Istidraj: Nikmat yang Menyesatkan
Istidraj: Nikmat yang Menyesatkan
Oleh: Telly D.
“Kemewahan tanpa kesyukuran adalah jalan menuju kehancuran, hati yang buta oleh nikmat takkan mampu melihat hikmah.”
Dalam perjalanan hidup, nikmat sering kali tampak seperti hujan yang menyirami tanah gersang, memberi harapan dan kehidupan. Namun, ada nikmat yang menyerupai fatamorgana terlihat indah dari kejauhan, tetapi membawa kehancuran saat didekati. Inilah istidraj, sebuah pemberian dari Allah yang tidak disertai ridha-Nya, melainkan sebagai bentuk ujian atau hukuman tersembunyi. Nikmat ini, meskipun tampak menggiurkan, adalah tali yang mempererat jerat kehancuran bagi mereka yang lalai dan berpaling dari-Nya.
Istidraj adalah fenomena ketika seseorang yang terus berbuat dosa justru mendapatkan kemudahan, kekayaan, atau kejayaan yang luar biasa. Namun, ini bukanlah tanda cinta Allah, melainkan peringatan halus yang diselimuti oleh kelembutan duniawi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba.” (QS. Al-An’am: 44).
Analoginya seperti seseorang yang terus dihidangkan makanan lezat di atas meja, sementara di bawahnya terdapat jebakan yang perlahan mengunci. Kemewahan itu hanyalah umpan yang membawa pelakunya semakin jauh dari kesadaran akan keberadaan Allah.
Istidraj adalah bentuk keadilan Allah yang tidak langsung, diberikan kepada orang-orang yang keras hati, menolak kebenaran, dan enggan bertobat. Mereka lupa bahwa dunia ini hanyalah persinggahan sementara. Dalam kesombongan dan keangkuhan, mereka merasa nikmat yang mereka dapatkan adalah buah dari usaha dan kecerdasan sendiri. Mereka lupa, dalam narasi kehidupan, Allah adalah Sang Sutradara, dan mereka hanya memainkan peran yang telah ditetapkan-Nya.
Pernahkah kita melihat pemimpin yang terus meraup kekayaan, meskipun korupsi telah menjadi darah dalam tubuhnya? Atau selebriti yang hidup bergelimang kemewahan, namun jauh dari nilai-nilai agama? Istidraj terjadi ketika kemudahan dan keberhasilan yang mereka nikmati menjadi penguat kebiasaan buruk mereka, seperti racun manis yang perlahan tapi pasti menggerogoti.
Istidraj bukan hanya membutakan mata hati tetapi juga menghancurkan jiwa dan masyarakat. Nikmat duniawi yang tak dibarengi dengan rasa syukur dan kesadaran hanya akan melahirkan kesombongan, kerakusan, dan kehampaan.
Orang yang terkena istidraj sering kali kehilangan kemampuan untuk melihat kebenaran. Hati mereka mengeras, seperti tanah yang tak lagi dapat menyerap air. Nikmat yang mereka miliki menjadi hijab yang menutupi dosa-dosa mereka.
Sebagai contoh, seorang sosialita yang selalu menjadi sorotan media dengan gaya hidup mewah sering kali lupa bahwa kekayaan itu hanyalah titipan. Mereka membangun kastil di atas pasir, rapuh dan mudah runtuh. Tidak jarang, di balik senyuman penuh glamor, tersembunyi kehampaan dan depresi yang mendalam.
Istidraj menciptakan ilusi bahwa dunia adalah tujuan akhir. Hal ini membuat seseorang terjebak dalam perlombaan tanpa akhir untuk mendapatkan lebih banyak harta, kekuasaan, atau popularitas. Mereka lupa bahwa kehidupan sejati adalah kehidupan setelah mati.
Contoh nyata adalah beberapa pemimpin negara yang memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri, bahkan ketika rakyatnya menderita. Kekuasaan mereka tampak tak tergoyahkan, tetapi seperti gunung es, kehancuran mereka sering kali dimulai dari dalam, hingga akhirnya runtuh tanpa peringatan.
Nikmat istidraj adalah kutukan yang perlahan menjauhkan seseorang dari Allah. Seperti seseorang yang tersesat di padang pasir, mereka terus berjalan tanpa arah, tanpa menyadari bahwa mereka semakin menjauh dari sumber air.
Mari kita renungkan nasib beberapa selebriti terkenal yang hidupnya berakhir tragis, meskipun kekayaan dan popularitas mereka tak terbayangkan. Di balik lampu sorot dan kemegahan karpet merah, mereka jatuh ke dalam lubang gelap narkoba, skandal, atau bahkan bunuh diri. Keadaan mereka mengingatkan kita pada firman Allah: “Ketahuilah bahwa kehidupan dunia ini hanyalah permainan, hiburan, perhiasan, dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak keturunan.” (QS. Al-Hadid: 20).
Begitu pula, para pemimpin yang jatuh karena korupsi besar-besaran menunjukkan bahwa nikmat yang tidak disyukuri akan menjadi bumerang. Istidraj tidak hanya menghancurkan mereka, tetapi juga menyisakan kerusakan sosial yang luas, seperti kepercayaan masyarakat yang hancur.
Istidraj adalah peringatan bagi kita agar tidak terlena oleh kenikmatan dunia. Setiap kali kita diberi nikmat, baik itu kekayaan, kesehatan, atau kesuksesan, kita harus bertanya kepada diri sendiri: apakah ini mendekatkan kita kepada Allah atau menjauhkan kita dari-Nya?
Hujan nikmat yang terus menerus mengguyur tanpa kita gunakan untuk menyirami iman dan kebaikan bisa menjadi banjir yang menghanyutkan kita ke jurang kehancuran. Oleh karena itu, jadikan setiap nikmat sebagai pengingat akan kebesaran Allah, bukan alasan untuk melupakan-Nya. Hanya dengan rasa syukur, keikhlasan, dan kesadaran akan kefanaan dunia, kita bisa mengubah nikmat menjadi berkah, bukan istidraj.
Dalam perjalanannya, dunia ini memang penuh godaan, tetapi ingatlah, kebahagiaan sejati bukan terletak pada seberapa banyak yang kita miliki, melainkan seberapa dekat kita dengan Sang Pemilik Segala.
Makassar, 10 Desember 2024
Leave a Reply