Kita Bukan Panci Presto
Kita Bukan Panci Presto
Oleh: Telly D.*)
Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern, tekanan datang seperti hujan di musim badai deras, tanpa jeda, dan terkadang membuat kita merasa tenggelam. Kita sering diperlakukan seperti “alat penahan beban,” diminta bertahan dalam situasi yang membuat kepala sesak dan hati lelah. Namun, mari kita ingat; kita adalah manusia, bukan panci presto
Seperti panci presto yang dirancang untuk menahan tekanan tinggi dan memasak dengan cepat, kehidupan kita sering kali dipaksa bekerja dalam ritme serupa. Tugas datang beruntun, tanggung jawab bertumpuk, dan ekspektasi orang sekitar menjulang seperti gunung es. Sayangnya, manusia bukanlah baja yang kokoh tanpa retak. Kita punya hati yang rapuh, jiwa yang lelah, dan pikiran yang kadang limbung.
Emily dan Amelia Nagoski, dalam buku Burnout: The Secret to Unlocking the Stress Cycle, menjelaskan bahwa tekanan yang terus-menerus tanpa jeda bukan hanya membuat kita merasa lelah, tetapi juga merusak keseimbangan tubuh dan pikiran. Manusia membutuhkan ruang untuk bernapas seperti sungai yang perlu aliran bebas untuk tidak menjadi rawa yang tergenang.
Tekanan hidup, seperti api pada panci presto, dapat bermanfaat jika terkontrol. Ia membantu kita menjadi produktif, memberikan dorongan untuk bertahan, dan kadang-kadang membuat kita menemukan kekuatan yang tersembunyi. Namun, jika api terlalu besar dan tekanan dibiarkan terus meningkat tanpa pelepasan, hasilnya bisa fatal.
Bahkan Bessel van der Kolk, dalam The Body Keeps the Score mengibaratkan tubuh manusia seperti gudang emosi. Setiap rasa marah, sedih, atau takut yang tidak diolah akan tersimpan dan, lambat laun, meledak dalam bentuk penyakit fisik atau mental. Inilah yang sering terjadi ketika kita tidak tahu kapan harus berhenti menahan beban.
Bayangkan jika diri kita sebagai sebuah jembatan. Jembatan yang menopang kendaraan ringan mungkin akan bertahan bertahun-tahun, tetapi jika truk bermuatan berat lewat terus-menerus tanpa henti, jembatan itu pasti akan retak. Demikian pula manusia. Kita membutuhkan waktu untuk memperbaiki diri sebelum retakan kecil menjadi keruntuhan besar.
Filosofi ini tercermin dalam ajaran Jepang tentang ikigai, yang dijelaskan dalam buku Ikigai: The Japanese Secret to a Long and Happy Life. Konsep ini mengajarkan pentingnya menemukan tujuan hidup yang seimbang, di mana pekerjaan, hobi, hubungan sosial, dan istirahat saling melengkapi. Seperti bunga yang mekar sempurna di taman, hidup yang seimbang adalah hidup yang indah dan bermakna.
Alam memberi kita pelajaran sederhana tentang pelepasan. Lihatlah pohon saat musim gugur. Ia rela melepaskan daunnya yang kering untuk mempersiapkan diri menghadapi musim dingin. Kita juga perlu melepaskan beban yang tidak lagi berguna agar tidak menjadi korban dari tekanan yang kita ciptakan sendiri.
Sejalan dengan hal itu, Greg McKeown, Dalam Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less mengajak manusia untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar penting. Melepaskan tugas yang tidak relevan dan ekspektasi yang berlebihan bukanlah tanda kelemahan, tetapi kebijaksanaan. Seperti kata pepatah, “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Namun, jika beban terlalu berat, berbagi adalah solusinya.
Dalam budaya kerja modern, istirahat sering kali dipandang sebagai kemewahan, bahkan dosa. Kita merasa bersalah jika meluangkan waktu untuk diri sendiri. Padahal, istirahat adalah bentuk perawatan diri yang paling mendasar.
Brené Brown, Dalam The Gifts of Imperfection memandang istirahat sebagai cara untuk mengisi kembali energi emosional, fisik, dan spiritual.
Pikirkan tentang baterai ponsel kita. Ketika daya baterainya hampir habis, kita tidak memaksanya untuk bekerja. Kita mengisi ulang daya agar perangkat itu bisa berfungsi optimal. Demikian juga dengan manusia. Kita tidak bisa terus memaksakan diri tanpa memberi waktu untuk mengisi ulang energi.
Dunia tidak akan berhenti memberikan tekanan. Akan selalu ada tuntutan pekerjaan, harapan keluarga, dan ekspektasi sosial. Tetapi kita bisa belajar untuk mengatakan “cukup” ketika beban terasa tak tertahankan. Seperti pepatah, “hidup itu seperti roda pedati, kadang di atas, kadang di bawah.” Ketika kita di bawah tekanan, ingatlah bahwa itu bukan tempat yang permanen.
Mengelola tekanan bukan berarti melarikan diri darinya, tetapi belajar untuk menyesuaikan diri tanpa kehilangan keseimbangan. Kita bisa mencari dukungan dari orang-orang terpercaya, melatih kebiasaan positif, dan, yang terpenting, menerima bahwa kita bukanlah alat penahan beban.
Kita adalah manusia bukan mesin, bukan baja, dan tentu saja bukan panci presto. Kita hidup dengan hati, jiwa, dan pikiran yang saling terhubung. Jangan biarkan tekanan hidup merampas kemanusiaan kita. Ambillah waktu untuk bernapas, lepaskan beban yang tidak perlu, dan nikmati perjalanan hidup dengan langkah yang lebih ringan.
Seperti sungai yang mengalir ke lautan, mari belajar mengalirkan tekanan, bukan menahannya. Sebab, pada akhirnya, hidup bukanlah tentang seberapa banyak tekanan yang bisa kita tanggung, melainkan seberapa baik kita merawat diri untuk tetap utuh. Karena kita manusia, bukan alat penahan beban.
Makassar, Desember 2024
“) Telly D. nama pena dari Daswatia Astuty seorang pensiunan, pengiat literasi, pemerhati pendidikan, pekerja sosial kemanusiaan, penasihat komunitas menulis RVL dan penulis dengan 40 judul buku.
Leave a Reply