MAKANAN DALAM SASTRA INDONESIA
MAKANAN DALAM SASTRA INDONESIA
Oleh: Telly D.
Tahukah anda bahwa makanan dalam sastra Indonesia sering kali menjadi elemen yang melampaui sekadar penggambaran latar; ia menyimpan makna mendalam yang mencerminkan tradisi, hubungan antar manusia, dan bahkan kritik terhadap kondisi sosial.
Dalam novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, makanan khas seperti rendang dan dendeng balado menjadi bagian penting dalam melukiskan adat dan budaya Minangkabau. Hidangan ini tidak hanya menggambarkan kekayaan kuliner, tetapi juga mengakar pada nilai-nilai tradisional yang membentuk identitas masyarakat.
Demikian pula dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka, makanan menjadi sarana untuk mempertegas koneksi cerita dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Minang, mencerminkan bagaimana tradisi kuliner menjadi jembatan antara generasi.
Selain sebagai simbol budaya, makanan dalam sastra juga berfungsi sebagai pengikat hubungan antar manusia. Cerpen Nasi Goreng karya Umar Kayam, misalnya, menghadirkan nasi goreng bukan hanya sebagai hidangan sederhana, tetapi juga simbol kehangatan keluarga. Suasana akrab tercipta ketika para karakter berbagi cerita sambil menikmati makanan ini, memperlihatkan bagaimana makanan mampu mengikat hubungan emosional.
Serupa dengan itu, dalam Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, makanan khas Belitung menjadi lambang persahabatan dan perjuangan hidup. Hidangan sederhana seperti mi instan tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari para tokohnya, tetapi juga medium yang menghubungkan mereka di tengah tantangan besar.
Namun, makanan tidak selalu hadir dengan nuansa hangat. Dalam karya-karya seperti Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, makanan menjadi simbol kesenjangan sosial. Ahmad Tohari menggambarkan bagaimana makanan mewah hanya bisa dinikmati oleh tokoh-tokoh tertentu dalam acara khusus, sementara rakyat kecil harus bergelut dengan kemiskinan dan kelaparan. Ini memperlihatkan jurang yang dalam antara kelas sosial di masyarakat pedesaan.
Kritik sosial serupa juga ditemukan dalam karya-karya Pramoedya Ananta Toer, seperti Cerita dari Blora. Dalam cerita ini, singkong dan jagung menjadi lambang perjuangan rakyat kecil yang berjuang untuk bertahan hidup. Kesederhanaan makanan ini mencerminkan harapan mereka di tengah keterbatasan.
Makanan dalam sastra Indonesia juga memiliki peran besar sebagai penghubung kenangan. Dalam Para Priyayi karya Umar Kayam, makanan tradisional seperti gudeg dan tempe menghadirkan nostalgia yang membangkitkan memori masa lalu yang penuh kehangatan. Umar Kayam menggunakan makanan untuk membawa pembaca ke suasana lama yang penuh tradisi, di mana hubungan kekeluargaan dan kearifan lokal menjadi inti kehidupan.
Sementara itu, Sapardi Djoko Damono dalam puisinya sering menggunakan elemen makanan sebagai metafora kehidupan yang sederhana tetapi penuh makna, menggambarkan bagaimana hal-hal kecil dalam keseharian dapat mencerminkan keindahan yang mendalam.
Dengan berbagai cara, makanan dalam sastra Indonesia tidak hanya menjadi bagian dari latar cerita, tetapi juga medium untuk menyampaikan emosi, memori, dan kritik sosial. Dari nasi goreng hingga rendang, dari singkong hingga mi instan, makanan adalah simbol kehidupan masyarakat yang kompleks. Kehadirannya dalam sastra menggambarkan bagaimana tradisi, hubungan manusia, dan kondisi sosial terjalin dalam harmoni yang kaya dan mendalam. Makanan bukan sekadar bahan bakar tubuh, tetapi cerminan jiwa masyarakat dan perjalanan hidup mereka.
Pakuwon City, November 2024
Leave a Reply