Menulis: Perjalanan Menembus Hutan yang Penuh Semak Belukar
Menulis: Perjalanan Menembus Hutan yang Penuh Semak Belukar
Oleh: Telly D.*)
“Setiap belukar yang kita hadapi dalam menulis adalah guru, dan setiap jalan yang kita temukan adalah hadiah bagi keberanian untuk mau terus melangkah.”
Menulis dapat diibaratkan sebagai sebuah perjalanan. Namun, perjalanan ini bukanlah lintasan lurus di jalan raya mulus, melainkan seperti menembus sebuah hutan belantara yang penuh semak belukar. Dalam hutan itu, setiap langkah memerlukan usaha untuk menyingkirkan rintangan, menentukan arah, dan bertahan menghadapi kelelahan mental. Hutan adalah tempat di mana penulis bertemu dengan ide-ide liar, menghadapi penolakan, bergulat dengan revisi, dan akhirnya menemukan cahaya di ujung perjalanan.
Saat seorang penulis memasuki dunia ide, ia seperti memasuki hutan lebat yang dipenuhi pohon-pohon tinggi dan semak belukar yang tak teratur. Di sini, ide-ide tersembunyi seperti burung-burung liar yang berkicau di kejauhan, memberi isyarat tetapi sulit dijangkau. Kadang, ide muncul dengan gemilang, seperti cahaya mentari yang menembus celah dedaunan, namun sering kali ia tertutup oleh rimbunan pikiran lain yang lebih samar.
Semak belukar dalam hutan adalah analogi dari kebingungan yang sering dirasakan penulis. Pikiran yang tumpang tindih, alur cerita yang tidak jelas, atau kebuntuan kreatif adalah belukar yang menghalangi pandangan. Anne Lamott dalam bukunya Bird by Bird mengingatkan, “Mulailah dari mana pun, meski tampak kecil dan tak berarti. Anda akan menemukan jalan Anda di antara kekacauan.”
Begitu pula, di tengah hutan ini, penulis harus bersabar menyisir semak demi menemukan jalan yang jelas. Penolakan adalah semak belukar lain yang selalu menghadang di jalan seorang penulis. Ketika sebuah karya selesai, penulis sering berharap bahwa karyanya akan diterima dengan tangan terbuka. Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Penolakan dari penerbit, editor, atau bahkan pembaca adalah bagian dari perjalanan ini. Semak belukar ini penuh duri menyakitkan dan sering kali membuat seorang penulis merasa ingin berhenti berjalan.
Namun, seperti dalam hutan, semak belukar penolakan adalah bagian dari ekosistem kreatif. Stephen King dalam On Writing berbagi bahwa ia pernah menerima begitu banyak surat penolakan hingga ia menancapkan semua surat itu di dinding dengan paku. “Penolakan adalah tanda bahwa Anda berjalan,” katanya. Dalam penolakan, seorang penulis belajar memperkuat karyanya dan melatih keberaniannya untuk terus menulis.
Selain penolakan, revisi adalah belukar yang harus dihadapi dengan tekad. Saat menulis, karya pertama adalah jalan setapak yang masih kasar. Revisi adalah alat yang digunakan untuk membersihkan jalan itu, menghilangkan ranting yang jatuh, dan memperbaiki arah agar lebih jelas. Annie Dillard dalam The Writing Life menyebutkan bahwa revisi adalah napas kedua dari tulisan; ia membawa hidup yang baru dan lebih baik pada naskah kita.
Setiap perjalanan memiliki akhirnya, begitu pula menulis. Di ujung hutan yang penuh semak belukar, penulis menemukan sebuah pemandangan indah dari tulisan yang selesai. Cahaya yang ditemukan ini bukan hanya berasal dari karya itu sendiri, tetapi juga dari pengalaman yang didapat selama perjalanan.
Hambatan yang dialami seorang penulis dari ide yang kabur, penolakan yang menyakitkan, hingga revisi yang melelahkan adalah bagian dari proses yang memperkaya karya. Hambatan-hambatan ini mengajarkan penulis untuk bersabar, menjadi lebih kritis terhadap dirinya sendiri, dan menghargai hasil akhirnya.
Saya masih ingat pengalaman pertama saya mencoba menulis cerita pendek. Saat itu, ide saya melompat-lompat seperti rusa di tengah hutan sulit ditangkap dan dikuasai. Setelah susah payah menyusun sebuah cerita, saya menyerahkannya kepada seorang teman yang menjadi editor. Ia mengembalikan tulisan saya dengan coretan merah di hampir setiap halaman. Rasanya seperti tersesat di tengah hutan tanpa peta. Namun, saya menyadari bahwa revisi itu adalah semak belukar yang harus saya lalui untuk menemukan jalan keluar. Setelah bekerja keras memperbaiki cerita saya, akhirnya cerita itu diterbitkan, dan kebahagiaan yang saya rasakan jauh melampaui rasa lelah selama perjalanan.
Menulis adalah hutan, dan setiap hutan memiliki pesonanya sendiri. Ada keindahan yang hanya bisa ditemukan dengan menjelajahinya, meskipun harus melewati semak belukar. Hutan menulis ini mengajarkan kita bahwa perjalanan yang penuh rintangan adalah bagian penting dari proses kreatif. Hambatan bukanlah akhir; namun, adalah bagian dari cerita yang menjadikan kita penulis yang lebih tangguh dan karya kita lebih bernyawa.
Ketika kita merasa tersesat dalam belukar menulis, ingatlah bahwa setiap langkah membawa kita lebih dekat ke cahaya. Seperti kata pepatah, “Hutan yang paling gelap pun memiliki jalan keluar.” Kita hanya perlu terus berjalan.
Makassar. 8 Desember 2024
*) Telly D adalah nama pena dari Daswatia Astuty, seorang pensiunan, pekerja sosial kemanusiaan, pemerhati pendidikan, anggota komunitas menulis RVL, penulis dengan 40 judul buku.
Leave a Reply