November 12, 2024 in Uncategorized

Ketika Kesalahan Dibungkus dengan Alasan

Ketika Kesalahan Dibungkus dengan Alasan

Oleh: Telly D.


Kesalahan adalah hal yang biasa dalam kehidupan manusia. Namun, yang kerap menjadi masalah adalah bagaimana orang menghadapi kesalahan tersebut. Alih-alih mengakui dengan tulus, banyak yang justru mencari alasan untuk membenarkan kesalahannya, seperti alasan “bukan saya yang melakukan,” “kurang teliti,” “sibuk,” atau “tidak sengaja.” Tak jarang, alasan-alasan ini diiringi dengan dalih-dalih agama atau moral, misalnya “agama mengajarkan untuk saling memaafkan.” Sayangnya, pendekatan semacam ini sering kali merugikan pihak yang dirugikan dan membebani mereka untuk selalu memaafkan, bahkan jika mereka merasa terluka.

Dalam buku Mistakes Were Made (But Not by Me) karya Carol Tavris dan Elliot Aronson, dijelaskan bahwa orang cenderung membenarkan diri untuk menghindari rasa bersalah dan terlihat sempurna. Ketika seseorang berkata, “Itu tidak sengaja, saya hanya kurang teliti,” dia tidak sepenuhnya mengakui kesalahannya. Pembenaran semacam ini adalah bentuk self-justification yang berbahaya. Alih-alih bertanggung jawab, orang ini malah berusaha melindungi egonya dengan membungkus kesalahan dalam alasan yang bisa diterima orang lain.

Contoh perilaku ini dapat kita lihat dalam tokoh Karna dari epik Mahabharata. Karna kerap kali menghadapi dilema moral dalam pertempuran, tetapi ia terus mendukung Duryodhana, meskipun tahu bahwa tindakannya salah.

Alasan yang kerap Karna gunakan adalah loyalitasnya sebagai sahabat, meski konsekuensinya sering kali tidak adil bagi pihak lawan. Sikap Karna yang memilih mengabaikan moralitas demi loyalitas menunjukkan bagaimana alasan dapat digunakan untuk membenarkan keputusan yang sebenarnya ia sadari sebagai sebuah kesalahan.

Salah satu bentuk pembenaran yang kerap terjadi adalah dengan menggunakan nilai-nilai agama atau moral untuk memaksa pihak yang dirugikan agar memaafkan. Tindakan ini dapat menjadi manipulasi emosional, terutama jika pihak yang dirugikan dipaksa untuk menutupi perasaan marah atau kecewa mereka dengan dalih bahwa “agama mengajarkan untuk saling memaafkan.”

Dalam epik Ramayana, kita bisa melihat contoh serupa pada tindakan Rahwana, yang kerap mengabaikan kesalahannya sendiri dalam menculik Sinta. Meski berulang kali diingatkan tentang perbuatannya yang salah, Rahwana terus beralasan bahwa tindakannya didasarkan pada perasaannya yang tulus kepada Sinta. Dalih ini, yang seolah menekankan “kebenaran” dari versinya, adalah bentuk manipulasi yang merugikan orang lain, khususnya pihak yang terlibat.

Menurut Aaron Lazare dalam On Apology, permintaan maaf sejati bukanlah soal memaksakan penerimaan maaf, tetapi melibatkan pengakuan penuh dan penyesalan. Dalam contoh Rahwana, meski ia berusaha menyampaikan perasaan dan alasannya, tetap saja tindakannya menyakiti banyak pihak, dan tidak ada upaya nyata untuk bertanggung jawab atas dampak tindakannya.

Gary Chapman dan Jennifer Thomas dalam The Five Languages of Apology menekankan bahwa permintaan maaf sejati membutuhkan pengakuan kesalahan, ungkapan penyesalan, dan komitmen untuk tidak mengulanginya. Ketika seseorang meminta maaf dengan tulus, pihak yang dirugikan akan merasa dihargai dan dihormati. Namun, bila permintaan maaf itu dipaksakan dengan dalih moral atau agama, hal ini justru menambah beban emosional pada orang yang dirugikan.

Misalnya, Yudhistira dalam Mahabharata adalah contoh tokoh yang berani meminta maaf secara tulus. Setelah kalah dalam permainan dadu dan kehilangan segala miliknya, termasuk istrinya, ia mengakui bahwa kesalahan tersebut adalah buah dari kelemahannya sendiri. Yudhistira menerima kesalahan dengan berani, tidak mencari alasan atau berdalih. Permintaan maaf dan penerimaan yang ia tunjukkan adalah teladan dalam mengakui kekeliruan dengan jujur, serta menjadi pelajaran bahwa tindakan yang tulus membawa kedamaian.

Sebaliknya, tindakan memaksa orang lain untuk memaafkan tanpa pertanggungjawaban adalah bentuk manipulasi yang merugikan. Ketika seseorang meminta maaf namun diiringi alasan-alasan pembenaran, ia sebenarnya tidak memberikan kesempatan bagi pihak lain untuk memproses perasaan mereka. Dalam hal ini, permintaan maaf justru bisa memperburuk situasi.

Kita dapat belajar dari nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh para tokoh dalam kisah Mahabharata dan Ramayana. Keterusterangan dan pengakuan atas kesalahan adalah sikap yang menunjukkan tanggung jawab dan kebesaran jiwa. Alih-alih menyembunyikan kesalahan di balik alasan, keberanian untuk berkata jujur adalah nilai yang diajarkan dalam banyak kisah tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari, berani mengakui kesalahan tanpa alasan adalah langkah yang perlu dilakukan demi menjaga integritas diri dan kepercayaan orang lain. Ketika seseorang benar-benar tulus meminta maaf, ia tidak hanya mengakui kesalahannya, tetapi juga menghargai perasaan pihak yang dirugikan. Hal ini membuat hubungan menjadi lebih baik dan memberikan ruang bagi penyembuhan dan perbaikan.

Mengakui kesalahan adalah hal yang sederhana tetapi memiliki dampak yang besar dalam hubungan antarmanusia. Ketika seseorang terus-menerus membungkus kesalahannya dengan alasan-alasan, ia tidak hanya menghindari tanggung jawab tetapi juga merusak kepercayaan orang lain. Sebagaimana contoh dalam Mahabharata dan Ramayana, keberanian untuk mengakui kesalahan dan permintaan maaf yang tulus adalah tanda kebesaran jiwa. Sebaliknya, memaksakan permintaan maaf dengan dalih agama atau moral tidak hanya mengesampingkan keadilan, tetapi juga memperburuk hubungan.

Permintaan maaf yang sejati adalah yang dilakukan dengan jujur dan tulus tanpa pembenaran yang merugikan pihak lain. Dengan demikian, hubungan antarmanusia dapat tetap harmonis, dan proses penyembuhan dapat berjalan dengan baik.

Makassar, 9 November 2024




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By browsing this website, you agree to our privacy policy.
I Agree