Mas Kecil yang Bermimpi Besar

Mas Kecil yang Bermimpi Besar
Oleh: Telly D.
Setiap sore dan pagi, ada seorang anak laki-laki kecil yang selalu melintas di teras depan kamar tempat saya menginap. Anak itu masih sangat muda, sekitar tujuh tahun, dengan tubuh kurus, rambut kriting kulit sawo matang khas anak kampung di sini.
Namun, ada sesuatu yang menarik dari dirinya setiap kali melintas, ia tak pernah lupa untuk menyapa saya dengan penuh hormat. “Selamat pagi!” atau “Selamat sore!” selalu meluncur dari bibirnya dengan suara riang. Betapa sopannya. Saya pun penasaran, anak siapakah dia yang bisa bebas berkeliaran di lingkungan industri yang begitu terjaga ketat ini?
Setelah bertanya kepada beberapa orang, akhirnya saya mengetahui bahwa dia adalah anak salah seorang staf yang bertugas menjaga mesin pendingin industri. Jika ayahnya mendapat giliran tugas malam, anak kecil ini akan ikut menemani. Begitulah akhirnya saya berkenalan dengannya, dan seperti orang-orang di sekitarnya, saya tetap memanggilnya “Mas” yang saya tidak pernah tahu kepanjangan dari nama itu.
Hari-hari berlalu, dan hubungan kami semakin akrab. Mas menjadi sahabat kecil saya, terutama saat saya sedang menanam di halaman atau di terase rumah. Sambil bercocok tanam, kami sering mengobrol tentang banyak hal, termasuk keluarganya. Rupanya, Mas adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara! Saya bisa membayangkan betapa ramainya rumahnya dengan kakak-kakaknya yang lebih besar.
Namun, satu hal yang selalu mengganggu pikiran saya setiap kali kami mengobrol adalah cita-citanya. Dengan penuh keyakinan, Mas selalu mengatakan bahwa ia ingin menjadi pilot. Saya terkejut sekaligus penasaran. Mengapa bukan menjadi kapten kapal yang menjelajahi nusantara? Bukankah darah nenek moyangnya, yang seorang pelaut, mengalir dalam dirinya? Bahkan ayahnya, sebelum bekerja di darat, adalah seorang pelaut ulung.

Mas Kecil Mencoba Mejalankan Sekoci Dengan Lincah. Foto: Dokumen Pribadi
Saya pun tergelitik untuk menguji apakah hatinya bisa terpaut pada laut. Suatu hari, saya mengajaknya naik sekoci dan memberikan kesempatan kepadanya untuk memegang kemudi. Awalnya, ia tampak ragu-ragu, tetapi ketika saya menyemangatinya, rasa percaya dirinya tumbuh. Saya berkata, “Mas, lihat! Kamu sudah berani mengendalikan sekoci ini! Banyak orang dewasa yang bahkan takut mencobanya!”
Matanya berbinar. Saya bisa melihat kebanggaan yang terpancar dari wajahnya saat tangannya dengan lincah menggerakkan kemudi. Kesenangan itu begitu nyata, dan ia tertawa lepas menikmati momen itu. Dalam hati, saya berpikir bahwa mungkin saya bisa terus melakukan hal ini agar keberanian dan kecintaannya terhadap lautan tetap terpelihara.
Setelah hari itu, saya akan semakin sering mengajaknya bermain di sekitar kapal dan membiarkannya mengeksplorasi lebih jauh tentang dunia maritim. Siapa tahu, suatu saat nanti, ia akan berubah pikiran dan mengikuti jejak ayah serta leluhurnya. Tapi jika tidak, jika ia tetap ingin menjadi pilot, saya tetap bangga padanya. Yang terpenting, saya ingin Mas tumbuh menjadi anak yang berani, percaya diri, dan pantang menyerah dalam menggapai mimpinya.
Dan setiap kali ia melintas di teras, saya tahu bahwa di balik tubuh kurusnya, ada jiwa besar yang siap menaklukkan dunia.
Sorong, 6 Janhuari 2025
Leave a Reply