June 7, 2025 in Uncategorized

Perhatian dari Penulis Besar

Perhatian dari Penulis Besar

Oleh: Telly D.

Idul Adha selalu membawa suasana haru. Ada gema takbir yang menembus hingga ke dada, ada aroma daging kurban yang mengingatkan pada pengorbanan, dan ada percakapan-percakapan sunyi antara diri dan Sang Khalik. Tapi Idul Adha kali ini terasa berbeda. Di antara riuh doa dan persiapan hidangan, saya menerima sebuah paket buku, saya bertanya dari siapa, paket bukunya besar, ukurannya tak lazim seperti paket buku yang sering saya terima. Buku “Malang Tempoe Doloe” karya Pak Dukut Imam Widodo. Saya membuka pelan-pelan, dan tanpa sadar, ada rasa haru, air hangat menitik di sudut mata saya.

Perkenalan saya dengan PaK Dukut Imam Widodo sebenarnya sangat sederhana. Saya baru mengenalnya ketika menjadi narasumber pada pertemuan Rumah Virus Literasi (RVL). Setelahnya hanya sapaan-sapaan biasa di grup WhatsApp literasi. Kami kemudian saling menyapa dengan panggilan Mas dan Mbak sebagai lazimnya orang-orang saling menyapa di grup itu. Tak pernah ada percakapan panjang, saya hanya selalu berusaha memperlihatkan tulisan-tulsan saya, sebab saya berpikir demikianlah seharusnya percakapan antara penulis.

Dukut Imam Widodo adalah seorang penulis, budayawan, sekaligus pemerhati sejarah lokal, khususnya sejarah kota Malang dan sekitarnya. Ia dikenal luas karena karya-karyanya yang mengangkat kisah-kisah tempo dulu, jejak kolonial, dan perubahan sosial budaya dalam konteks lokal Jawa Timur.

Beberapa karya terkenalnya antara lain: Malang Tempo Doeloe, Soerabaya Tempo Doeloe, Djember Tempo Doeloe, dan lain-lain, serta beberapa novel dan cerita pendek. Karena dedikasihnya, sudah 10 kali mendapat penghargaan dalam bidang sastra dari majalah; Femina, Kartini, kedutaan besar Belanda, dan juga guburnur jawa Timur.

Saya pun tak pernah membayangkan akan diberi perhatian seistimewa ini. Tapi di hari raya yang sakral ini, saya menerima kiriman buku dari beliau seorang penulis yang sudah dikenal luas, kepada saya yang belum menjadi siapa-siapa. Rasanya saya seperti dipanggil nama saya di tengah kerumunan, padahal merasa tak terlihat.

Saya sangat terharu, dan lebih dari itu, sangat berterima kasih. Dukungan seperti ini, bagi kami para penulis pemula, sama dengan menyalakan obor semangat di dalam hati kami yang sering meredup diam-diam.

Idul Adha adalah tentang pengorbanan, itu sudah sering kita dengar. Tapi kali ini saya belajar bahwa pengorbanan bukan selalu dalam bentuk besar seperti daging atau darah. Kadang ia hadir dalam bentuk perhatian kecil yang sangat menyentuh. Pak Dukut, dengan kirimannya, telah mengorbankan waktu, energi, dan pikirannya untuk memilih buku ini, membungkusnya, lalu mengirimkannya kepada saya. Mungkin bagi beliau ini hal sederhana. Tapi bagi saya, ini sebuah kasih sayang, sebuah perhatian, tanda bahwa saya tak sendiri dalam jalan sunyi ini.

Pesan dari Pak Dukut Imam Widodo (Penulis Buku). Foto: Dokumen Pribadi.

Ketika saya membaca halaman demi halaman buku tersebut, saya merasa sedang berjalan di lorong waktu, menyusuri kota Malang yang pernah saya kunjungi. Tapi lebih dari itu, saya merasa sedang menyusuri masa depan saya sendiri sebagai penulis. Bahwa seperti kota yang berubah dan tumbuh, saya pun boleh berharap tumbuh, perlahan-lahan, dari seseorang yang tak dikenal menjadi seseorang yang menulis karena cinta, bukan karena tepuk tangan.

Sebagai penulis pemula, saya sering merasa kecil. Dunia tulis-menulis dipenuhi nama-nama besar, karya-karya hebat, dan pencapaian yang gemilang. Sementara saya hanya punya niat dan keberanian untuk mulai. Tapi buku kiriman ini mengingatkan saya bahwa menjadi penulis bukan tentang seberapa banyak orang mengenal kita, melainkan tentang seberapa jujur kita dalam menulis. Seberapa tekun kita merawat kata-kata meski tak ada yang membaca. Seberapa tulus kita berbagi cerita meski hanya didengar oleh diri sendiri.

Idul Adha kali ini menjadi pelajaran baru bagi saya: bahwa kurban bukan hanya untuk Allah, tapi juga untuk sesama. Memberi semangat kepada orang lain, tanpa pamrih, tanpa nama, adalah bentuk ibadah yang luar biasa. Pak Dukut telah mengajarkannya pada saya lewat buku ini. Bukan lewat ceramah, tapi lewat tindakan. Dan itu membekas lebih dalam dari seribu kata.

Saya menyimpan buku ini di rak di atas meja kerja saya, dan juga di hati. Ia akan selalu menjadi pengingat bahwa dalam dunia yang penuh kebisingan, kebaikan masih berjalan pelan, menyapa orang-orang kecil yang sedang berjuang.

Kepada Pak Dukut Imam Widodo, saya hanya bisa berkata dengan suara hati yang dalam: terima kasih, sudah melihat saya yang nyaris tak terlihat. Kiriman Bapak bukan sekadar buku. Ia adalah cahaya kecil yang menyala di ruang gelap, cukup untuk membuat saya melangkah lagi, dan lagi.

Makassar, 7 Juni 2025




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *