PELAJARAN HIDUP DARI MBOK YAH
PELAJARAN HIDUP DARI MBOK YAH
Oleh: Telly D.
“Pekerjaan kecil yang dikerjakan dengan hati akan menghasilkan keberkahan yang besar.”
Pagi baru saja menyapa Bekasi, ketika jalan-jalan kecil di kawasan perumahan Galaxy mulai bergeliat. Sepeda onthel dengan keranjang anyaman rotan di belakangnya meluncur perlahan di antara aspal yang masih basah oleh embun. Di atas sadelnya, duduk seorang wanita renta dengan senyum yang selalu siap ia bagikan kepada siapa saja yang ditemuinya. Mbok Yah, begitu ia dipanggil, adalah seorang tukang cuci yang telah menjadi legenda kecil di kompleks itu.
Mbok Yah tidak sekadar mencuci. Ia membawa lebih dari sekadar ember dan sabun. Ia membawa dedikasi, kejujuran, dan ilmu yang tak tertulis tentang seni mencuci. Setiap rumah yang ia datangi memiliki kisah dan kebutuhan yang berbeda, dan Mbok Yah selalu tahu bagaimana memenuhi semuanya.
Di rumah Bu Ani, ia mencuci baju-baju halus yang tak boleh disentuh air panas, mengenali tekstur kain seperti seorang seniman memahami kanvas. Di rumah Pak Dodi, ia memastikan seragam kerja yang penuh noda oli kembali bersih seolah baru keluar dari toko. Dan di rumah Ibu Lila, ia berhadapan dengan permintaan rumit—gaun pesta dengan renda tipis yang harus tetap harum tanpa satu pun serat yang berubah bentuk.
Mbok Yah paham betul, sabun mana yang harus ia gunakan untuk setiap jenis noda. Ia tahu air seperti apa yang cocok untuk kain tertentu, dan ia mengerti bahwa tak semua baju bisa dilipat dengan cara yang sama. Ketika tangannya menggenggam setrika, setiap lipatan yang ia buat terasa seperti karya seni rapi, tertata, dan sempurna. Ia menyelesaikan pekerjaannya dengan teliti, seolah ia tengah mempersembahkan sesuatu yang suci kepada pemiliknya.
Namun, pekerjaan Mbok Yah tidaklah mudah. Tubuhnya yang renta sering kali ditantang oleh tumpukan cucian yang seolah tak pernah habis. Uap panas dari setrika dan aroma sabun yang menyengat kerap membuatnya terbatuk, namun ia tidak pernah mengeluh. Bagi Mbok Yah, bekerja adalah ibadah. Setiap baju yang ia cuci adalah bentuk baktinya kepada hidup yang telah memberinya kesempatan untuk terus bermanfaat, meski usianya telah menua.
Pagi itu, seperti biasa, Mbok Yah mengayuh sepedanya menuju rumah-rumah yang telah menantinya. Ketika tiba di rumah Bu Ani, ia disambut dengan senyuman. “Mbok Yah, ini ada seragam anak saya yang harus selesai hari ini. Ada acara sekolah,” kata Bu Ani dengan nada memohon. Mbok Yah mengangguk dengan lembut. “Jangan khawatir, Bu. Akan saya selesaikan sebelum sore.”
Ketika Mbok Yah mulai bekerja, tangannya bergerak lincah. Mesin cuci otomatis di rumah Bu Ani mungkin canggih, tetapi ia tetap mengandalkan sentuhan tangan untuk memastikan kebersihan maksimal. Ia tahu, teknologi tidak selalu bisa menggantikan perhatian manusia pada detail kecil.
Di rumah berikutnya, Mbok Yah menghadapi tantangan berbeda. Sebuah tumpukan kain batik dengan warna-warna cerah menantinya. “Mbok, hati-hati ya, ini batik mahal. Jangan sampai luntur,” pesan pemilik rumah. Dengan penuh kehati-hatian, Mbok Yah mencuci batik itu dengan tangan, memastikan airnya tidak terlalu banyak mengalir sehingga warna tetap terjaga. Ia tahu nilai benda-benda itu lebih dari sekadar harga; mereka membawa cerita, warisan, dan kebanggaan.
Meski sering dianggap remeh, pekerjaan Mbok Yah adalah jantung dari banyak keluarga di Galaxy. Ketika ia pergi, rumah-rumah itu menjadi sunyi dari suara mesin cuci dan aroma sabun yang segar. Ia tidak hanya mencuci kain, tetapi juga menjaga kepercayaan, membangun hubungan, dan menanamkan semangat hidup dalam setiap pekerjaannya.
Namun, hari itu ada kejadian yang mengubah rutinitasnya. Di rumah Ibu Lila, Mbok Yah menemukan setumpuk gaun mahal dengan noda anggur yang sulit dihilangkan. Ia mencoba berbagai cara, tetapi noda itu tetap membandel. Ketika Ibu Lila datang dan melihatnya, ia berkata dengan nada tajam, “Mbok Yah, kalau nggak bisa membersihkan ini, bilang saja dari awal!”
Untuk pertama kalinya, Mbok Yah terdiam. Matanya menatap noda itu dengan sorot tekad. Ia tidak ingin mengecewakan. Setelah Ibu Lila pergi, ia mengeluarkan jurus terakhirnya campuran sabun khusus yang ia buat sendiri dari resep turun-temurun. Dengan hati-hati, ia menggosok noda itu hingga perlahan memudar. Ketika Ibu Lila kembali, ia terkejut mendapati gaun itu kembali seperti semula.
“Mbok Yah, hebat sekali,” kata Ibu Lila, kali ini dengan nada penuh syukur. “Bagaimana caranya?” Mbok Yah hanya tersenyum. “Hanya dengan doa, Bu. Doa agar kerja saya selalu bermanfaat.”
Setelah selesai bekerja, Mbok Yah kembali mengayuh sepedanya menuju rumah kecilnya di pinggir kota. Tubuhnya lelah, tetapi hatinya ringan. Dalam pikirannya, ia tahu bahwa ia mungkin tidak akan dikenang sebagai pahlawan besar, tetapi ia bahagia menjadi bagian kecil yang membuat hidup orang lain lebih mudah.
Hidup bagi Mbok Yah adalah perjalanan tanpa henti untuk memberi, meski usia dan tenaga sering kali menjadi batas. Ia percaya, selama ia masih bisa menggerakkan tangan, ia masih bisa memberikan kebaikan. Dan selama kebaikan itu diberikan dengan tulus, ia tahu bahwa hidupnya akan selalu bermakna.
Galaxy Bekasi, 4 November 2024
Leave a Reply