Sakti atau Sakit
Sakti atau Sakit
Oleh Telly D
Pandemi Covid-19 bukan lagi sekedar pakai masker, jaga jarak, dan cuci tangan. Lebih dari itu, sudah menjadi tragedi kemanusiaan. Sudah waktunya menggunakan kesaktian untuk memenangkan pertarungan maut ini. Pilihannya sakti atau sakit.
Pandemi covid -19 dimulai sejak 30 Januari 2020. WHO mengumumkan kondisi kesehatan darurat global. Disusul kemudian 11 Februari 2020, WHO mengumumkan nama resmi virus corona tipe baru sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). COVID-19 merupakan nama resmi untuk penyakit yang ditimbulkan.
Sejak itu Orang mulai mengenal virus corona. Orang mulai mengetahui penularannya melalui cairan atau percikan air yang keluar dari saluran pernapasan ketika seseorang batuk maupun bersin (droplet).
Melalui kontak fisik, menyentuh barang yang mungkin saja sudah terkontaminasi oleh droplet orang lain. Melalui hal ini virus tersebut berpindah ke hidung, mulut, atau mata dari sentuhan barang yang terkontaminasi tadi.
Mencegah penularan ini maka prokes (prosedur kesehatan) berbunyi; pakai masker, jaga jarak, cuci tangan dan hindari kerumunan. Orang-orang mulai diadaptasi dengan budaya baru prokes.
Dalam perjalanannya, prokes tidak cukup sakti mencegah penularan, jumlah korban akibat virus corona bertambah terus. Kecepatan adaptasi yang dilakukan manusia tidak secepat mutasi yang dilakukan virus corona.
Deretan nama varian hasil mutasi semakin memanjang; Alpha, Beta, Gamma, Delta, Epsilon, Zeta, Eta, Theta, Iota, dan Kappa. Kecepatan menular yang membawa kematian juga semakin mencengangkan. Menghadangnya berarti menghadang maut. Sangat beresiko, peluang untuk memenangkan pertarungan maut tidak dapat diprediksi.
Rasa cemas dan takut pada penularan yang membawa kematian membuat orang semakin waspada. Taat Prokes semakin diperketat. Orang mencari tempat yang aman dari jangkauan penularan.
Memilih berdiam di rumah, mengurangi banyak aktivitas di luar rumah. Rumah dijadikan tempat sakti untuk berlindung sementara, sekali pun tidak menjamin bisa aman 100 persen.
Pemerintah mulai melakukan pembatasan. Pembatasan perjalanan, pembatasan pariwisata, bahkan pasar, mall, restaurant, rumah ibadah, dan semua tempat publik berkumpul ditutup atau dibatasi ruang geraknya. Demi mencegah penularan virus corona.
Dampaknya semua sektor kehidupan terjerembab mulai dari sektor ekonomi, Kesehatan, sampai ke pendidikan. Hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, pilihan yang sulit.
Virus corona memaksa semua orang untuk mau membatasi interaksi antar-negara, antar-bangsa, antar-suku, antar-kelompok bahkan antar-individu. Virus corona telah menyusup mengganggu semua sendi kehidupan, menganggu tidur kita dan bahkan mengganggu mimpi kita.
Negara melakukan langkah melindungi panduduknya. Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan mulai dengan meniadakan libur, membatasi berwisata, membatasi jumlah orang berkumpul, sampai pulang mudik. Sekarang bahkan sudah dilakukan penyekatan antar-wilayah.
Pakai masker, jaga jarak dan cuci tangan, sudah ditambah dengan makan bergizi, istirahat cukup, berjemur di panas matahari, konsumsi suplemen adalah seruan standar yang terus-terus dilakukan. Mengingatkan betapa harus terus waspada dan jangan lengah.
Kebijakan pemerintah itu tidak cukup sakti, korban masih terus juga berjatuhan. Melansir Worldometers, kamis (15/7/2021), virus corona telah menginfeksi 189.130.509 orang di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, 172.772.365 orang sembuh, dan 4.073.935 orang meninggal dunia akibat Covid-19.
Di Indonesia sudah mencapai 76. 200 (sumber data; Tribunews.com hari Rabu 21/7/2021) orang yang meninggal dunia.
Rumah sakit pun tidak sakti. Tidak mampu berbuat banyak, kekurangan fasilitas, kekurangan tenaga, kekurangan obat dan alat menjadi keluhan utama. Orang antri untuk dapat layanan kesehatan bahkan jenazah pun sudah antri untuk dikuburkan karena kurangnya tenaga penggali kubur.
Sepanjang sejarah peradaban manusia di dunia tidak ada yang mampu menyamai banyaknya korban yang berjatuhan diakibatkan virus corona.
Jumlah korban yang meninggal melebihi guncangan ledakan gunung merapi yang terkuat, gelombang tsunami yang terparah, badai dan topan yang terganas, bahkan perang dunia II sekali pun.
Mari kita bandingkan dengan kejadian luar biasa.
Gempa Bumi di Valdivia, Chile, 22 Mei 1960 (9,5 magnitudo). Gempa bumi ini menewaskan 1.655 orang, dengan 3.000 lainnya luka-luka.
Gempa terbesar dan terparah Tsunami di Aceh, 26 Desember 2004 (9,1 magnitudo) 227.900 korban tewas atau diperkirakan tewas, dengan 1,7 juta orang mengungsi di 14 negara Asia Selatan serta Afrika Timur.
Perang Dunia II yang terkenal kekejiannya dan membawa dampak luar biasa, traumanya dibawa sepanjang sejarah, bukan tandingan pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 di Amerika telah merenggut lebih banyak korban jiwa dibandingkan Perang Dunia II. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Johns Hopkins University, hampir 420 ribu jiwa meninggal akibat pandemi Covid-19. Sedangkan Menurut Museum PD II Nasional di New Orleans, mencatat sedikitnya 413.500 warga Amerika tewas selama perang yang berlangsung selama 1939-1945.
Di Indonesia ketika perang dunia II berlangsung pada tahun 1939 tercatat populasi penduduk Indonesia 70.500.000 jiwa, diperkirakan warga sipil yang meninggal 4.000.000 orang (5,67%), sedangkan data BPS jumlah penduduk Indonesia 270,20 juta (2020) dengan korban meninggal akibat pandemi covid-19 sebanyak 76.200 orang (Tribunnesw.com, Rabu 21/7/2021).
Sejarah peradaban manusia juga mencatat jika sudah dihadapkan pada berbagai masalah yang luar biasa, maka sudah waktunya zaman melahirkan pahlawan atau orang sakti yang dapat mengatasi masalah.
Sakti yang dimaksud di sini adalah orang yang memiliki kemampuan, mampu (kuasa) berbuat sesuatu melampaui kodrat alam, berani melakukan tindakan atau mengambil alih tanggung jawab untuk keluar dari masalah atau menolong kaum lemah.
Orang sakti dalam kondisi pandemi covid-19 tentu yang memiliki kesaktian dan keberanian menantang dan menghentikan penyebaran virus corona yang mematikan.
Tentu bukan Achilles, Hercules, Odysseus, dan Perseus. Virus corona bukan penjahat atau monster seperti dicerita Yunani kuno.
Tentu Bukan Spartacus yang punya keberanian memimpin pemberontakan perbudakan yang melegenda di zaman Romawi.
Bukan Rambo yang kebal tidak tembus peluru. Virus corona bukan musuh yang punya keahlian menembak.
Bukan pula Avatar. Melawan virus corona bukan perang melawan raja api sehingga memerlukan tenaga untuk menyeimbangkan api, angin, air, dan tanah.
Apalagi kesatria Avenger yang hanya ada di alam khayal. Virus corona ada dalam alam nyata, beda dunia.
Virus ada di dunia, dunia nyata.
Tentu bukan orang yang tidak percaya dunia nyata. Korban sudah berguguran di depan mata, pekuburan sudah penuh sesak, rumah sakit sudah tidak mampu menampung orang sakit akibat tertular virus corona.
Sekelompok orang hanya sibuk mendiskusikan teori konspirasi. Tidak percaya bahwa virus corona itu ada.. Bagaimana mungkin melawan hal yang tidak ada.
Mari berpikir rasional, karena hanya dengan akal sehat negara ini dapat diselamatkan (Ade Armando).
Juga bukan pemberani yang menantang virus corona tanpa pakai masker. Kepercayaan diri yang terlalu berlebihan, merasa paling hebat dan paling benar justru berbahaya.
Percaya diri boleh, namun jika kepercayaan diri terlalu berlebihan (narsis) bisa mengganggu kesehatan mental. Narsis bukan orang sakti justru bisa jadi indikator gangguan kesehatan mental.
Orang-orang seperti Sarah Catherine Gilbert penemu vaksin (Astra Zeneca-Oxford) yang diharap bisa menjadi solusi masalah yang ada bahkan menyatakan vaksin juga tidak menjamin 100% keberhasilannya.
Hal ini dapat dilihat dengan hasil rilis vaksin dengan keberhasilan yang bisa diharapkan. Vaksin Sinovac (65,35%), Novavax (91,25%), Astra Zeneca-Oxford (75%), Pfizer-Biontech (95%), Sinopham (79,34%), Modema (94,1%) dan vaksin Merah Putih.
Vaksin yang kita harapkan sakti ternyata juga hanya dapat memperkuat anti bodi menghadapi virus corona. Tidak ada yang mampu menjamin 100%. Semua tetap memiliki resiko untuk tertular virus corona, sehingga hampir pasti corona akan tiba di tubuh kita.
Tidak ada jalan lain, virus corona akan terus ada dalam kehidupan kita. Yang dapat kita lakukan adalah beradaptasi untuk mampu hidup berdampingan.
Bersembunyi dalam rumah juga bukan solusi yang sakti. Mau sampai kapan orang bersembunyi dir umah. Hidup ini harus diatasi bukan dengan bersembunyi. Itu resiko dari hidup yang mesti dijalani.
Kesaktian yang kita cari itu, ternyata ada pada immun (anti bodi) yang telah diberi Tuhan dalam diri ini sejak kita lahir. Kita sudah lahir dengan membawa kesaktian itu. Betapa kurangnya pemahaman kita tentang kekuatan diri sendiri.
Kitalah manusia sakti itu, yang sanggup dan berani menghentikan penyebaran corona itu. Kitalah orang sakti yang harus mengambil alih tanggung jawab ini.
Mari melakukan upaya memperkuat dan memelihara kesaktian (anti body) dengan melakukan vaksinasi, makan makanan bergizi, perbaiki gaya hidup, berolah raga, berinteraksi sesuai prokes dan minum suplemen.
Jika akhirnya terkena juga, mari ikhlas seperti keikhlasan kita jika kena penyakit lain, itulah resiko dari hidup. Singapura telah mencontohkan hal ini, menganggap virus corona sebagai penyakit menular biasa.
Virus corona telah menjadi guru kehidupan, mengajari banyak hal. Virus corona membuat kita mengetahui bahwa kesaktian itu ada pada pemberian Allah yaitu immune (anti bodi). Mari kita bersujud memuji kebesaran sang pemilik segala kehidupan ini. Sudah waktunya kita melepas semua kesombongan duniawi.
Akhirnya, virus corona membuat kita saling mengetahui kualitas diri masing-masing, termasuk kualitas bangsa dan pemimpin bangsa ini, dan menyadari betapa kita hanya mahluk ciptaanNya. Tidak ada dusta di antara kita.
Makassar 20 Juli 2021
March 25, 2024 at 7:53 pm
Forest Harpine
great article