Menulis Masa Kecil
Bagaimana Cara Saya Dilatih Menulis
Oleh Telly D
Ayah dan ibuku seorang guru yang dalam perjalanan hidupnya menjadi kepala sekolah sebelum meningkat ke karir yang lain. Paham persis bahwa rumah adalah madrasah utama dan pertama. Ambisi itulah yang membuat rumahku lebih bersuasana sekolah daripada sekolahku yang sebenarnya.
Semua kegiatan dijadikan proses pendidikan. Punya tata tertib yang mesti dipenuhi, punya target-target yang mesti dicapai bahkan saya yakin punya program dan kurikulum sendiri yang dijaga ketat dengan semangat yang sama setiap hari.
Semua orang yang mengenal ibuku, pasti sepakat mengatakan bahwa ibuku motivator ulung. Kebetulan sekali ibuku guru Ilmu Hayat dan juga mengajar Bahasa Indonesia sehingga tak heran jika dia menjadi tokoh sentral yang mempromosi hidup sehat dan pentingnya kemampuan membaca, menyimak, dan menulis untuk dilatihkan di dalam rumah.
Membaca adalah jendela ilmu. Ada ungkapan bahwa anak mesti dibiasakan membaca, bahkan ada anjuran untuk membiasakan anak jika memberi hadiah dengan memberi buku. Namun menurut ibu, membaca, apalagi jika hanya memberi buku hal yang biasa saja, tidak ada nilai lebihnya, semua orang dapat lakukan hal itu, apa susahnya?
Mari kita lakukan yang istimewa. Istimewa jika bisa menulis sebab tidak semua orang bisa menulis. Orang tidak bisa menulis jika tidak membaca, tidak bisa menulis jika tidak tahu berbicara atau berkomunkasi karena menulis adalah puncak dari kemampuan berbahasa.
Jika ingin berlatih menulis, maka berlatih berbicara dulu. Menulis dan berbicara sama-sama berkomunikasi yang membedakan satu pakai bunyi dan suara, dan yang satu pakai tulisan atau simbol. Kalimat itu merupakan provokasi yang ibu gunakan untuk membakar semangat kami berlatih menulis.
Caranya mudah saja, kami punya jadwal belajar bersama di meja makan setelah makan malam. Ruang makan berubah suasananya menjadi ruang belajar. Jika belajar selesai maka kami mulai berlatih berpidato atau berbicara di depan umum. Ibu punya panggung kecil tempat kami naik berpidato.
Awalnya ayah dan ibu yang memberi contoh berbicara di panggung itu. Kemudian ketika keberanian saya dan saudara-saudara mulai tumbuh, maka kami bergiliran naik berpidato, ditonton oleh semua warga rumah.
Macam-macam yang kami sampaikan, apa yang kami rasa, dan kami pikirkan, juga dengan cara yang bermacam-macam. Sah-sah saja bahkan kami menerima tepuk tangan, siulan, atau teriakan konyol, jika cerita kami menarik perhatian, heboh sekali. Ledakan tertawa kami yang berderai dan tergelak-gelak mengisi ruang makan itu.
Setelah kami mahir berbicara mengeluarkan apa yang kami rasa dan pikir, ibu mulai memberi buku katanya supaya jangan ngomong kosong. Baca buku dulu baru ngomong. Orang jika berbicara tanpa membaca buku maka tidak berilmu namanya.
Ini beberapa buku tentang guru, ada yang mau berpidato tentang guru, supaya tidak salah baca buku dulu.
Ibu buku tentang sahabat sejati…. Ada yang bermasalah persahabatan dan seterusnya.
Mulailah kami berorasi dengan memadu hasil bacaan dan fakta lapangan yang memicu kami….. kami berlatih setiap malam …
Setelah ibu kami merasa cukup barulah kami diminta menulis apa yang kami orasikan…… tulis kembali apa yang kamu katakan…bujuknya, sambil memberi pensil dan kertas.
Kami kesulitan karena kecepatan berbicara tidak secepat menulis. Kami juga kesulitan mengurut tulisan, menulis apa yang dahulu dan apa yang kemudian. Di situlah ibu kami berperan membantu kami.
Kadang ibu katakan pilihannya mau menulis mendalam atau meluas. Mau menulis pakai hati atau memadu hati dan pikiran.
Paling seru jika kami berlatih di alam bebas bersama ibu.
Lihat matahari yang terbit coba bunyikan (maksudnya ceritakan).
Bergantianlah kami komentari. Saya mulai mengatakan,
Matahari merangkak meninggalkan peraduannya. (hidupkan kata ibuku).
Masih pagi-pagi sekali dia sudah memulai tugas panjangnya menyinari bumi. (tahan semangatnya).
Lukisan warna orange di langit mengisyaratkan kehadirannya (teruskan bisiknya).
Bias sinarnya menyentuh daun, permukaan daun berpendar keperak-perakan menyentuh embun yang bergantung di ujung daun membuat embun memantulkan cahaya pelangi yang indah. (buat kontras kata ibu).
Namun cahaya matahari tak mampu menyentuh hatiku karena di situ ada
luka yang mengaga yang entah kapan sembuhnya.
Ada dendam yang menunggu untuk diledakkan,
dan ada pertanyaan yang tak pernah terjawab
jika sudah begitu kami menutupnya dengan tertawa berderai-derai, dan ibu selalu memeluk kami sebagai isyarat bahwa ibu senang melihat kami bersemangat.
Tulisan kami dipajang di papan ruang makan, setiap hari kami dengan bangga menempel hasil tulisan kami sambil meneriakkan bahwa kami istimewa hari itu.
Semua bergulir alami saja, kemudian kami diajar menulis buku harian. Akhirnya kami tiba pada tradisi selalu memberi hadiah dengan tulisan dan pemikiran-pemikiran kami. Oleh-oleh jika ke LN atau perjalanan ke daerah adalah tulisan tentang perjalanan, hadiah ulang tahun saya pada ibu, ayah dan keluarga adalah buku tulisan tentang dia. Hadiah perkawinan anak-anak saya juga tulisan tentang dia dan harapan-harapan saya.
Sejak itu kemampuan menulis, saya pakai membahagiakan keluarga. Setiap pagi saya selalu mengirim tulisan sapaan selamat pagi meneruskan tradisi pengasuhan masa kecil.
Saya juga tidak peduli apa tulisan saya berkualitas atau bahasanya belepotan, yang saya peduli adalah saya mesti menulis karena menulis membuat saya istimewa. Saya juga tidak peduli orang suka tulisan saya atau tidak karena menulis membuat saya bersenang-senang.
Kadang suami dan anakku jika menemukan tulisan saya bagus mengeditnya dan mengirim ke koran atau majalah yang bersesuaian. Saya melihat tulisan itu dimuat tanpa revisi.
Saya hanya menghadiahkan orang buku yang berisi tulisan saya. Saya belum pernah menjual buku. Saya cuma mencetaknya dan membagikan kepada kerabat dekat untuk membahagiakannya.
Menulis hal ini jadi mengenang almarhumah ibu. Beberapa bulan lagi kami akan duduk bersama berdoa 8 tahun meninggalnya beliau. Beberapa tulisan sudah saya siapkan untuk jadi buku 8 tahun kepergiannya. Alfatihah untuk almarhumah ibuku.
Semoga dia mengetahui bahwa saya bersyukur memiliki orang tua seorang guru. Saya tidak perlu susah mencari teladan, teladan itu ada di samping saya dan menemani saya bertumbuh dan berkembang.
Maha besar Engkau ya Allah
Tak berlebihan jika saya memohon rahmat syorgaMu untuk ibuku.
Makassar 29 Mei 2021
Ditulis atas permintaan pak Khoiri,
March 25, 2024 at 12:44 pm
Elliott Chough
Insightful piece