Dari Balik Jendela Farah

Dari Balik Jendela Farah
Oleh: Telly D.
Rumah di ujung gang itu seperti sumur tua senyap, dalam, dan tak pernah memperlihatkan isinya.
Farah tinggal di sana bersama dua anak laki-lakinya yang nyaris tak pernah terdengar suaranya. Di pagi hari, suara pintu dibuka pelan. Di sore hari, tirai tertutup sebelum matahari benar-benar turun. Dan malam-malam? Hanya ada kesunyian yang terlalu rapi untuk disebut damai.
Sebagai tetangga, kami sering menebak-nebak. Mengapa Farah jarang keluar rumah? Mengapa anak-anaknya tak pernah main petak umpet atau bersepeda seperti anak-anak lainnya? Tapi seperti kebanyakan orang, kami hanya berani menebak, tidak bertanya. Karena katanya, keluarga adalah urusan pribadi.
Namun, semuanya terkuak pada suatu pagi ketika kabar itu tersebar; Farah menggugat cerai.
Farah, yang kami kira hanya sering sakit, ternyata menyimpan tubuh penuh luka yang didiamkan selama 15 tahun pernikahan. Dokumen rumah sakit yang diajukan ke pengadilan membuat kami menggigil. Luka sayat benda tajam. Kulit yang melepuh karena siraman air panas. Tulang rusuk yang patah. Seorang perempuan yang terlihat kecil dan tenang itu, diam-diam menanggung derita yang tak pernah kami bayangkan.
Selama ini, kami tetangga hanya melihat ujung benang keluarga tertutup, anak-anak pendiam, dan Farah yang keluar masuk rumah sakit. Tapi kami tak menarik benang itu lebih dalam. Karena terlalu takut disebut ikut campur. Karena terlalu percaya bahwa rumah tangga bukan urusan orang lain.
Mengapa Farah Bertahan?
“Cinta dan kesetiaan,” jawabnya di depan hakim, katanya.
Cinta yang membuatnya menelan semua siksaan, dan kesetiaan yang menahannya untuk pergi. Tapi ketika dia melihat suaminya menghamili seorang pekerja seks jalanan, ia seperti disiram air keras pada jiwanya bukan hanya tubuhnya yang remuk, tapi cinta itu pun ikut hancur.Dari situlah keberanian lahir, bukan dari luka pertama, kedua, atau keseratus, tapi dari hancurnya harapan yang terakhir.
Apa yang Bisa Dilakukan Tetangga?
Ketika rumah menjadi neraka tersembunyi, seringkali suara penyelamat justru datang dari luar pagar. Maka artikel ini bukan untuk menyalahkan, tapi untuk membangkitkan kesadaran.
Jangan hanya menatap, belajarlah melihat.
Rumah yang terlalu sunyi bisa jadi menyimpan jeritan yang ditahan.
Anak-anak yang tak diizinkan bermain bisa jadi sedang dilatih untuk diam dalam takut.
Buat ruang aman, bukan ruang tanya.
Jangan bertanya kenapa dia tak pergi. Tapi tanyakan: “Kalau kamu butuh tempat, aku ada.”
Beri kepercayaan bahwa dia tidak akan dihakimi, bahwa dia masih punya pilihan.
Berani bicara, tapi bukan menerobos.
Laporkan ke RT, RW, atau layanan perlindungan perempuan jika menduga kekerasan fisik terjadi.
Tidak semua privasi layak dihormati jika menyembunyikan pelanggaran kemanusiaan.
Kenali lembaga pendamping.
Simpan dan sebarkan informasi layanan seperti SAPA 129 atau LBH APIK secara sederhana di grup warga.
Kadang, satu nomor darurat bisa menjadi jembatan antara hidup dan mati.
Keluarga Memang Pribadi, Tapi Kekerasan Adalah Urusan Kita Bersama
Kami semua merasa bersalah. Terlalu lama membungkam kepekaan atas nama sopan santun. Ketika Farah pergi dari rumah itu untuk selamanya, kami baru sadar: diam kami bukan netral, tapi turut menyumbang luka.
Jika Anda membaca ini dan merasa seperti Farah, ketahuilah satu hal.
Kesetiaan tidak layak dibalas dengan luka. Cinta tidak semestinya dibayar dengan rasa takut.
Dan jika Anda tetangga seperti kami, lihatlah sekeliling dengan mata hati. Jangan menunggu sampai sidik jari pelaku tercium dari dokumen pengadilan.
Kadang, keberanian seseorang lahir dari satu suara tetangga yang berkata,
“Aku percaya kamu, dan aku di sini.”
Makassar, Mei 2025
May 19, 2025 at 12:30 pm
Mukminin
Keren sekali