BELAJAR MENJADI TUA
BELAJAR MENJADI TUA
Oleh: Telly D.
“Seperti daun yang gugur tanpa suara, jadilah tua dengan kelembutan hati dan keikhlasan merelakan.”
Hidup adalah perjalanan panjang yang dihamparkan seperti sungai; ia mengalir dari hulu yang jernih menuju muara yang tenang. Dalam arusnya, sungai membawa batu-batu kecil, dedaunan yang jatuh, dan keruh lumpur. Namun, ketika mendekati muara, sungai itu mengalir tenang, melepaskan beban dan keruhnya, seolah mengerti bahwa segala yang berat tak lagi perlu dibawa. Demikianlah hidup mengajari kita untuk belajar menjadi tua.
Menjadi tua bukan sekadar soal menghitung uban atau merasakan sendi yang mulai rapuh dan lelah. Menjadi tua adalah seni memahami kehidupan, seni merelakan, dan seni merangkul kebahagiaan yang sederhana. Seperti gunung yang tetap kokoh meski dihujam ribuan badai, menjadi tua mengharuskan kita untuk diam, mendengar lebih banyak, dan berbicara lebih sedikit.
Dalam cerita-cerita kuno, ada seorang petapa yang tinggal di puncak bukit. Ia dikenal bijaksana dan jarang berbicara, tetapi setiap kalimat yang keluar dari mulutnya adalah mutiara. “Mengapa kau jarang berbicara, wahai Guru?” tanya seorang muridnya. Sang petapa tersenyum dan berkata, “Ketika daun gugur, ia tak membuat suara. Ketika air tenang, ia memantulkan langit tanpa cela. Diam adalah seni mendengar hati, dan dari hati itulah bijaksana lahir.”
Menjadi tua adalah perjalanan menuju ketenangan. Dalam sunyi, kita belajar menutup telinga dari bisik-bisik dunia yang penuh cela, menutup mata dari hiruk-pikuk kesia-siaan, dan menutup mulut dari ucapan yang sia-sia. Sebagaimana pohon tua yang hanya melambai dan menggoyangkan rantingnya saat angin bertiup, ia tahu kapan harus diam dan kapan harus bergerak.
Telinga kita tidak perlu menyimak setiap desas-desus. Mata kita tidak perlu terjebak dalam kecemburuan atau kemewahan yang fana. Dan mulut kita tidak perlu menyulut api perselisihan. Dalam keheningan, jiwa menjadi lapang seperti danau yang memantulkan sinar bulan.
Ada pepatah lama yang mengatakan, “Di usia tua, suara hati lebih nyaring dari suara dunia.” Ketika usia merambat pelan, kita mulai memahami bahwa yang terpenting bukanlah apa yang kita lihat, dengar, atau katakan, melainkan apa yang kita rasakan di dalam hati. Dalam mendengar hati, kita menemukan peta menuju kebahagiaan sejati bukan di luar diri, melainkan di dalam.
Seperti daun yang rela gugur untuk memberi ruang bagi tunas baru, menjadi tua mengajarkan kita untuk merelakan masa lalu, memaafkan diri sendiri, dan memberikan ruang bagi keindahan yang lebih besar.
Pohon besar yang rindang memberikan naungan pada siapa saja tanpa memilih. Ia tak bertanya siapa yang akan duduk di bawah bayangnya, tetapi ia tetap memberi. Demikianlah kita seharusnya di masa tua memberikan manfaat tanpa pamrih, menjadi tempat berteduh bagi generasi berikutnya.
Dulu, nenek moyang kita bercerita tentang seorang penenun tua yang setiap malam menjahit kain panjang untuk anak-anak di desanya. Ia tahu umurnya tak lama, tetapi ia ingin meninggalkan warisan berupa kehangatan. Seperti penenun itu, kita pun bisa menjadi tenunan kasih sayang yang menghangatkan keluarga, teman, dan sesama.
Hidup adalah tentang hubungan, dan di usia senja, menyambung silaturahmi adalah cara untuk menjaga jembatan kebahagiaan tetap kokoh. Jangan biarkan jembatan itu retak karena kesombongan atau jarak yang terlalu lama. Seperti hujan yang menyuburkan tanah kering, kehadiran kita dalam hubungan dengan orang lain bisa membawa kesegaran dalam kehidupan mereka, sekaligus kehidupan kita sendiri.
Kakek-kakek kita dahulu selalu membawa sebakul nasi saat bertamu, sebuah simbol bahwa dalam menyambung silaturahmi, kita juga membawa berkah. Begitu pula di masa tua, menyambung silaturahmi bukan sekadar bertemu, tetapi juga berbagi entah itu senyuman, nasihat, atau sekadar waktu.
Bersyukur adalah kunci yang membuka pintu kebahagiaan. Di usia tua, kita belajar bahwa kebahagiaan tidak datang dari apa yang kita miliki, tetapi dari rasa cukup atas apa yang telah kita jalani. Seperti petani yang bersujud syukur di tengah ladang meski panennya tak melimpah, kita pun belajar untuk bersyukur atas hal-hal kecil yang masih ada napas yang tersisa, senyum cucu, atau sinar matahari pagi yang hangat.
Akhirnya menjadi tua adalah seni menjadi seperti matahari senja: hangat, lembut, dan indah dalam kepergiannya. Ia tak lagi membakar, tetapi menghangatkan. Ia tak lagi menyilaukan, tetapi menerangi jalan pulang.
Belajar menjadi tua adalah belajar melepaskan ego, menyambut kedamaian, dan menjadi sumber cahaya bagi orang-orang di sekitar kita. Dalam setiap langkah yang tersisa, mari kita jadikan hidup sebagai persembahan penuh makna, seperti pohon tua yang tetap memberikan buah manisnya hingga akhir musim.
Galaxy Bekasi, 4 November 2024
December 12, 2024 at 1:49 am
N. Mimin Rukmini
Subhanallah! Beruntung sekali membacs tulisan Bunda. Alhamdulillah, luar biasa Bun! Menjadi bahan refleksi diri. …Menjadi tua seni merangkul kehidupan. Diam dan lebih banyak mendengar hati. Mendengar hati adalah peta jalan untuk mencapai kebahagiaan sejati… Makasih Bun! Saya save tulisan ini.
December 6, 2024 at 2:24 am
Florentina Winarti
Bagus sekali tulisannya Bund…pelajaran hidup
December 6, 2024 at 2:24 pm
Telly D
Terima kasihl Nunda Flow
December 6, 2024 at 2:23 am
Florentina Winarti
Bagus sekali tulisannya Bund…pelajaran hidup yang sarat makna
December 6, 2024 at 12:09 am
Much. Khoiri
Tulisan indah dan sarat makna