Balla Lompoa

Balla Lompoa
Oleh: Telly D.
Nadhira,
Hari itu, kita melangkah bersama di pelataran luas yang berdebu halus di depan Balla Lompoa, Rumah Besar kebanggaan tanah Gowa. Matahari siang memercikkan cahayanya di atas atap-atap kayu tua, membuat seluruh bangunan seakan berkilau perlahan seperti emas yang tersimpan dalam waktu.
Kamu menggenggam tangan nenek Puang Ina erat, langkahmu kecil tapi semangatmu besar. Kita menaiki tangga kayu lebar, tangga yang dulu diinjak oleh raja-raja Gowa saat menerima tamu dan utusan dari jauh. Rumah ini, lambang kejayaan, keteguhan, dan kebijaksanaan orang-orang yang hidup sebelum kita. “Balla” berarti rumah, dan “Lompoa” berarti besar, bukan hanya besar bentuknya, tapi juga besar nilainya.
Di dalam rumah panggung itu, nenek Puang Ina bercerita padamu. Bahwa dulu, di ruangan luas ini, para raja bermusyawarah, membuat keputusan besar untuk rakyat mereka. Kita melihat ruang tahta, dimana mahkota emas dan keris pusaka diletakkan dalam kotak kaca, dijaga seperti menjaga pelita yang tak boleh padam. Nenek menunjuk baju zirah yang menghitam oleh usia, tombak-tombak panjang yang kini diam, namun dulu bicara lantang dalam medan perang.
Nenek menjelaskan padamu, sambil sesekali mengusap rambutmu yang halus, bahwa Balla Lompoa masih hidup hingga kini. Ia menjadi tempat diselenggarakannya upacara adat, penobatan raja baru, festival budaya, dan musyawarah adat. Setiap kali rakyat Gowa ingin menghidupkan kembali jalinan adat dan warisan mereka, mereka berkumpul di sini, di rumah ini, yang seperti dada seorang ibu, terbuka luas untuk semua anak-anaknya.

Nadhira dan Nenek Puang Ina di Depan Balla Lompoa. Foto: Dokumen Pribadi
Kita menelusuri lorong kayu, melihat tiang-tiang besar dari kayu ulin yang menahan seluruh bangunan seperti tulang punggung seekor kerbau, kuat, sabar, dan setia. Nenek Puang Ina memberitahumu tentang betapa pentingnya menjaga warisan; bahwa bangunan ini tidak dibangun dengan tergesa, melainkan dengan cinta, perhitungan, dan doa.
Dari jendela-jendela kecil yang terbuka, angin bertiup membawa aroma kayu tua, mengirimkan cerita-cerita yang tak tertulis. Nenek menunjuk ke arah ruang penyimpanan dokumen tua, mengatakan bahwa dari sinilah raja-raja mengirimkan perjanjian ke kerajaan lain, membangun diplomasi dengan akal, bukan sekadar pedang.

Nadhira Menyimak Cerita Tentang Balla Lompoa. Foto: Dokumen Pribadi
Di halaman belakang, kita duduk di bangku kayu menghadap taman kecil. Di sekeliling kita, dinding Balla Lompoa berdiri seperti tangan-tangan tua yang memeluk kita dengan kasih sayang. Nenek pandangi wajah kecilmu yang polos, lalu berkata dalam hati, inilah saat di mana benih semangat harus kutanamkan.
Cucuku, kelak saat kamu tumbuh besar, ingatlah bahwa besar bukan berarti tinggi badan atau banyak harta. Besar itu adalah ketika hatimu lapang seperti rumah ini, ketika tekadmu kokoh seperti tiang kayu ulin yang menahan badai, ketika pikiranmu luas seperti atap Balla Lompoa yang merangkul banyak orang.
Kamu adalah pewaris dari darah yang mengalir dari pejuang-pejuang berani, orang-orang yang mengutamakan kehormatan, adat, dan kebijaksanaan di atas segalanya.
“Nadhira, jadilah rumah bagi sesamamu tempat orang bisa berlindung, belajar, dan percaya.”
Saat kita meninggalkan Balla Lompoa sore itu, nenek tahu mungkin kamu belum sepenuhnya memahami cerita-cerita ini. Tapi dalam langkah kecilmu yang melintasi rumah besar itu, nenek yakin satu hal; benih yang ditanam dengan cinta, akan tumbuh pada waktunya, seiring dengan bertambahnya akal dan hatimu.
Makassar, 26 April 2025
April 30, 2025 at 10:40 pm
Janet2311
Good https://is.gd/N1ikS2
April 30, 2025 at 6:06 am
Zane1194
Very good https://is.gd/N1ikS2
April 29, 2025 at 12:07 am
Elizabeth3743
Awesome https://is.gd/N1ikS2
April 28, 2025 at 7:04 pm
Brenda4377
Very good https://is.gd/N1ikS2
April 28, 2025 at 4:52 am
Leonardo4670
Awesome https://rb.gy/4gq2o4