Disamarkan oleh Niat, Dibongkar oleh Takdir

Disamarkan oleh Niat, Dibongkar oleh Takdir
Oleh: Telly D.
Aku berangkat ke Tanah Suci pada tahun 2011, membawa koper, doa, dan satu niat yang kubungkus rapat: menjadi orang biasa. Bukan pejabat, bukan tokoh penting. Hanya satu titik kecil di antara jutaan jiwa yang datang membawa rindu, ingin sujud tanpa sorot mata. Maka aku menyamar bukan dengan cadar atau gelar, tapi dengan kerendahan hati yang kupikir cukup untuk menutupi siapa diriku di dunia luar.
Tiket haji ONH Plus melalui Ananda Travel itu bukan pilihanku. Aku semula mendaftar untuk haji reguler, siap menunggu antrean panjang. Tapi Allah, dengan cara-Nya yang tak bisa ditebak, justru menurunkan panggilan lewat tangan suamiku: “Kita berangkat ONH Plus.” Aku diam. Lalu ikut. Karena aku tahu, panggilan ini bukan sesuatu yang bisa ditunda. Tak ada yang mampu melawan takdir.
Perjalanan kami dimulai dari Makkah ke Madinah. Kami menginap di Hotel Andalus, tepat di depan Pintu Masuk Masjid Nabawi, tempat sakral yang tak pernah sepi dari lantunan salawat. Setiap pagi seperti fajar yang baru dilahirkan. Di Raudhah, taman surga antara mimbar dan makam Rasulullah, aku menangis. Di sana, doa menjadi napas, dan napas menjadi dzikir yang bergetar dalam dada.
Ziarah ke Jabal Uhud, Masjid Quba, dan Pasar Kurma mempertemukanku dengan sejarah yang hidup. Aroma manis kurma dan ringkik unta menyertai langkah-langkah kecilku menuju makna.
Kembali ke Makkah, kami menginap di Hotel Makkah Makarim, tepat di depan Pintu 1 King Abdul Aziz, Masjidil Haram. Setiap kali kulangkahkan kaki ke pelataran Ka’bah, hatiku tenggelam dalam rasa takjub. Di sinilah aku memulai ibadah hajiku: berniat ihram dari miqat, mengenakan kain putih polos, tanda kesetaraan di hadapan Tuhan. Dengan niat di hati, aku melepas dunia.
Tiba waktunya thawaf, tujuh putaran mengelilingi Baitullah. Setiap langkah seolah melepaskan satu persatu lapisan ego, ambisi, dan luka. Tangisku pecah saat Ka’bah terasa begitu dekat namun tak tergapai oleh kata-kata. Di sana, aku bukan siapa-siapa, hanya hamba yang pulang.
Usai thawaf, aku lanjutkan dengan sa’i, berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah. Dalam langkah-langkah yang cepat dan getir, aku mengenang Hajar, perempuan yang ditinggal di padang tandus, tapi tak ditinggalkan Tuhan. Setiap bolak-balikku adalah napas harap dan pasrah.
Kemudian aku tahallul rambut digunting sebagai tanda selesainya satu fase. Tapi sejatinya, yang kugunting bukan hanya rambut, tapi kesombongan yang lama kubiarkan tumbuh liar.
Namun dibalik cerita itu banyak hal yang terjadi yang berhubungan dengan penyamaranku. Malam pertama di hotel, aku duduk di ruang makan dengan harapan bisa menikmati makan malam yang tenang sebelum salat isya di Masjidil Haram. Meja-meja tertata anggun, lengkap dengan napkin dan sendok garpu perak. Tapi belum sempat sup mendarat di sendok, rombonganku yang berisi para pedagang dan petani mengangkat semua hidangan ke lantai. Karpet digelar, semua duduk bersila. Suasana makan malam berubah seperti kenduri desa. Aku tercekat, dan merasa aku yang paling kaku di antara mereka yang hidup lebih merdeka.
“Jangan bersuara. Fokus. Ini ibadah,” bisik suamiku, sambil menepuk pergelangan tanganku. Aku mengangguk. Dan pelan-pelan belajar untuk melepaskan bentuk, demi esensinya.
Sejak itu aku belajar menahan komentar ketika rombongan berjalan lambat karena sepatu pantofel menyesak kaki-kaki yang terbiasa tanpa alas kaki di ladang. Atau saat mereka memakai kacamata hitam, entah mengapa rombonganku paling senang memakai kaca mata hitam bahkan di kabin pesawat sekalipun. Aku juga memilih diam, bahkan saat mereka memasukkan buah dan peralatan makan dari pesawat, ke dalam kantong untuk oleh-oleh anak cucu, diam melihat makanan yang diambil di piring dan tersisa dibuang tidak dimakan.
Namun diam saya itu membuat cerita jadi lain. Seorang ibu yang suka mengamati lakon saya dan salah menduga. Puncaknya terjadi saat tiba di Bandara King Abdul Aziz. Dia menarikku dari antrean. Dan menanyakan “Mana Paspor, ibu? Kartu kesehatan? Berdiri di sini, pegang dengan baik, nanti lurus saja. Jangan jalan dulu.” Aku menurut. Kukira dia petugas. Tapi ternyata dia hanya jemaah biasa, ibu petani dari kampung. Tapi langkahnya tegap dan nada bicaranya seperti pemandu. Rupanya diamku membuat wajahku seperti orang yang butuh pertolongan.
Sejak itu, dia seperti ditugaskan oleh semesta menjadi penuntunku. Ia selalu ada membayangiku, mengajariku menekan tombol lift, membuka pintu kamar, mengatur koper, memilihkan tempat duduk di bus dan sebagainya. Aku ingin berkata bahwa aku tahu semua itu. Tapi aku memilih diam. Barangkali karena aku sadar, Allah sedang menulis gurauan halus dalam kisah penyamaranku.
Suatu malam, kami berbincang saat packing barang hasil belanjanya dari Pasar Kurma. Dia memberi petunjuk bagaimana packing barang dilakukan sehingga lolos dari pemeriksaan di bandara. Aku iseng saja menanyakan seberapa ketatnya pemeriksaan itu jika dibandingkan dengan bandara internasional lain. Aku membaca passportku sambil menyebut nama-nama bandara: Changi, Incheon, Zurich. Doha, Munich, Ia tertegun, ia mengambil pasporku dan menghitung stempel yang ada “Kok stempel paspor Ibu banyak?” kok bisa? Aku hanya bisa tanya balik, “Ibu belum pernah ke luar negeri?” Jawabnya polos, “Keluar kampung saja baru kali ini. naik pesawat juga baru kali ini.”
Aku tertawa dalam hati. Ternyata aku yang menyamar, justru dituntun oleh seseorang yang bahkan belum pernah tahu arah. Tapi justru di situlah aku menemukan arah pulang—ke dalam.
Sejak itu aku mulai menjaga jarak. Tapi takdir belum selesai. Saat itu kami baru kembali dari thawaf dan sa’i. Aku menolong seorang ibu yang kelelahan setelah bolak-balik dari bukit Shafa ke Marwah. Kakinya bengkak, dan ia takut naik lift. Aku masukkan ke kamar dan mengurut kakinya. Bekal lama sebagai atlet nasional kembali terpakai. Tapi esoknya, kabar itu menyebar. Ada tukang pijat dalam rombongan. Emak-emak datang malam-malam, membawa minyak gosok, amplop, dan harapan.
Melayani banyak keiinginan itu membuat tanganku kaku dan mulai gemetar. Memerlukan energi tambahan mengurut dalam jumlah banyak dan badan yang sekeras papan., tapi aku tak sanggup menolak. Sambil duduk di tepi pelataran Ka’bah, aku berdoa: “Ya Allah, aku ingin menolong, tapi ini bukan niatku.”
Lalu tibalah hari wukuf di Padang Arafah. Wukuf di sana seperti menatap cermin jiwa. Langit terbuka, bumi sepi, dan yang terdengar hanya tangis dan bisik pengakuan. Di sinilah, semua penyamaran gugur. Hanya putih, hanya rindu, hanya ampunan yang dimohon.
Malamnya kami menuju Muzdalifah. Di antara bebatuan dan angin malam, aku memungut kerikil dengan khidmat. Setiap butir batu terasa seperti doa yang mengkristal.
Lalu ke Mina, untuk melontar jumrah. Melempar bukan hanya kepada simbol setan, tapi kepada sifat buruk dalam diriku sendiri: marah, sombong, curiga, dan cinta dunia. Batu-batu kecil itu adalah surat pengunduran diriku dari jabatan-jabatan tak kasat mata dalam hati.
Setelah seluruh rukun haji kulalui, kami kembali ke Masjidil Haram. Thawaf Ifadah, putaran yang menggugurkan beban dan membuka jalan pulang. Kubiarkan air mata jatuh di antara derap langkah jutaan kaki. Tuhan tak pernah jauh, hanya aku yang kerap bersembunyi.
Puncak penyamaranku datang ketika Ibu wakil Gubernur berkunjung. Panitia menunjukku sebagai tukang urut terbaik untuk memberi layanan. Aku hanya berbisik ke suami, “Ini terakhir. Setelah ini, aku berhenti menjadi tukang pijat.”
Aku masuk kamar beliau. Ia sudah telungkup. “Mulai dari punggung ya,” katanya. Aku mulai memijat. “Belajar dari mana?” tanyanya. “Aku mantan atlet, sebelum bekerja,” jawabku. “Sekarang kerja di mana?” Aku sejenak diam. Lalu berkata, “Aku kepala pusat di sebuah lembaga.”
Ia membalikkan tubuh, menatapku kaget. “Masya Allah! Ibu Daswatia?!”Dia bisa mengenal dengan tepat penyamaranku. Panitia dipanggil. Emak-emak yang dulu datang dengan amplop dan minyak, kini datang memeluk, menangis, meminta maaf. Aku tersenyum. Penyamaran itu runtuh. Tapi bukan karena aku lemah. Karena memang sudah waktunya.
Malam itu aku masuk kamar. Aku duduk lama, lalu sujud. “Ya Allah, aku menyamar untuk mendekat kepada-Mu. Tapi Kau membongkarnya agar aku ingat: Engkaulah yang Maha Menyingkap segalanya.”
Kini aku tahu: haji bukan sekadar perjalanan geografis dari tanah air ke Tanah Suci. Tapi perjalanan ruhani dari lapisan niat menuju cahaya keikhlasan. Aku ingin menjadi biasa, ternyata “yang biasa” justru luar biasa. Aku ingin merendah, ternyata kerendahan sejati adalah kejujuran.
Dan dari semua penyamaran yang kulakukan, justru kejujuran yang membawaku pulang. Bukan ke hotel, bukan ke tanah air, tapi ke rumah batinku sendiri. Tempat di mana segala topeng dilepaskan, dan aku berdiri, akhirnya, sebagai hamba sahaja.
Makkah – Madinah – Arafah – Muzdalifah – Mina – 2011
Makassar, Mei 2025
May 31, 2025 at 8:00 am
Savannah2093
https://shorturl.fm/uyMvT