June 29, 2021 in Catatan Harian Puang Bapak, Catatan Harianku, Uncategorized

Mengganti Kata Buta Huruf dengan Pandai Menghapal

Mengganti Kata Buta Huruf dengan Pandai Menghapal

Membuatku Jadi Istimewa

oleh Telly D

Malam itu di tahun 1968, ruang keluarga senyap tak ada kehangatan, gelak tawa  kabur terusir dengan kekecewaan. Pisang goreng dan teh hangat yang  selalu jadi rebutan jika duduk bersama, tergeletak dingin di atas meja, tidak ada tangan yang berani menyentuhnya.

Ayah dan ibu duduk berhadapan kaku ibarat patung togog di depan Arca. Saudaraku  mencari amannya meninggalkan ruang keluarga, masuk kamar.  Semua orang melakukan hal yang sama.

Saya dan Ayah terpaksa bertahan. Saya adalah tergugat utama. Ayah adalah tersangkanya, kambing hitam yang menurut ibuku ikut berperan karena lalai memberi perhatian pada saya.

“Iya ya…kok bisa 2 tahun lolos tanpa diketahui”, suara ayah dengan lembut dari kursi di seberang meja, tempat mereka berdiskusi serius malam itu. Suara ayah berpihak  mengiyakan kekecewaan Ibu .

 Ayah mencoba menenangkan ibu dengan mengelus tangannya dan menggenggamnya, namum ibu menarik tangannya dari genggaman ayah. Tangan itu  dipakai menutupi wajahnya dari rasa kecewa yang dirasakan.

“Mau jadi apa dia jika tidak bisa membaca” kata ibu meyempurnakan kekecewaannya.

Diskusi itu tentang  saya yang ketahuan tidak bisa membaca atau buta huruf.  Ibu yang menemukan hal itu. Saya  baru saja naik kelas III SD  dengan prestasi rangking 1. Ibu merasa terkecoh dan ayah tak habis pikir.

Menurutku ada 3 hal yang menjadikan itu terjadi.

  1. Guru kelasku salah menilai. Saya  kena hallo effect sebab  semua kakak saya orang-orang yang sangat cerdas. Terkenal di kampung bahwa kami keluarga orang-orang cerdas. Guruku  berpikir bahwa saya secerdas saudaraku.
  2. Kelas 1 dan kelas 2 diajar oleh satu orang guru yang sama. Anak kelas 1 masuk belajar sampai pukul 10.00, sesudah itu anak kelas 2 masuk belajar sampai pkl 12.30.sehingga kesalahan itu berjalan dalam waktu 2 tahun tanpa ketahuan.
  3. Cara   guru mengajar membaca,  saya hanya diminta membaca satu kata yang diulang-ulang dari buku gemar membaca yang isinya.

Ini Amir… Ini Tuti ….Ini Sudin…. Ini Ayah … Ini Ibu….  ini Bibi …  ini Paman …  Ini Adik ..  dan seterusnya.

Karena gampangnya, saya menghafalnya  tanpa mengenal hurufnya, ibarat orang menyanyi,  demikian mudahnya untuk diingat.  Ternyata itulah yang dinamakan buta huruf.

Awalnya saya melakukan dengan happy saja. Naik kelas III SD ketika harus membaca banyak dan berlembar-lembar, maka ketahuan rahasia ini.

Saya melihat cara ayah dan ibu berdiskusi memberi kesan duniaku runtuh. Saya merasa   buruk, reaksi ibu yang berlebihan  dengan ketidak tahuanku membaca  membuat saya ketakutan.

Saya tidak tahu membedakan apa ibu cemas karena  saya tidak bisa membaca atau malu punya anak yang tidak bisa  membaca.

Saya tertekan sekali sehingga saya  mendengarkan  kerasnya detak jantungku yang berpacu. Merasakan getirnya air ludah yang saya telan. Rasanya ingin sekali menyudahinya dengan cepat.

Sambil duduk ayah memanggil, bergegas saya menghampiri “biar cepat selesai” bisikku menyemangati diri sendiri. Sangat tidak nyaman tertekan dengan waktu yang lama, bisa membuat frustasi.

Ayah meminta saya berdiri tepat  di depannya. Tangan ayah yang kokoh merangkul kedua bahuku, kami saling berhadapan dan tatap menatap.

Ayah mulai bertanya:

“Coba katakan ada berapa orang di kelasmu?” tanya ayah menatapku dengan sorot bersahabat dan penuh kasih sayang.

“43 orang”  cepat saya jawab, takut kelihatan bodoh. Memang saya tidak tahu membaca namun  saya pandai menghitung.

“Berapa orang yang pandai membaca?”  ayah semakin serius.

“Semua pandai membaca kecuali saya”  jawabku getir dan semakin cemas. Tapi itu mesti saya katakan dengan jujur.

“Coba katakan ada berapa orang yang seperti kamu” saya diam tak tahu arah pertanyaannya.

“Ada berapa orang yang pandai menghafal seperti kamu?” tanya ayah berulang dengan suara dan mimik yang lain.

“Cuma ada 1 orang”  jawabku.

“Cuma ada saya yang seperti itu” tergagap saya mengakuinya, takut ayah tidak mendengar suara saya.

Respons ayah  benar-benar saya tak menyangkanya. Ayah spontan berdiri, memelukku  dengan kebahagiaan yang tulus  dan mengatakan dengan suara yang bangga.

“Luar biasa nak, betapa istimewanya kamu, cuma ada satu orang yang seperti kamu di kelas itu, pandai menghafal.” Ayah meneruskan dengan satu tarikan napas.

“Betapa bangganya saya memiliki anak seperti kamu,” kata ayah dengan keyakinan yang tak terbantahkan.

Nanar mata saya  menatap ayah, apa yang terjadi. Tak sanggup kewarasanku mencerna respons ayah yang berbeda dengan apa yang saya harapkan.

“Benarkah itu???” Ayah lebih bangga menerima saya pandai menghafal dibanding mempersoalkan saya yang buta huruf.

Saya menatap ayah dengan segenap jiwa raga yang saya miliki. Ayah benar bangga, diwajah ayah tak ada kebohongan yang tersirat. Sempurna kebanggaan itu.

“Tahukah kamu siapa yang terlemah di kelas?” saya kemudian mengangguk  cepat.

“Dapatkah kamu menyebutnya”

  “I Bacce” kataku,” Saya bukan yang terlemah karena saya pandai menghitung” keriangan mulai mengisi hatiku.

“Apakah dia pandai membaca” selidik ayah.

“Iya pandai membaca” jawabku lebih bersemangat.

“Itu artinya membaca itu gampang nak, orang terlemah di kelas pun mampu melakukannya”.

“Coba lihat dirimu nak betapa istimewamu. Menghafal  yang susah dapat kamu lakukan dengan sangat baik”.

Kamu orang yang sangat istimewa, cuma ada kamu yang seperti itu.

“Mari saya temani kamu supaya dapat membaca, jika mengikuti cara saya, pasti bisa, membaca itu sangat mudah” ayah melanjutkan.

“Semua pekerjaan ada rahasianya” kata ayah memberi jaminan dan menutup percakapan malam itu.

Cara ayah melakukan diskusi dan cara ayah menghargaiku membuat saya merasa menjadi orang yang benar-benar istimewa.

Ketika diskusi itu selesai, rasanya semua oksigen yang beredar di udara masuk mengisi paru-paruku. Dadaku membusung dengan sempurna, wajahku memerah senang dan kepalaku tegak tanpa tekukan.

Tidak tahu membaca bukan masalah buatku, duniaku tidak runtuh. Ayah mampu mencarikan solusi.

“Saya merasa sangat terhormat”.

“Saya ternyata anak yang istimewa”.

“Ayah Bangga memiliki aku”.

Saya ulang kata-kata ayah sebanyak-banyaknya. Saya perlukan itu untuk menyemangati diriku.  Saya anak yang istimewa, ayahku bangga memiliki saya.  Kata-kata itu mengalir di setiap pembuluh darahku, membakar semangat dan potensi terbaikku, berdebar di dadaku, mengisi otak dan jantungku. Bergemuruh di seluruh tubuhku, degup jantungku memompakan keistimewaan yang saya miliki.

Semangat itulah yang membuat saya mampu mengatasi ketidakmampuan.  Membaca hanya dalam 1 minggu dan ceritera baiknya tak ada yang sadar bahwa saya pernah buta huruf, guru saya sekalipun. Ini menjadi rahasia keluarga kami.

Label istimewa yang diberikan ayah membuat saya tak terbendung berprestasi  di sekolah dan menjadi benar-benar istimewa di setiap jenjang. Tak ada yang menyangka, bahwa mengganti kata buta huruf dengan pandai menghafal  oleh ayah  memiliki daya dorong yang tinggi, membuat saya lepas dan bergerak menembus belenggu ketidak mampuan.

Dorongan kata istimewa mulai saat itu saya pakai menyemangati diriku. Kata-kata yang ayah suntikkan menjadi sugesti sempurna untuk menjadi benar-benar istimewa. Tak ada yang menyangka bahwa  doktor pertama dalam keluarga saya diberikan oleh anak yang punya riwayat buta huruf.

Betapa bahagianya ketika ayah dan ibu hadir pada acara  promosi doktor. Dalam ujian promosi terbuka Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, senyum lebar saya berkembang, ketika ayah dan ibu   membisikkan kata

“Betapa berbahagianya”.

“Hari ini saya melihat keberhasilan anak  buta huruf saya  jadi doktor dengan predikat cumlaude”.

“Luar biasa nak caramu membahagiakan saya”.

“Saya bangga sekali”.

“Saudaramu yang lain memang sangat pintar, namun kamu memiliki kebanggaan bahwa kehormatan doktor pertama itu ada pada kamu yang mereka anggap terlemah dari mereka”.

“Bersyukurlah nak dengan keistimewaan yang Allah  berikan padamu”.

Ayahku memelukku seperti yang selalu beliau lakukan jika saya membuatnya bangga, saya rasakan betapa hangatnya pelukan ayah hari itu. Saya merasakan tangan ayah yang memelukku bergetar akibat mendalamnya rasa bahagia ayah.

Haru saya menerima ucapan ayah, tak saya sadari air mata kebahagiaan itu menetes di wajah saya. Terima kasih ayah. Pandainya dikau mendidikku. Saya tak bisa bayangkan jika ketika itu diskusi kita tidak seperti itu, tentu hasilnya tidak seperti ini.

Mengganti kata buta huruf dengan kata pandai menghafal membuatku benar-benar jadi istimewa.  Hanya seorang ayah  visionerlah yang mampu melakukannya, aku jadi hebat dan benar-benar istimewa saat itu menjadi alumni terbaik universitas. Ayahku memang hebat, sehingga tak heran aku jadi istimewa. Nikmat Allah yang tak henti saya syukuri.

Aku mencintaimu Ayah dengan segenap jiwa dan ragaku.

Makassar 2021




One Comment

  1. March 25, 2024 at 2:09 pm

    Jamar Segerman

    Reply

    great article

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree