June 29, 2021 in Catatan Harianku, Uncategorized

Ayah, Mengapa Aku Tidak Dilahirkan Cantik ?

Ayah,

Mengapa  Aku Tidak Dilahirkan Cantik?

Oleh Telly D

Saya duduk di kelas V SD ketika kejadian ini terjadi. Saya  meraut pensil,  guru masuk kelas  dengan tergesa-gesa. Pelajaran  segera akan di mulai. Saya ikut tergesa-gesa memasukkan pensil itu ke dalam kotak pensil.

Gerakan tergesa-gesa itu membuat pensil saya terjatuh dan menggelinding jauh masuk ke bawah bangku teman yang duduk di belakang.

Mata Saya mengikuti arah jatuhnya pensil. Saya melihat pensil berhenti bergulir tepat di dekat kaki teman laki-laki yang duduk  di belakang.

Saya lega, pensil  aman, pelajaran dimulai. Saya hanya mampu memberi isyarat pada teman untuk menendang pensil keluar.

“Pensil saya ada di bawah kakimu” kataku pada teman lelaki yang pensilku ada di dekat kakinya.

“Minta tolong ditendangkan”.

“Saya tidak bisa mengambilnya”.

“Pendek jangkauan tangan saya”, saya mengirim  isyarat berurut-turut.

Teman menatap saya, tanpa ekpresi. Saya menerima kesan tidak ada keinginan untuk menolong. Saya mengulang kembali,

“itu pensil saya ada di dekat kakimu” kataku sambil menunjuk ke bawah meja.

“Tendang sedikit supaya bisa keluar dari bawah meja”.

Tidak perlu melakukan banyak hal. Saya hanya minta sedikit dia bergerak menendang ke luar.

Saya melihat dia tidak mau melakukannya. Mau  ikut melihat  ke arah pensil yang saya tunjuk saja, tidak mau dia lakukan. Apa yang salah, saya mengirim bahasa dan isyarat yang cukup jelas.

Inilah pertama kali, saya menerima penolakan. Saya punya pengalaman baru, bahwa orang boleh  tidak patuh pada keinginan saya.

Di rumah jumlah pelayan  lebih banyak  dari jumlah orang yang dilayani.  Ibu menyediakan “Sida” yang punya tugas khusus melayani semua kebutuhanku.

Saya mesti lakukan sendiri, menyurup ke bawah meja. Saya  merangkak dan  bergeser di bawah bangku. Lantai yang berdebu membuat  lengan baju saya kotor.

Saya mengangkat pensil  tinggi-tinggi. Saya mempertontonkan pada teman laki-laki itu bahwa saya mampu selesaikan sendiri tanpa pertolongannya.

Namun apa yang terjadi. Di waktu bersamaan teman wanita yang duduk sebangku dengan saya juga mengalami hal yang sama, pensilnya menggelinding jatuh ke lantai.

Saya melihat betapa sigap dan tangkasnya teman laki-laki  itu mengupayakan mengambil pensil  dan menyerahkan pada teman sebangku saya.

Tidak memerlukan waktu yang lama. Tidak menunggu permintaan tolong, spontan  dia menyodorkan diri menolongnya dengan semua ketulusan yang dia miliki. Gentelman benar lagaknya.

Cara dia menyerahkan pensil, dilakukan dengan penuh rasa hormat. Saya melihat betapa bahagia dia mampu mendapat kesempatan melakukan hal ini.

“Apa yang salah dengan saya”, bisikku tertahan.  

“Mengapa dengan saya tak mau menolong?  Teman wanita yang lain spontan tanpa diminta dia mau menolong?”

Konsentrasi belajar saya terganggu. Hari itu saya gagal fokus. Apa yang beda? kata itu berulang-ulang memenuhi pikiranku.

Saya tidak suka kondisi ini.  Saya serius mengamati teman wanita sebangku itu sepanjang hari.

Ternyata teman wanita itu memiliki kecantikan alami.  Wajahnya oval dengan lesung pipit di kedua pipinya. Pipinya kemerahan putih  dan halus  bak marmer.

Matanya menarik, bulat berwarna hitam, keningnya tebal berwarna hitam dengan bentuk yang teratur melengkung sempurna di atas bulu mata lebat yang melentik ke atas.

Bibirnya tipis kemerahan. Jika bibir itu berbicara atau tersenyum menampakkan gigi-gigi yang putih teratur.  Rambut yang hitam ikal dengan keriting-keriting kecil terplintir-plintir di atas dahi dan tepi-tepi wajahnya.  Layak jadi pemeran Sinta dalam cerita Ramayana.

Selama ini si Sinta tak pernah jadi perhatian, apalagi jadi gangguan pikiran tapi kejadian hari ini membuat saya mengamati Sinta dengan semua pengamatan terbaik.

Rasa penasaran  ingin mengetahui apa yang jadi daya tariknya.

Ketika waktu istirahat dimulai, teman laki-laki sudah berkerumun di sekitarnya. Ibarat makanan manis yang dikerumuni semut.

Telingaku menguping pembicaraannya, tak ada yang istimewa ceritera-ceritanya biasa saja tapi para lelaki kecil itu mau-mau saja tertawa, melayaninya dengan tertawa-tawa yang dibuat-buat supaya Sinta mau ikut tertawa.

Rasanya saya lebih pandai dan hebat berceritera daripada si Sinta itu.

Saya baru sadar betapa menariknya melihat Sinta jika berjalan. Rambutnya yang diikat bergoyang-goyang mengikuti langkahnya. Senyumnya menebar kemana-mana, dia memiliki banyak penggemar.

Magnit daya tariknya luar biasa. Sinta  berjalan banyak pengiring yang ikut bak rombongan topeng monyet yang akan pementasan.

Kaum lelaki ternyata dari kecil memiliki kemahiran alami untuk menyenangkan wanita, dan Sinta  sangat  piawai menggunakan  daya pikat wanitanya.

Lelaki play boy kecil itu mau melakukan apa saja supaya terlihat  berharga. Untuk menerima senyum Sinta, sesungguhnya dia telah menggadaikan harga dirinya.

Pandanganku mengikuti Sinta berjalan menuju penjual pisang goreng dan ubi goreng yang dijual di halaman sekolah, dimana anak-anak mesti antri menunggu giliran dilayani sebab jajanan itu masih digoreng.

Sebenarnya antrian Sinta masih lama, namun dia sudah memegang jajanan yang diinginkan karena adanya lelaki yang mau memberikan haknya pada Sinta dengan penuh rasa hormat.

Saya melihat Sinta masuk menggabung dengan teman-teman wanita bermain lompat karet. Sekilas saya melihat kemampuan bermainnya di bawah kemampuan yang saya miliki, namun penggemarnya berulang-ulang menyemangati Sinta bahwa permainannya bagus.

Dongkol saya melihatnya. Merah mata saya, terasa getir ketika air ludah saya telan. Saya iri dan terbakar dengan api kecemburuan. Suara gemuruh dadaku menghempas keras. Saya merasa jadi pecundang.

Saya jadi tahu dan menyerap bahwa perbedaannya adalah  Sinta memiliki kecantikan yang saya tidak miliki.

Menjadi cantik atau terlihat cantik dan menawan tentu jadi dambaan setiap orang, namun hidup dalam lingkungan keluargaku daya tarik kecantikan bukan hal menarik untuk didiskusikan khusus.

Tidak ada pembinaan yang  dikhususkan membuat saya pandai berdandan supaya kelihatan menarik, apalagi membuat kaum lelaki  terpesona atau terpikat pada kami. Ayah dan ibu tak fokus pada hal ini.

Kejadian hari itu memaksa saya untuk menghargai betapa berharganya yang namanya daya tarik wanita.

Menemukan diri saya tidak secantik si Sinta membuat saya terbakar amarah. Saya termarginalkan karena urusan kecantikan.  Berkobar kemarahan saya. Harus ada orang yang bertanggung jawab. Saya  menetapkan penanggung gugatnya adalah ayah.

Pulang dari sekolah, saya pergi mencari ayah di sekolahnya, namun ayah tidak ada, ada rapat di kantor bupati yang mesti ayah hadiri. Saya pulang tergesa-gesa, saya mesti secepatnya bertemu ayah untuk meledakkan kemarahan.

Tiba di rumah juga tak bisa langsung meledakkan kemarahan. Kami harus makan bersama di meja makan. Saya takut jadi bahan tertawaan jika saya bicarakan secara terbuka dan didengar oleh saudara yang lain.

“Ayah, mengapa aku tidak dilahirkan cantik“, bisikku di telinga ayah ketika kesempatan itu ada. Perutku yang kenyang ternyata mampu menurunkan amarah yang berkobar.

Saya kecilkan suaraku, takut ada yang mendengarnya. Ayah meminta saya mengulangnya.

“Kenapa nak, katakan kembali”, sambil menarik hidungku. Ayah punya kebiasaan jika bercanda denganku pasti menarik hidungku yang kecil.

Saya menghindar tidak melayani, bahkan saya menolak tangannya dengan kasar supaya ayah tahu betapa seriusnya saya.

Saya mengulang membisik, dengan menggunakan tangan untuk menutup mulut dan telinga ayah. Maksudnya supaya suara saya tidak kemana-mana.

“Ayah mengapa saya tidak dilahirkan cantik” kataku dengan bisikan sengit.

Begitu ayah meyimak apa yang saya bisikan dengan serius, ayah  memandang wajah saya. Beberapa saat kami bertatap muka. Ayah seperti mengukur kedalaman bisikan saya.

“Apa yang terjadi, katakan“, bisik ayah sambil memegang kedua tangan saya, sehingga jarak kami semakin rapat. Ayah mulai bisa diajak serius.

“Tidak adil perlakuan yang saya terima, hanya karena saya tidak cantik”….. suara ini ingin kuteriakkan membelah bumi.

Saya  menceriterakan kepada ayah kejadian yang terjadi di sekolah dengan penuh nafsu kemarahan bercampur kekecewaan…..sangat terburu-buru.  Saya detailkan  takut ada yang  terlewatkan…….tersengal-sengal napas saya ketika mengakhiri ceritera itu dengan mengatakan ….

“Ayah, Sinta berjalan seperti puteri-puteri dan ada saya di sampingnya seperti bebek yang buruk rupa” ….sengit sekali ketidak setaraan itu sengaja saya gambarkan supaya ayah memahami apa yang saya rasakan.

“Ohhh kau melakukan kesalahan nak“, kata ayahku dengan sangat tenang. Ayah menghembuskan napas lega.

“Saya pikir ada apa?” Ketenangan ayahku membuat kewarasanku kembali. Syarafku mengendor ibarat api yang diguyur air es.

“ Apa yang salah”… beralih rasa penasaranku.

“Kau cuma tidak tahu daya tarikmu di mana” ayah meyakinkan saya.

“Yang kau katakan tadi itu daya tarik fisik namanya”, sambungnya.

“Tidak semua orang tertarik dengan daya tarik fisik, daya tarik fisik adalah daya tarik yang paling rendah levelnya”, ayah menyambung pembicaraannya. Cara ayahku mendiskusikan hal ini sederhana, bukan hal luar biasa.

“Mau tahu daya tarikmu di mana?”.

“Sini…Sini…..saya bisikkan”, kata ayah dengan penuh kelembutan.

Saya meyodorkan telinga dengan semua badan, ingin sekali saya mengetahui rahasia daya tarik dan pesona terbaikku seperti apa.

“Daya tarikmu ada pada kecerdasanmu”. Bisik ayah dengan mantap, kemudian ayah mengulang dengan keyakinan penuh yang tak terbantahkan.

“Di sini daya tarikmu”, ayah menunjuk dahi saya dengan jari telunjuknya pada “kecerdasanmu” ulangnya lagi dengan mantap.

“Semua rahasia terbesarmu, ayah  yang mengetahui nak”.

“Kamu itu anakku, dan ketika kamu mau dilahirkan itu permintaan saya pada sang Maha kuasa”.

“Berilah saya anak yang cerdas”.

“Ayahmu ini adalah laki-laki yang lebih tertarik pada wanita cerdas dibandingkan pada wanita cantik”.

“Kau akan jadi wanita cerdas seperti doa ayah, Percaya itu”.

Ketika pembicaraan itu berlangsung sesungguhnya saya tidak yakin dengan daya tarik kecerdasan yang saya miliki, namun cara ayah meyakinkan saya sehingga saya terpesona dengan apa yang ayah katakan. Saya percaya begitu saja hal ini.

Kata-kata ayah bahwa saya anak cerdas memberi sugesti kepada saya untuk mengembalikan kepercayaan diriku, mengembalikkan rasa bangga memiliki diriku yang sepanjang hari menguap entah kemana. Saya kembali bisa bahagia dan tersenyum.

Ayah tak mengetahui bahwa dampak dari percakapan itu membuat saya sangat percaya bahwa kecerdasanlah yang menjadi daya tarik utamaku. Itu yang membuat saya terus-menerus mau belajar dan belajar untuk menjaga dan memelihara daya tarik itu.

Keesokan harinya, saya sudah ke sekolah dengan semangat yang lain. Melihat tingkah laku si Sinta dan para penggemarnya saya sudah bisa tersenyum. Saya tidak terganggu lagi. 

Saya sudah mampu meyakinkan diri bahwa itu dunia Sinta dan itu bukan dunia saya, biarlah dia berbahagia dengan apa yang dia miliki.

Pandainya ayahku membuang rasa cemburu, iri,  dan sakit hati yang kemarin bersemai di hatiku. Ayahku telah mencabutnya dan menggantikan dengan rasa saling memahami.

Saya  bisa menikmati berkumpul dan bersenda gurau dengan teman-teman kembali. Saya menikmati kelucuan-kelucuan yang ditebar.

Diskusi dengan ayah juga mengajariku makna perbedaan dan menghargainya. Saya  mampu memahami bahwa masing-masing orang memiliki perbedaan dan potensi yang berbeda dan itu mesti dihargai karena kodrat pemberian Allah.

Diskusi itu juga  menjadi dasar memahami perbedaan yang ada di kelas. Perbedaan kaya dan miskin, pandai dan bodoh, nakal dan patuh, rajin dan pemalas sehingga ke depannya saya tidak termasuk anak yang ngotot hanya untuk hal-hal yang berbeda.

Kata ayahku, jika ada perbedaan maka hal yang mesti saya lakukan adalah lihat apa yang bisa dicocokkan dengan perbedaan yang ada, dan aturan  awalnya adalah kesediaan untuk menerima dan kemauan untuk memahaminya.

Si Sinta tetap jadi kawanku bersama para penggemarnya, sekalipun kami sangat berbeda dalam hal karakter dan fisik. Indahnya masa kecilku  karenamu ayah.

Cara ayah menyelesaikan hal ini, saya kenang terus, sampai sekarang.  Menurutku itu adalah diskusi yang krusial buatku, sebab jika  salah penanganan, saya bisa terus membawa ketidak mampuan menjembatani perbedaan yang ada sampai dewasa. Saya bisa kehilangan sikap positif terhadap diri saya.

Makassar 2021




One Comment

  1. December 2, 2023 at 2:01 am

    Florentina Winarti

    Reply

    Ceritanya bagus sekali Bunda Telly, menarik, dan sbgai pembelajaran yg berharga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree