Miskin Tak Boleh Marah

Miskin Tak Boleh Marah
Oleh: Telly D.
Di sebuah antrean panjang layanan kesehatan bersubsidi di pinggiran kota, seorang perempuan muda tampak menggendong balita yang demam tinggi. Petugas datang terlambat nyaris dua jam. Tak ada yang bersuara. Tak ada yang menggedor meja. Perempuan itu hanya menatap sekeliling, menunduk, dan bertanya lirih, “Apakah kami masih bisa dilayani?”
Ia tidak marah. Tidak karena tak kecewa. Tapi karena tahu bahwa marah tak mengubah apapun, kecuali mempercepat pengusiran.
Kita hidup dalam dunia yang pelik. Di satu sisi, kesabaran dianggap kebajikan. Di sisi lain, kesabaran kerap hanya tersedia bagi mereka yang tidak punya pilihan. Terutama mereka yang terpinggirkan secara ekonomi. Ungkapan “miskin tak boleh marah” bukan sekadar sindiran sosial, tetapi juga penanda dari sebuah kenyataan structural; bahwa kuasa atas emosi pun ternyata tidak dimiliki semua orang.
Lihatlah di dunia digital tempat yang konon demokratis. Komplain soal layanan hotel, makanan restoran, atau AC ruang meeting yang kurang dingin lebih sering datang dari orang-orang berpunya. Mereka menulis dengan detail, menyebutkan merek, menyertakan foto, dan tak lupa tag akun manajemen.
Sementara itu, di ruang-ruang publik tempat masyarakat bawah berkumpul, ketidaknyamanan berlangsung dalam diam. Kursi tunggu yang rapuh, antrean yang tak jelas, pengabaian yang normal. Mereka hanya saling pandang. Kadang tertawa kecil. Kadang mengelus dada. Tapi tidak ada komplain formal, tidak ada surat pembaca, tidak ada ulasan.
Data dari Laporan Tahunan LAPOR.go.id kanal resmi pengaduan publik nasional menyebut mayoritas pelapor berasal dari kalangan berpendidikan menengah ke atas. Yang bersuara adalah mereka yang tahu bagaimana menyuarakan. Yang tidak bersuara? Mereka yang setiap harinya bersinggungan langsung dengan masalah paling nyata: harga minyak goreng, antrean BPJS, bantuan sosial yang tak kunjung datang.
Dalam kajian psikologi sosial, fenomena ini dikenal sebagai learned helplessness, keadaan ketika seseorang berhenti mencoba karena merasa tidak ada gunanya. Penelitian Kraus et al. (2011) dari Psychological Science menunjukkan bahwa individu dari kelas sosial lebih rendah cenderung merasa tidak berdaya dalam relasi sosial. Mereka lebih mungkin diam, bahkan ketika dirugikan.
Dalam bahasa Pierre Bourdieu, ini adalah bentuk kekerasan simbolik. Ketika sistem membuat seseorang merasa bahwa diam adalah satu-satunya sikap yang masuk akal.
“Kalau saya marah, saya bisa kehilangan pelanggan,” kata Rudi, pengemudi ojek daring yang saya temui di Jakarta Timur. “Jadi ya, senyum saja, walau dihina.”
Kesabaran, dalam masyarakat miskin, adalah hasil latihan panjang. Ia bukan pilihan bebas. Ia semacam mekanisme bertahan hidup. Karena marah, bagi mereka, terlalu mahal. Marah bisa berujung pada dicoret dari daftar bantuan, diusir dari antrean, atau dituduh tak tahu diri.
Sementara itu, marah di kelas atas justru bisa jadi bentuk pernyataan diri. Orang kaya yang mengamuk di restoran sering dianggap “berhak,” sementara ibu-ibu di pasar yang menawar terlalu keras dilabeli “cerewet” atau “tak tahu malu.”
Ada struktur yang menetapkan siapa yang boleh kecewa, dan siapa yang harus pasrah. Maka ketika masyarakat kelas bawah mulai bersuara—bahkan hanya dengan status Facebook atau video pendek TikTok—reaksi pertama sering berupa cibiran: lebay, playing victim, atau tidak bersyukur. Padahal, itu mungkin satu-satunya celah tempat mereka bisa mengungkapkan kemarahan tanpa risiko sosial langsung.
Ironi ini tak bisa kita diamkan. Bukan untuk menggantikan kesabaran dengan kemarahan. Tapi agar kita tahu, bahwa menuntut keadilan bukanlah tanda kurang ajar. Dan bahwa orang miskin pun punya hak untuk kecewa, marah, dan didengar.
Miskin tak boleh marah? Pernyataan itu seharusnya tidak lagi kita ucapkan papalagi kita benarkan. Karena di balik diam mereka, ada kesedihan yang lama dipendam. Dan di balik senyum mereka, ada harapan yang perlahan redup.
Dan mungkin, yang mereka butuhkan bukan nasihat untuk “lebih sabar,” melainkan ruang yang aman untuk akhirnya berkata: cukup.
Makassar, Mei 2025
June 1, 2025 at 12:04 am
Chelsea3167
https://shorturl.fm/0oNbA
May 29, 2025 at 4:59 am
Barry4546
https://shorturl.fm/6539m