Dari Changi ke Kampung Makassar

Dari Changi ke Kampung Makassar
Oleh: Telly D.
Hari ini, Nadhira sayang, nenek menulis perjalanan kita yang sangat membahagiakan; dari negeri singa ke tanah leluhur ayahmu, Makassar tercinta. Setelah hampir sebulan nenek tinggal di Singapura, akhirnya waktunya tiba untuk kembali ke Indonesia. Tapi kali ini berbeda dari biasanya. Hati nenek terasa hangat dan penuh warna, karena kamu, cucu kecil nenek yang cerdas dan ceria, ikut serta dalam perjalanan ini bersama ayahmu.
Pagi itu, kita berangkat ke Bandara Changi. Keluarga Singapore ikut mengantar; Ato Abah, nenek Sa’adah, aunty Yani, aunty Nami, aunty Mira, dan uncle Samy. Ibumu juga ikut mengantar sampai bandara. Aku tahu betapa berat baginya melepasmu, tapi ia tetap tersenyum, menyalami dan mendoakan perjalanan kita.
Di tengah keramaian, suara kecilmu mencuri perhatian. Kamu bernyanyi lirih, “Nak balek kampong… oh oh oh…”mengikuti jingle lagu hari raya yang lagi di viralkan di televisi, dengan nada yang lucu dan penuh semangat. Ketika ditanya, “Kampong mana?” kamu menjawab penuh keyakinan, “Makassar!” seolah kampung itu sudah kamu kenal dengan baik dan surga kecil yang memanggilmu pulang.
Kamu bergerak ke sana ke mari, tak henti menebar keceriaan. Di sebuah sudut bandara, ada pajangan becak tua, lambang perjalanan masa lalu. Dengan mata bersinar, kamu minta naik. Duduk di atas becak itu, kamu seolah sedang menyusuri jalan kenangan Makassar sebelum kaki mungilmu benar-benar menginjaknya. Momen itu tentu saja nenek abadikan dalam foto. Kamu memang punya cara unik menikmati dunia, bahkan dari sepotong pajangan pun kamu bisa merangkai cerita.

Nadhira, Kakek Ato Abah dan Nenek Saadah di Bandara Changi Singapura. Foto: Dokumen Pribadi
Saat menunggu di gate keberangkatan, kamu melihat moving walkway, lantai berjalan yang memanjakan langkah penumpang bandara. Tapi kamu tidak hanya melangkah… kamu berlari, bolak-balik, seperti menari di atas angin.
Setiap melewati kami, kamu meneriakkan “Bye-bye!” sambil melambaikan tangan. Orang-orang di sekitar nenek tersenyum, ada yang tertawa kecil, mungkin mengingat masa kecil mereka yang telah jauh.
Nadhira, dalam kelucuanmu, kamu telah jadi pelakon utama pagi itu, mempertemukan tawa orang asing yang tidak saling kenal berbeda bangsa dalam satu ruang tunggu.

Nadhira Berlari-lari pada moving walkway Sambil Meneriakkan “Bye-bye!”Kepada Kakek dan Nenek di Bandara Changi Singapura. Foto: Dokumen Pribadi
Awalnya, nenek sempat khawatir, “Bagaimana nanti di pesawat? Akankah Nadhira rewel? Atau menangis karena bosan?” Tapi kekhawatiran nenek ternyata tak beralasan. Begitu kamu duduk, kamu hanya minta botol susu, menyandarkan badanmu di pangkuan ayahmu, dan minum pelan-pelan. Tak lama, suara dengkur halusmu menjadi musik tenang di telinga nenek. Tiga jam perjalanan terasa seperti tiga menit, kamu tertidur nyenyak sampai kita mendarat. Ah, ternyata benar kata ayah dan ibumu, kamu ini traveler sejati.

Nadhira Bersama Kakek, Nenek dan Ayah Ifat Masuk ke Ruang Tunggu Bandara Changi Singapura. Foto: Dokumen Pribadi
Kamu yang sering diajak traveling, ada satu hal menarik, sayang; kamu belajar banyak dari perjalanan. Bukan hanya melihat tempat baru, tapi juga belajar ritme kapan harus riang, kapan harus diam, kapan waktunya bermain dan kapan waktunya beristirahat. Anak-anak yang dibiasakan bepergian seperti kamu, biasanya lebih mudah beradaptasi, lebih sabar dalam menunggu, dan tahu cara mengelola rasa penasaran dengan cara yang sehat. Perjalanan menjadi guru tanpa papan tulis, dan kamu adalah murid kecil yang penuh semangat belajar.
Akhirnya, kita tiba di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Udara terasa berbeda, lebih lembap, lebih akrab. Saat kakimu menginjak tanah ini, nenek bisa melihat rasa penasaranmu kembali tumbuh. Kita langsung menuju rumah induk utama tempat nenek dibesarkan. Puang Ina membawamu bertemu dengan kakek buyutmu, Puang Bapak. Rumah itu riuh oleh suara tawa dan sambutan hangat. Semua ingin mencium, memeluk, dan melihat langsung “Nadhira dari Singapore” itu.

Nadhira Mencoba Naik Becak Yang Ada di Ruang Keberangkatan Bandara Changi Singapura. Foto: Dokumen Pribadi
Akhirnya perjalanan panjang ini kita sudahi dengan ke rumah induk kita tempat ayahmu dibesarkan. Kamu berdiri di tengah, diam sebentar, lalu berbisik, “Whose house is this?”
Atok Ida tertawa, menjawab pelan, “This is Nadhira’s house.” Sejak saat itu, setiap kali Nadhira bercerita tentang rumah, kamu selalu berkata, “That’s my Makassar house,” lalu kamu tambahkan, “Not Singapore house.” Itulah caramu memberi identitas, membedakan dunia kecilmu dengan dunia yang lain.
Nenek belajar satu hal penting hari ini: seorang anak mencatat pengalaman dalam ingatan, dan menanamkan makna lewat kata-katanya. Ketika kamu menyebut rumah nenek sebagai “Nadhira’s house,” itu bukan sekadar lelucon. Itu cara batinmu menandai rasa kepemilikan, rasa terhubung, dan rasa diterima. Rumah itu telah jadi bagian dari duniamu.
Rumah sejati bukan hanya di mana kita tinggal, tapi di mana cinta dan tawa kecil selalu ingin kembali.
Makassar, 23 April 2025
Leave a Reply