MAKANAN DALAM KARYA SASTRA DUNIA
MAKANAN DALAM KARYA SASTRA DUNIA
Oleh: Telly D.
Makanan bukan hanya tentang rasa; ia menyimpan makna yang lebih dalam, dalam kehidupan kita termasuk dalam karya sastra. Dalam tulisan-tulisan besar dunia, makanan sering menjadi simbol memori, cinta, konflik, atau bahkan kritik sosial. Dari secangkir teh dengan kue sederhana hingga hidangan mewah yang penuh kemegahan, makanan dalam sastra berbicara tentang cerita manusia dan hubungan mereka dengan dunia
Berikut adalah beberapa contoh makanan yang memainkan peran penting dalam karya sastra klasik.
Dalam novel In Search of Lost Time karya Marcel Proust, makanan menjadi alat untuk menggali kenangan yang dalam. Adegan ikonik muncul ketika narator mencelupkan sepotong madeleine kue kecil khas Prancis ke dalam teh hangat. Rasa dan aroma kue itu memicu gelombang nostalgia, membawa narator kembali ke masa kecilnya di Combray. Bagi Proust, makanan adalah pintu menuju kenangan yang tersimpan di alam bawah sadar, sebuah cara untuk menghubungkan masa kini dengan masa lalu. Hal ini menunjukkan bahwa makanan tidak hanya memuaskan rasa lapar, tetapi juga memiliki kemampuan untuk membangkitkan kenangan yang melampaui waktu.
Sementara itu, di Oliver Twist karya Charles Dickens, makanan atau kekurangannya menjadi simbol perjuangan sosial. Adegan paling terkenal adalah ketika Oliver meminta lebih banyak bubur di panti asuhan. Permintaan sederhana ini menjadi simbol kelaparan dan ketidakadilan sosial yang dihadapi anak-anak yatim piatu. Sebaliknya, Dickens juga menggambarkan meja makan penuh hidangan mewah di rumah-rumah orang kaya, memperlihatkan jurang yang dalam antara kelas sosial. Makanan dalam karya ini menjadi cara Dickens untuk menyoroti ketidaksetaraan sosial dan dampaknya terhadap kehidupan manusia.
Dalam The Metamorphosis karya Franz Kafka, makanan digunakan untuk menggambarkan keterasingan dan penolakan. Ketika Gregor Samsa berubah menjadi serangga raksasa, ia mulai memakan sisa-sisa makanan busuk di lantai. Keluarganya, yang awalnya memberinya makanan dengan enggan, semakin lama semakin mengabaikannya. Makanan di sini mencerminkan penurunan martabat Gregor dan hubungan yang semakin memburuk antara dirinya dan keluarganya. Dalam karya Kafka, makanan menjadi simbol keterasingan manusia dari masyarakat dan keluarganya sendiri.
Berbeda dari kisah suram Kafka, Like Water for Chocolate karya Laura Esquivel memberikan makanan peran sentral sebagai ekspresi cinta dan emosi. Dalam novel ini, Tita, sang tokoh utama, menuangkan perasaannya ke dalam setiap hidangan yang ia masak. Emosi-emosi itu, seperti cinta, kebahagiaan, atau kesedihan, kemudian memengaruhi orang-orang yang memakannya. Misalnya, ketika Tita memasak hidangan nasi yang dipenuhi kesedihan, para tamu yang memakannya ikut merasa melankolis. Esquivel menggunakan makanan untuk menunjukkan bahwa emosi dapat ditransfer melalui tindakan sehari-hari, bahkan memasak.
Tidak ketinggalan, karya klasik seperti The Grapes of Wrath oleh John Steinbeck menggambarkan makanan sebagai simbol perjuangan dan pengorbanan. Dalam kisah keluarga Joad yang berjuang selama depresi besar, makanan menjadi simbol kelangkaan dan kesenjangan sosial. Hidangan sederhana, seperti roti dan anggur, melambangkan solidaritas dan harapan di tengah kemiskinan yang menghimpit. Steinbeck menggunakan makanan untuk menggambarkan ketahanan manusia dalam menghadapi kesulitan.
Di Charlie and the Chocolate Factory karya Roald Dahl, makanan adalah simbol mimpi dan keinginan. Pabrik cokelat Willy Wonka menjadi tempat penuh keajaiban di mana anak-anak dihadapkan pada ujian moral. Setiap karakter memiliki hubungan yang unik dengan makanan seperti Augustus Gloop yang tamak atau Violet Beauregarde yang tidak sabar. Dalam kisah ini, makanan tidak hanya menyenangkan, tetapi juga menjadi cermin sifat dan kelemahan manusia.
Akhirnya, dalam The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald, makanan berperan sebagai simbol hedonisme dan kemewahan. Pesta-pesta megah yang diselenggarakan oleh Gatsby dipenuhi makanan dan minuman mewah yang mencerminkan era Jazz yang glamor. Namun, di balik gemerlap itu, makanan juga menjadi simbol kehampaan emosional dan kesepian yang dirasakan Gatsby. Fitzgerald menunjukkan bagaimana makanan dapat mencerminkan paradoks dalam kehidupan manusia: kemewahan yang indah tetapi kosong di dalamnya.
Melalui berbagai karya sastra ini, kita belajar bahwa makanan adalah lebih dari sekadar kebutuhan hidup. Ia adalah simbol budaya, medium emosi, dan alat untuk memahami hubungan manusia dengan diri mereka sendiri, orang lain, dan dunia di sekitar mereka. Seperti madeleine dalam karya Proust atau semangkuk bubur dalam Oliver Twist, makanan sering kali menyimpan cerita yang lebih dalam dari apa yang terlihat di permukaan. Dengan setiap gigitan, makanan tidak hanya memberi rasa, tetapi juga menghidupkan kenangan, menghubungkan emosi, dan menceritakan kisah hidup yang tak lekang oleh waktu.
Pakuwon City, November 2024
Leave a Reply