasak sampai mengental.
Saya melakukan itu dengan mendendangkan lagu bendera merah putih dan berkibarlah benderaku seperti keinginan ibu.

Kemudian bendera kecil itu saya tempel di ujung lidi daun kelapa atau saya pasang berjejer dalam roncean benang godam. Saya boleh memasangnya memanjang di sepanjang pagar halaman depan rumah.

Bangga sekali melihat bendera kecil hasil buatan saya itu bergerak-gerak melambai mengikuti tiupan angin. Jika sudah begini saya akan bernyanyi dengan senang hati.

‘’Siapa berani menurunkan engkau serentak rakyatmu membela, sang merah putih yang perwira berkibarlah selama-lamanya’’.

Kami bekerja beramai-ramai. Kami berbagi pekerjaan, ada yang memasang umbul-umbul ada yang mengecat batu-batu halaman yang telah ditata rapi, dan ada yang memanjat pohon untuk dirapikan. Tidak dibenarkan ada yang berpangku tangan.

Terakhir dibuatkan gapura depan pintu masuk dan dipasangi tulisan ‘’Dirgahayu Republik Indonesia’’ dari kertas krepe merah putih.

Pada waktu itu di desa belum mengenal lampu berwarna warni yang dapat digunakan menerangi halaman rumah. Ibu sangat kreatif, memasang obor di titik yang strategis menerangi halaman rumah, sehingga keindahan umbul-umbul tetap dapat dinikmati di malam hari.

Obor dibuat dari potongan bambu kecil, yang menyisakan satu sisi ruas bawahnya. Tengahnya yang kosong diisi minyak tanah dan ujung ruas yang lain disumpal dengan kain tua yang berfungsi sebagai sumbu, sehingga bisa dinyalakan.

Satu bulan aktivitas cinta tanah air ini dilakukan. Setiap pagi dan sore secara bergiliran saya bersaudara berlatih menaikkan dan menurunkan bendera merah putih di halaman.

Di depan rumah, tepat di tengah halaman ada tiang bendera yang ayah buat khusus untuk keperluan ini. Kami mengerek bendera naik dan menurunkan dengan berbaris formal dan memberi hormat.

Ibu dan ayah menguasai baris berbaris. Mereka berdua yang melatih saya untuk menaikkan dan menurunkan bendera dengan benar. Ibu sangat teliti memperhatikan hal ini.

‘’Bendera adalah simbol negara. Ada aturan bagaimana melipat, menyimpan, menaikkan, dan menurunkan’’.
‘’Tidak boleh diperlakukan seenaknya’’.
‘’Malu jadi anak bangsa jika hal yang dasar begini tidak diketahui‘’.

Itu ucapan-ucapan ibu menyemangati. Karena semua dilakukan bersama dengan bersenang-senang, saya mau saja melakoninya.

Ayah dan ibu mencontohkan meneriakkan ‘’Merdeka!’’ setiap masuk dan keluar rumah, dengan tangan terkepal ke atas Saya suka menjawabnya dengan teriakan dan gerak yang sama, bahkan saya suka menambah dengan kalimat ’’sekali merdeka tetap merdeka’’.

Dalam bulan Agustus, setiap malam ibu membacakan atau bercerita tentang sejarah kemerdekaan, tokoh-tokoh bangsa, sambil menyisipkan pesan moral cinta tanah air, bahwa kami harus mencintai negeri ini.
‘’Mengetahui perjuangan merebut kemerdekaan ini akan membuatmu tahu menghargai dan menjaga kemerdekaan ini’.

‘’Banyak wujud sikap cinta tanah air. Melakukan upacara bendera dengan penuh khidmat, menghormati guru dan teman-teman, menggunakan bahasa Indonesia, belajar dengan baik, mematuhi praturan sekolah, siap berkorban untuk kepentingan sekolah, hafal bunyi Pancasila dan bahkan Pembukaan UUD 1945’’.

“Menjaga fasilitas umum, menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan ini juga bukti nyata cinta pada Tanah Air”, kata ibu dengan semangat.
Ibu juga mengatakan, ’’mengetahui kehebatan para tokoh yang berunding melalui meja perundingan akan membuat saya memahami bahwa perjuangan tidak hanya dicapai dengan cara-cara fisik. Ada cara lain yang dapat dilakukan untuk menjadi pahlawan. Tidak kalah terhormat dan menarik’’.

Ibu pengagum Bung Karno yang fanatik. buku-buku tentang Soekarno lengkap berjejer pada rak buku di kamar. Mulai dari Sarinah sampai Bung karno penyambung lidah rakyat.

Sebulan penuh ibu mendukung dan mendorong saya dan saudara yang lain untuk terlibat ambil peran pada kegiatan dan lomba-lomba yang diadakan di sekolah, atau di kabupaten.

Ibu mencontohkan berdendang dengan lagu nasional selama bulan agustus. Menghayati dan menghafal setiap lagu nasional, menurut ibu mampu menumbuhkan sifat nasionalisme.

Sambil memasak mendendangkan lagu padamu negeri, menyiram bunga dengan lagu tanah airku. Saya jadi ikut-ikutan selalu meyambung lagu nasional itu. Lagu yang paling heroik menurut saya adalah tujuh belas agustus tahun 45 dan maju tak gentar.

Puncaknya ada pada upacara 17 Agustus, ibu selalu sibuk memastikan di mana kami ikut upacara.

Pada awalnya, saya suka melihat ibu aneh dengan semangat nasionalnya. Menurut saya ibu berlebihan bahkan terkesan arogan dalam hal ini.

‘’Semua orang merayakan hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia, tapi tidak seperti ibu. Orang biasa saja, kata saya pada ayah, membandingkan kondisi rumah kami dengan tetangga yang lain.

‘’orang yang hidup dan merasakan penderitaan sebelum kemerdekaan akan berbeda dengan orang-orang tidak merasakan langsung’’, ayah mencoba untuk memberi penjelasan.

‘’Ibu itu pejuang pergerakan kebangsaan Wanita” bisik ayah dengan jelas.

‘’Rumah kita yang di kota Parepare adalah rumah yang dihadiahkan oleh pemerintah Indonesia kepada ibu karena prestasi memimpin perjuangan wanita‘’, kata ayah dengan bangga. Saya jadi bisa memahami mengapa sikap ibu seperti itu.

Setelah saya dewasa dan berkeluarga. Ibu sudah memasuki masa purna. Tradisi mempersiapkan bendera dan umbul-umbul, meneriakkan pekik merdeka, menyanyikan lagu-lagu nasional tetap dia lakukan dengan tekun. Termasuk mengikuti upacara pengibaran dan penurunan bendera di istana negara melalui televisi.

Ada hal yang unik, selalu ingin umbul-umbul yang baru. Ibu selalu keberatan menggunakan umbul-umbul tahun kemarin sekali pun kondisinya masih bagus.

Pada tahun sebelum ibu meninggal, ibu masih bersikeras tidak setuju dengan umbul-umbul yang sudah dibelikan karena model tidak sesuai yang ibu inginkan.

Saudara saya mencoba memberi penjelasan tidak mengurangi nilainya jika modelnya lain. Ibu tetap ingin model umbul-umbul yang berbentuk kipas setengah lingkaran yang ada pita besar di tengahnya, keinginan yang sangat kuat.

Saya suka kagum dengan cara ibu mencintai negeri ini dengan selalu memberi yang terbaik. Urusan umbul-umbul bisa membuat masalah besar dan memicu ibu ngambek.

Membutuhkan biaya yang tidak sedikit karena waktu itu, Ibu telah mempunyai tiga rumah induk. Syukur ada saudara yang menyiapkan dana dan bersedia mengikuti keinginan ibu.

Setelah ibu meninggal, tradisi ini pun masih diteruskan oleh ayah. Rumah kami tetap disemarakkan dengan umbul umbul. Pekik merdeka tetap kami pekikkan, menyanyikan lagu nasional juga tetap kami lakukan namun sudah dengan kondisi yang lain, zaman sudah berubah.

Bulan Agustus tahun ini, bulan kepergian ibu. Saya selalu mengenang ritual agustus itu. Betapa sakralnya ibu memperlakukan bulan kemerdekaan.

Betapa kuatnya upaya yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran cinta tanah air pada anak-anaknya. Tidak ada museum yang saya kunjungi, tidak ada konten-konten berbau budaya dan sejarah di gadget kami.

Namun cara yang ibu pilih untuk berkenalan dengan sejarah dan kebudayaan Indonesia adalah cara belajar mencintai sejarah dan budaya Indonesia yang efektif.

Berdampak positif karena ditanamkan sejak dini, jadi fondasi untuk saya dalam pemahaman mengenai cinta Tanah Air. Hal ini yang menggerakkan kesadaran saya untuk mau melakukan hal positif bagi bangsa Indonesia.

“Kalau sudah cinta, tentu akan menjaga dan tidak akan merusak’’ kata Ibu masih terngiang di telinga saya.

Merdeka !!!
Makassar 17 Agustus 2021




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree