SEPOTONG SINGKONG
Pentigraf
SEPOTONG SINGKONG
Oleh: Telly D.
Rani duduk di sudut kamarnya, menggenggam secangkir teh hangat. Pikirannya melayang ke novel In Search of Lost Time karya Marcel Proust, dimana sepotong madeleine menjadi jembatan nostalgia. Dengan hati-hati, ia mengambil sepotong singkong bakar dari piring. Ia mencelupkan ujungnya ke dalam teh dan membiarkan rasanya melebur berbaur di lidah dalam keheningan waktu yang meluruhkan rasa.
Masa kecil yang penuh kekurangan menyeruak. Ia melihat dirinya kecil, duduk di bawah terik matahari, menunggu ibunya membakar singkong di tungku reyot. Saat itu, singkong adalah makanan mewah, satu-satunya yang bisa mengganjal perut kosong. Rasa hangus di lidahnya kini membawa suara tawa ibunya, meski lelah, tetap ceria menghiburnya. Rani tersadar, singkong yang dulu ia benci kini menjadi simbol ketegaran dan cinta.
Tak terasa air matanya jatuh berderai-derai. Secangkir teh di tangannya bukan sekadar pengingat; ia baru saja kehilangan ibunya kemarin. Singkong gosong dan hangus sebelah, adalah singkong yang terakhir dibakar ibunya untuknya. Rasa pahit dan aroma hangus itu kini lebih dalam, mengikat kenangan sekaligus kepergian yang memilukan hati.
Pakuwon City, November 2024
Leave a Reply