Masjid 99 Kubah

Masjid 99 Kubah
Oleh: Telly D.
Sore itu, Nadhira dan nenek Puang Ina melangkah bersama perlahan di halaman luas Masjid 99 Kubah. Kubah-kubah berwarna emas bergaris putih dan orange mencolok di bawah langit, seperti lentera-lentera kecil yang digantungkan di angkasa. Tanganmu yang mungil menggenggam erat jari nenek, mulai menunjuk dan mengagumi kubah yang banyak sekali dengan mata berbinar.
Nenek tersenyum. “Nadhira’’ kata nenek, membungkuk sedikit agar suara nenek dekat dengan telingamu, “setiap kubah ini mewakili satu nama indah Allah, Asmaul Husna. Ada 99 nama, dan setiap nama itu mengajarkan kita tentang kebaikan.”
Kamu mengangguk, seolah memetik makna itu satu per satu dari udara. Kita melangkah masuk melalui gerbang besar yang kokoh. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin dan bau tanah basah yang khas. Nenek memandumu ke tengah pelataran, menunjuk ke atas. “Lihatlah, arsitektur masjid ini seperti doa yang ditulis dengan bangunan. Tiang-tiangnya seperti tangan yang berdoa, dan kubah-kubah itu seperti bisikan para malaikat.”
Kamu menatap ke langit. Sekalipun kamu tak berkata-kata, terlihat bahwa kamu menikmati dan mengaguminya.”
Nenek tersenyum haru. “Allah suka hati yang bersih, Nak. Masjid ini dibangun untuk mengingatkan kita, agar hati kita selalu kembali kepada-Nya.”

Nadhira dan Nenek Puang Ina di Depan Tangga Masjid 99 Kubah. Foto: dokumen Pribadi
Kita berdua berjalan menyusuri lorong-lorong sejuk yang membelah bangunan. Di sepanjang dinding, cahaya sore memantulkan warna-warna hangat, seolah masjid ini sedang berbicara dalam bahasa cahaya. “Masjid ini dibangun untuk menjadi pelabuhan,” jelas nenek, “tempat orang yang letih bisa berlabuh, tempat orang yang hilang arah bisa menemukan jalan pulang.”
Kamu melonjak kecil, menirukan suara adzan yang terdengar dari kejauhan, suaramu nyaring seperti lonceng mungil. Nenek tertawa pelan, menahan air mata yang hampir tumpah bukan karena sedih, tapi karena bahagia melihat betapa cepat benih cinta pada masjid tumbuh dalam hatimu.
Kita berdua duduk di tangga kecil, menghadap ke arah lautan biru yang tenang. Nenek memandangmu, dan berkata pelan, “Nadhira, kelak kamu akan berkelana jauh. Dunia ini luas, kadang indah, kadang membuat bingung. Tapi jika kamu merasa hilang, carilah masjid. Carilah tempat di mana adzan terdengar, di mana sajadah dibentangkan, di mana nama Allah dipanggil. Di sana, kamu akan menemukan rumahmu.”

Nadhira Menikmati Suasana Laut dari Depan Masjid 99 Kubah. Foto: dokumen Pribadi
Kamu menatap nenek tidak sepenuhnya memahami, tapi nenek tahu kata-kata itu akan menemukan tempat di hatimu suatu hari nanti.
Nenek melanjutkan, “menjadi Muslim berarti membawa rahmat bagi siapa saja, seperti kubah-kubah ini yang menaungi semua yang datang. Jadilah cahaya, jadilah air di tengah dahaga, jadilah damai di tengah kegaduhan.”
Saat matahari semakin rendah, langit berubah warna menjadi jingga tua. Kubah-kubah di atas sana berubah menjadi siluet yang megah, seperti barisan doa yang siap terbang ke langit. Nenek menggenggam tanganmu lebih erat.
“Nak, jadilah seperti masjid ini,” bisik nenek, “kokoh dalam iman, indah dalam kebaikan, dan lapang dalam kasih sayang.”
Kita meninggalkan Masjid 99 Kubah dengan langkah kecilmu yang berlarian ringan menuju ke mobil yang diparkir, sementara dalam hati nenek mengerti bahwa sore itu, bukan hanya kenangan yang kita bawa pulang, tapi juga harapan. Harapan bahwa kelak, kamu akan selalu tahu ke mana harus pulang, kapanpun dan di manapun kamu berada.
Makassar, 27 April 2025
April 30, 2025 at 2:30 am
Kira3243
Awesome https://is.gd/N1ikS2
April 29, 2025 at 11:00 pm
Omar4417
Good https://is.gd/N1ikS2
April 27, 2025 at 11:09 pm
Alexia4536
Awesome https://rb.gy/4gq2o4