Ilmu Tanpa Adab, Seperti Pedang Tanpa Pemegang
Ilmu Tanpa Adab, Seperti Pedang Tanpa Pemegang
oleh Telly D.
“Dengan ilmu, manusia dapat meraih langit; dengan adab, ia menjaga bumi tetap damai.”
Di era modern ini, pembicaraan mengenai ilmu dan adab menjadi semakin relevan. Ilmu dan adab sering dianggap sebagai dua entitas yang terpisah, padahal keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Ilmu, dengan segala kecanggihannya, memberikan kita pemahaman tentang dunia, sementara adab mengajarkan kita bagaimana menggunakan pengetahuan itu dengan bijaksana. Namun, dalam dunia yang terus berkembang, sering kali kita melihat ilmu berkembang pesat tanpa diimbangi dengan perkembangan adab yang setara. Jika ilmu diibaratkan sebagai pedang yang tajam, maka adab adalah tangan yang memegangnya. Tanpa tangan yang bijaksana, pedang itu hanya akan menghancurkan.
Untuk memahami mengapa adab lebih tinggi daripada ilmu, mari kita lihat sebuah analogi. Bayangkan ilmu sebagai api, yang dapat menerangi kegelapan, memberikan kehangatan, bahkan memasak makanan untuk kelangsungan hidup. Namun, jika api itu tidak dikendalikan, ia bisa menghancurkan rumah dan segala isinya. Di sinilah adab berperan sebagai pemadam kebakaran yang mengendalikan api. Tanpa adab, ilmu bisa menjadi alat yang merusak, sedangkan adab tanpa ilmu bisa menjadi kebodohan yang buta. Keduanya harus berjalan beriringan, satu melengkapi yang lain.
Dalam bukunya “The Road to Character“, David Brooks menekankan pentingnya karakter dalam kehidupan manusia, yang tercermin dalam adab. Brooks menyatakan bahwa kemajuan intelektual dan material yang kita capai sering kali tidak cukup untuk menjamin kebahagiaan dan kedamaian. Tanpa karakter dan adab, kita bisa meraih banyak hal, namun hati kita tetap kosong. Hal ini menggarisbawahi pentingnya menyeimbangkan ilmu dengan adab, agar apa yang kita capai tidak hanya berguna secara praktis, tetapi juga membawa kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain.
Mengapa Adab Lebih Penting di Era Ini?
Di zaman sekarang, kita hidup dalam dunia yang penuh dengan perubahan teknologi yang cepat dan informasi yang melimpah. Kemajuan dalam bidang sains dan teknologi membuat ilmu berkembang begitu pesat. Namun, di balik itu semua, kita sering menyaksikan bagaimana ilmu digunakan tanpa pertimbangan moral yang memadai. Teknologi yang diciptakan untuk memudahkan hidup malah digunakan untuk mengeksploitasi orang lain. Ilmu pengetahuan yang sangat canggih, seperti kecerdasan buatan (AI) dan algoritma media sosial, sering kali disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, menebar kebohongan, atau merusak reputasi orang lain.
Contoh yang nyata adalah dalam dunia media sosial. Di satu sisi, media sosial memberi ruang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman yang bermanfaat. Namun, di sisi lain, platform ini juga sering digunakan untuk menyebarkan kebencian, hoaks, dan informasi yang menyesatkan. Ini adalah contoh bagaimana ilmu, dalam bentuk teknologi, dapat dipakai dengan cara yang merugikan jika tidak dibarengi dengan adab—nilai moral yang mengarahkan kita untuk bertindak dengan penuh tanggung jawab.
Sebagai contoh lagi, di bidang kedokteran, seorang dokter yang ahli dalam ilmu medis tetapi kurang memiliki empati atau adab dalam berinteraksi dengan pasien, tidak akan mendapatkan kepercayaan penuh dari pasiennya. Sebaliknya, seorang dokter yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki adab yang baik, akan lebih dihargai dan dipercayai. Hal ini menggambarkan bahwa adab adalah elemen penting yang menentukan sejauh mana ilmu dapat diterima dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Adab bukan hanya tentang aturan sopan santun, tetapi juga mencakup nilai-nilai moral yang menjadi pedoman dalam menggunakan ilmu. Imam Al-Ghazali, seorang cendekiawan Muslim besar, dalam bukunya “Ihya’ Ulum al-Din” menyatakan bahwa ilmu tanpa adab adalah ilmu yang tidak sempurna. Seorang yang berilmu tanpa adab akan mudah sombong, merasa lebih unggul dari orang lain, dan akhirnya ilmu itu akan menjadi berbahaya.
Adab memberikan kita panduan moral untuk menggunakan ilmu dengan tujuan yang benar dan untuk kebaikan bersama. Tanpa adab, ilmu bisa menjadi alat untuk menindas atau merusak. Contohnya, dalam dunia politik, seorang pemimpin yang berilmu namun tidak beradab bisa menggunakannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok, merugikan masyarakat banyak. Sementara itu, pemimpin yang beradab akan menggunakan ilmunya untuk kesejahteraan bersama, menjaga integritas, dan menghormati hak orang lain.
Buku “The Seven Habits of Highly Effective People” karya Stephen R. Covey memberikan contoh yang relevan mengenai pentingnya adab dalam kepemimpinan dan hubungan antar manusia. Covey menekankan bahwa untuk menjadi pribadi yang efektif, kita harus memiliki karakter yang kuat, yang mencakup nilai-nilai seperti integritas, rasa hormat, dan tanggung jawab. Tanpa adab yang kuat, ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan membawa dampak positif dalam jangka panjang. Oleh karena itu, adab harus menjadi bagian dari pendidikan dan pembentukan karakter sejak dini, agar ilmu yang diperoleh dapat digunakan dengan bijaksana.
Pada akhirnya, ilmu dan adab adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Ilmu memberikan kita kemampuan untuk memahami dunia dan menciptakan kemajuan, sementara adab memberikan kita kompas moral yang memastikan bahwa ilmu digunakan dengan bijaksana dan bertanggung jawab. Di era yang serba cepat ini, adab lebih penting dari sebelumnya, karena tanpa adab, ilmu hanya akan menjadi pedang yang menghancurkan. Oleh karena itu, menanamkan nilai-nilai adab dalam pendidikan dan kehidupan sehari-hari adalah langkah penting untuk menciptakan dunia yang lebih baik, di mana ilmu digunakan untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk merusak.
Makassar, 10 Desember 2024
Leave a Reply