DI BAWAH LANGIT MUZDALIFAH

Pentigraf
DI BAWAH LANGIT MUZDALIFAH
Oleh: Telly D.
Karim duduk bersandar pada batu besar, kedua kakinya membengkak, matanya memandangi langit malam yang tak jemu berubah. Di sekelilingnya, ratusan jemaah berselimut sajadah tipis, merebahkan tubuh mereka di atas tanah kerikil seperti jasad menunggu giliran. Bau keringat, desahan lelah, dan ayat-ayat yang tersisa bersatu dalam udara yang dingin dan embun yang basah. Karim menggenggam tas kecil berisi batu-batu kerikil untuk melempar jumrah, tapi tak ada lagi tenaga tersisa untuk menghitung ulang.
Ia berangkat haji bukan karena cukup harta, tapi karena menolak mati sebelum menggugurkan rukun. Istrinya sudah mendahului lima tahun lalu. Sejak itu, Karim menabung dari sisa pensiunan guru dan upah memperbaiki payung tetangga. Ia tak pandai mengeluh, bahkan saat bus yang dijanjikan tak datang dan ia harus berjalan lebih dari lima kilometer tanpa penjelasan. Ujian kesabaran, ucapan pembimbing terdengar tapi dada Karim makin sesak, bukan karena marah, karena ia tahu, kesabaran ini mulai terasa seperti kewajiban yang dipaksa.
Malam itu, di bawah langit yang kosong dan diam, Karim menatap batu-batu kecil di tangannya, lalu berbisik: “Tuhan, kali ini izinkan aku melempar bukan hanya setan tapi juga rasa takutku bersuara.”
Makassar, Mei 2025
Leave a Reply