Mentari, Laut, dan Dermaga Kecil

Mentari, Laut, dan Dermaga Kecil
Oleh: Telly D.
Pinggiran pantai tempatku berdiri di samping ruang bagi industri pembekuan udang yang menghubungkan hasil laut dengan negeri-negeri jauh seperti Jepang dan Korea, juga panggung pementasan bagi tarian alam yang tak pernah gagal memukauku.
Di sinilah, setiap pagi, aku berdiri di dermaga kecil. Angin laut menyapa wajahku lembut, seolah ingin membisikkan rahasia waktu yang mengalir abadi. Mentari terbit lebih dulu di ufuk timur, memberi kami anugerah menjadi saksi awal cahayanya, sebelum menyebar ke wilayah tengah dan barat Nusantara.
Dermaga kecil ini adalah titik temu antara nelayan yang membawa hasil tangkapan mereka dan para pekerja yang menanti bahan baku untuk diolah di pabrik. Namun bagiku, tempat ini lebih dari sekadar area kerja. Dermaga ini adalah tempatku merenung, melayarkan pikiranku melintasi horizon, dan berdialog dengan Sang Maha Kuasa.
Ketika mentari mulai beranjak dari peraduannya, cahayanya menerobos riak-riak air laut, memantulkan kilauan emas yang menari di atas permukaan. Setiap sinarnya bagaikan pena yang menulis keindahan pada langit biru dan samudra yang membentang.
Aku selalu berpikir, betapa indahnya ketetapan Allah yang menciptakan siklus ini dengan begitu sempurna. Matahari seolah bekerja tanpa lelah, menjalankan perintah Tuhannya untuk menerangi semesta, memberikan energi kepada makhluk hidup, dan mengatur ritme alam. Aku merasa kecil, namun sekaligus berarti, menjadi saksi atas tugas besar alam ini.
Aku bangga menjadi bagian dari wilayah timur negeri ini. Di sini, kami lebih awal menerima cahaya, seakan-akan diberi kepercayaan untuk memulai kehidupan lebih dulu. Aku sering membayangkan saudara-saudaraku di barat yang mungkin masih terlelap ketika kami sudah bekerja. Namun, tidak ada rasa superior; ini adalah simbol harmoni, bahwa kita semua saling melengkapi dalam menjalani roda kehidupan. Mentari tidak pernah membeda-bedakan, ia tetap menyinari semua, entah kita berada di timur, tengah, atau barat.

Sore di Dermaga Kecil. Foto: Dokumen Pribadi
Dermaga kecil ini juga adalah saksi dari segala kesibukan dan keheningan. Saat pagi tiba, hiruk-pikuk nelayan dan pekerja pabrik menjadi simfoni yang membaur dengan debur ombak. Udang-udang segar yang ditangkap dari perairan yang kaya ini segera diolah, membeku dalam waktu yang begitu singkat, lalu berlayar menuju negeri-negeri jauh, menjadi simbol kerja keras kami yang tersimpan dalam setiap kotaknya.

Senja di Dermaga Kecil. Foto: Dokumen Pribadi
Namun, bukan hanya manfaat material yang kudapat di tempat ini. Dermaga ini mengajarkanku tentang makna keberlanjutan. Laut tidak pernah berhenti memberi, selama manusia tahu cara menjaga. Matahari tidak pernah lelah menyinari, selama manusia tahu cara bersyukur. Dan aku, sebagai salah satu rantai kecil dalam roda besar ini, merasa diberkahi untuk menjalani kehidupan yang selaras dengan alam.
Ketika senja mulai menjelang, pemandangan di dermaga berubah. Matahari perlahan tenggelam ke dalam lautan, seperti seorang pekerja yang kembali ke rumah setelah menuntaskan tugas panjangnya. Langit berubah warna, dari jingga keunguan, dan kemudian menjadi gelap dengan bintang-bintang sebagai penerangnya. Dalam Islam, senja adalah waktu yang mengingatkan kita akan akhir perjalanan. Matahari yang tenggelam adalah analogi kehidupan yang memiliki batas waktu, sementara malam adalah fase menuju keabadian.
Di saat-saat seperti ini, aku sering merenung. Kehidupan di dunia ini sebenarnya tidak berbeda jauh dari perjalanan matahari. Setiap kita memiliki tugas yang harus ditunaikan. Seperti matahari yang terus bergerak di orbitnya tanpa henti, manusia pun diberi amanah untuk mengabdi kepada Allah dan memberi manfaat bagi sesama. Dermaga ini mengajarkanku untuk tidak pernah lelah menunaikan tugas, meskipun terkadang sulit dan melelahkan.
Dalam perspektif Islam, alam adalah tanda-tanda kebesaran Allah (ayat kauniyah) yang mengingatkan manusia untuk merenung dan bersyukur. “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, sebagai rahmat dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir” (QS. Al-Jatsiyah: 13). Setiap pagi dan senja di dermaga ini adalah pengingat bahwa Allah telah menyediakan rezeki yang melimpah bagi hamba-Nya, tetapi rezeki itu tidak akan datang begitu saja tanpa usaha dan doa.

Menjelang Matahari Terbenam dari Dermaga Kecil. Foto: Dokumen Pribadi
Aku belajar bahwa pekerjaan yang kulakukan, meski sederhana, adalah bagian dari ibadah. Membantu mengolah hasil laut, yang merupakan anugerah Allah, untuk dinikmati oleh manusia di berbagai belahan dunia, adalah wujud kontribusi kecilku dalam menciptakan kebermanfaatan. Allah tidak memandang besar kecilnya pekerjaan, tetapi niat dan usaha yang kita lakukan dengan ikhlas.

Menikmati Senja dari Dermaga Kecil. Foto: Dokumen Pribadi
Dermaga kecil ini adalah sekolah kehidupan. Ia mengajarkan kesederhanaan, ketekunan, dan kebersyukuran. Setiap kali aku berdiri di sini, baik saat pagi maupun senja, aku merasa seolah-olah tengah berbicara dengan alam yang menjadi perantara dialogku dengan Sang Pencipta. Laut yang tenang mengingatkanku pada pentingnya ketenangan hati, matahari yang bersinar adalah pengingat untuk selalu memberi manfaat, dan senja yang indah adalah pelajaran bahwa setiap akhir perjalanan adalah pintu menuju awal yang baru.
Hidup ini, seperti matahari yang terbit dan tenggelam, adalah rangkaian tugas yang harus ditunaikan. Dermaga ini menginspirasiku untuk menjalani setiap harinya dengan penuh syukur dan semangat, dengan keyakinan bahwa apa pun yang kulakukan, selama itu untuk kebaikan, akan menjadi bekal yang berharga, tidak hanya untuk dunia, tetapi juga untuk akhirat. Sebab, di balik setiap pekerjaan yang dilakukan dengan hati dan niat yang tulus, ada keindahan yang lebih besar menanti di hadapan Sang Maha Pencipta.
Dermaga Kecil Sorong, 29 Januari 2025
Leave a Reply