Tulisan Sebagai Warisan Tak Terlihat

Tulisan Sebagai Warisan Tak Terlihat
Oleh: Telly D.
Pagi itu, aku menyobek halaman buku catatanku yang mulai kusam. Di atasnya, ada tulisan tangan yang tidak terlalu rapi, ditulis lima belas tahun lalu. Aku menuliskannya saat pertama kali merasa kehilangan, bukan kehilangan orang, melainkan kehilangan arah. Tulisan itu tak pernah kupublikasikan, tak pernah kubacakan, dan mungkin, tak pernah benar-benar selesai. Tapi saat kubaca ulang, aku menangis pelan. Seakan aku sedang membaca kembali diriku sendiri yang pernah sangat rapuh, dan pernah sangat berharap dimengerti.
Di situlah aku mulai percaya: tulisan adalah warisan tak terlihat, dan tak semua warisan perlu dibungkus formalitas atau harta benda. Ada warisan yang lahir dari luka yang pernah disembunyikan. Ada warisan yang tak diwariskan secara sadar, tapi hidup dan tumbuh diam-diam dalam ingatan orang lain.
Ketika seseorang menulis, ia sedang menanamkan jejak. Jejak itu bisa tidak tampak di tanah hari ini, tapi akan tumbuh di musim yang tak kita saksikan. Seperti petani yang menanam dengan keyakinan bahwa tanah akan bekerja dengan caranya sendiri, penulis menulis dengan harapan bahwa kata-kata akan menemukan pembacanya entah esok, entah sepuluh tahun lagi (Much Khoiri).
Aku sendiri menyimpan satu kebiasaan kecil yang kulakukan tiap tahun. Sejak Nadhira, cucuku, lahir, aku mulai menulis catatan tahunan untuknya. Bukan surat panjang, bukan pula wejangan resmi. Hanya potongan refleksi kecil: bagaimana dia tumbuh, bagaimana matanya mulai berbinar saat mengenal warna, bagaimana kata pertamanya membuatku tercekat. Di sela-sela itu, kusisipkan doa, dan harapan-harapan kecil: semoga Nadhira tumbuh mencintai belajar, semoga ia berani gagal, semoga hatinya luas ketika menghadapi dunia yang sempit.
Tiap tahun, catatan itu kutambahkan. Kini jumlahnya sudah cukup untuk menjadi 3 buku kecil. Belum tentu ia membacanya hari ini, mungkin bahkan belum bisa memahami seluruhnya. Tapi suatu hari nanti, saat ia dewasa dan dunia tak selalu bersahabat, aku ingin ia menemukan kembali siapa dirinya melalui kata-kata neneknya yang menulis dengan cinta.
Karena begitulah tulisan bekerja pelan, sabar, dan kadang melampaui waktu.
Di Jepang, ada filosofi tsukumogami, di mana benda-benda yang berusia lebih dari seratus tahun dipercaya memiliki jiwa. Aku percaya, tulisan yang lahir dari kasih dan kejujuran, juga memiliki jiwa. Ia bisa hidup lebih lama dari penulisnya. Kita membaca Pramoedya, bukan karena dia hidup, tapi karena pikirannya tetap berjalan di dalam buku. Kita mengenang Kartini bukan dari pidato, tapi dari surat-suratnya yang menembus tembok zaman dan menyentuh kesadaran perempuan masa kini.
Haruki Murakami pernah berkata, “Menulis adalah tindakan pribadi dengan dampak publik.” Kita tak pernah tahu siapa yang akan membaca tulisan kita. Bisa jadi, tulisan yang kita anggap biasa, menjadi pengingat bagi seseorang di masa mendatang. Kalimat yang kita tulis di malam sunyi bisa menjadi pelita bagi orang yang nyaris kehilangan semangat.
Menulis bukan tentang tahu segalanya, tapi tentang keberanian untuk menyampaikan kebenaran pribadi. Kita mungkin tak bisa memberi rumah mewah untuk keturunan kita, tapi kita bisa memberi mereka kata-kata yang membuat mereka merasa pulang.
Aku ingin hidupku memiliki jejak yang lebih dalam dari sekadar tanda tangan di selembar ijazah atau foto keluarga di dinding rumah. Aku ingin Nadhira, jika kelak membaca tulisanku, bisa berkata, “Nenekku pernah menulis ini bukan untuk terkenal, tapi agar aku tahu, bahwa hidup ini indah meski kadang berat.”
Hari ini aku menulis bukan untuk pujian. Aku menulis agar makna yang kutemukan dalam hidup tak ikut terkubur ketika tubuhku berhenti. Aku ingin menjadikan tulisan sebagai warisan bukan yang diperebutkan, tapi yang dipeluk, seperti doa yang tak bersuara, tapi terasa menguatkan.
Dan bila nanti dunia terlalu bising, terlalu terburu-buru, dan terlalu banyak yang ingin didengar tanpa ingin memahami. Semoga tulisan-tulisan kecil yang kutinggalkan bisa menjadi ruang sunyi tempat seseorang berhenti sejenak, menarik napas, dan menemukan kembali dirinya.
Untuk Nadhira, kelak ketika engkau membaca ini…
Di antara banyak hal yang mungkin akan kau warisi dariku cerita, kebiasaan aneh, atau selera terhadap warna senja semoga tulisan-tulisan kecil ini menjadi salah satu yang paling kau peluk diam-diam. Jika dunia suatu hari membuatmu lelah, bukalah kembali catatan ini, dan temukan bahwa sejak kecil kau sudah dicintai dengan sepenuh hati, didoakan dalam sunyi, dan dipercayai untuk tumbuh menjadi cahaya yang lembut. Aku tak bisa menuliskan masa depanmu, Nak. Tapi aku bisa meninggalkan jejak kecil bahwa kau pernah menjadi alasan seseorang menulis dengan seluruh jiwanya.
Makassar, Mei 2025
May 30, 2025 at 12:44 pm
Londyn789
https://shorturl.fm/m8ueY
May 29, 2025 at 4:59 am
Sierra2997
https://shorturl.fm/N6nl1
May 28, 2025 at 12:34 pm
Phyllis4689
https://shorturl.fm/A5ni8